Uni datang menjenguk Indhira setelah tahu ia tinggal di ruko lagi.
"Kamu yakin mau kembali ke ruko lagi. Lucas bagaimana?"
"Aku sudah tidak memperdulikan itu, yang penting aku bebas dari om Damian."
"Bener juga. Aku heran kenapa ibumu tidak percaya kalau Damian itu pria hidung belang, padahal bukti - bukti sudah ada."
"Yah namanya juga cinta buta." jawab Indhira. Ia mengambil sekotak alat pertukangan.
"Buat apa?"
"Pasang gembok di pintu depan."
"Rusak?"
"Iya. Kemarin kayak di bobol, cuma yang aneh tidak ada barang yang hilang dan semua tertata rapi."
"Tidak pasang CCTV saja. Mendengar ada yang membobol rukomu membuatku khawatir akan keselamatanmu."
"Sudah pesan cuma baru di pasang besok."
"Apa perlu aku temani nanti malam?"
"Nggak usah." jawab Indhira. "Makasih ya Uni atas perhatiannya." Indhira mengerlingkan mata. "Ayo bantu aku."
"Siap."
Mereka berdua mulai memasang kunci sekaligus gemboknya. Setelah berkutat sambil bercanda akhirnya selesai juga. Mereka berdua lanjut menikmati secangkir coklat panas.
"Aku berencana ke panti asuhan milik bu Arini."
"Gila! Kamu berani? Kalau di usir gimana?! Nggak takut ketemu Lucas di sana."
"Nggak."
"Heh otakmu memang tidak waras. Biasanya orang itu mencari ketenangan eh malah kamu mencari masalah."
"Masalahnya bukan itu. Aku harus minta maaf ke bu Arini. Bagaimanapun juga aku sudah menghilangkan nyawa anak semata wayangnya. Aku bisa membayangkan betapa kehilangannya dia."
"Mau aku temani?"
"Tidak usah. Aku bisa sendiri. Maaf ya sudah merepotkanmu."
"Oh.. Come on, kita ini teman rasa saudara."
"Hahahahhh.." mereka berdua tertawa bersama.
🌺🌺🌺🌺
Pagi ini Indhira bersiap pergi ke rumah bu Arini. Rumahnya menjadi satu dengan panti asuhan yang di kelolanya. Ia sudah membawa beberapa makanan kecil, pakaian dan juga uang untuk anak - anak. Semua ia masukkan ke dalam mobil.
Sambil menikmati udara pagi, Indhira mendengarkan musik dari grup band legendaris 'The Beatles'. Grup band ini adalah idola ayahnya. Jadi tidak bosan - bosan Indhira mendengar musiknya.
Sekitar tiga puluh menit mobilnya berhenti di sebuah panti asuhan 'Manja Asih'. Indhira merasa kagum karena panti asuhan itu asri dan bersih.
"Selamat pagi pak."
"Eh.. Pagi mbak."
"Ehhmm bu Arininya ada?"
"Ada.. Ada di dalam. Mbaknya ini mau kasih santunan ke anak - anak ya?"
"Iiya pak. Perkenalkan nama saya Indhira."
"Panggil saya mang Karta. Mari mbak. Silahkan masuk."
Indhira mengikuti langkah pria setengah baya itu.
"Kalau pagi begini anak - anak sekolah jadi sepi mbak. Kalau mau ketemu anak - anak bisa sore atau hari minggu."
"Anak - anak sekolah semuanya mang?"
"Iya mbak. Ada donatur tetap di sini. Namanya tuan Lucas. Dia yang membiayai sekolah anak - anak."
Indhira menelan ludahnya ketika mendengar nama Lucas di sebut.
"Nah mbak Indhira silahkan duduk dulu. Saya panggilkan ibu."
Indhira duduk di sebuah kursi dari kayu. Tampak klasik dan unik. Jantungnya berdebar menunggu Arini datang. Ia menebak - nebak bagaimana reaksi ibunya Calysta ketika melihatnya. Marah, menamparnya atau bisa juga langsung mengusirnya.
Sekitar sepuluh menit menunggu, datang wanita dengan wajah ayu dan berwibawa. Dari sorot matanya tampak menenangkan dan orang yang sabar. Entah kenapa begitu melihat wajah bu Arini hati Indhira merasa tenang.
"Kamu?" wajah Arini berubah. Ia sedikit terkejut dengan kedatangan Indhira.
"Ibu masih ingat saya?" tanya Indhira lirih.
Bu Arini duduk berhadapan dengan Indhira. "Ingat. Ada perlu apa datang kemari?" tanyanya lembut.
Indhira menarik napas panjang sebelum membuka mulutnya. Suaranya terdengar bergetar, matanya berkaca - kaca. "Saya.. Saya ingin minta maaf bu."
Arini diam. Hanya keheningan dan suara napas yang terdengar. "Semua sudah aku maafkan. Aku yakin bahwa ini semua sudah takdir dari Allah. Mati, jodoh, lahir semua sudah di gariskan olehNya."
"Iib.. Ibu mau memaafkan saya." suara Indhira terbata - bata dan bergetar. Matanya berkaca - kaca.
"Allah itu maha pemaaf, kenapa aku umatnya yang kecil ini tidak bisa memaafkan. Sakit memang awalnya harus kehilangan belahan hati satu - satunya. Apalagi dulu ayahnya juga meninggal karena kecelakaan."
Indhira menitikkan air mata. Ia beranjak dari duduknya dan bersimpuh di kaki Arini. "Saya benar - benar minta maaf bu. Sudah membuat Calysta meninggal." tangis Indhira pecah.
Dengan lembut Arini membelai rambut Indhira. "Sudahlah jangan merasa bersalah. Aku tahu kamu orang yang baik dan juga bukankah kecelakaan itu bukan suatu kesengajaan. Calysta memang memiliki jantung yang lemah, jadi kematiannya bukan karena luka kecelakaan tapi kondisi jantungnya."
"Tapi tetap saja saya sudah menghilangkan nyawa seseorang."
"Jangan larut dalam kesedihan. Hidup ini harus terus berlanjut dan aku yakin akan ada hal indah di balik ini semua. Aku yakin rencana Allah itu lebih baik." Arini tersenyum.
Dari sorot matanya, Indhira bisa melihat Arini tulus memaafkan dirinya.
"Bu, saya janji akan ikut merawat anak - anak. Saya akan melakukan apapun demi kebahagiaan ibu dan anak - anak panti."
"Ayo berdiri dulu. Duduklah di sebelahku." Indhira mengikuti perintah Arini. "Kau mengingatkanku akan Calysta. Aku yakin umur kalian tidak beda jauh. Aku senang kau mau membantuku merawat anak - anak." pandangan Arini jauh menerawang. "Calysta itu gadis pendiam, tapi sejak ibu mengasuh anak yatim ia menjadi ceria. Umur sepuluh tahun dia harus kehilangan sosok bapak." kenang Arini. Ia mengusap air matanya berkali - kali. Kemudian pandangan beralih ke Indhira. "Maaf ya aku jadi teringat Calysta."
"Tidak apa - apa bu. Ibu berhak akan hal itu." jawab Indhira.
"Oya bu, tadi saya membawa beberapa makanan dan baju untuk anak - anak."
"Kenapa harus repot. Kalau jam - jam begini anak - anak belum pulang. Bagaimana kalau kau membantuku membuat makan siang untuk mereka."
"Bolehkah?"
"Tentu saja boleh."
Arini mengajak Indhira ke dapur. Dapur yang mereka miliki tidak begitu luas, tapi sangat bersih. Di halaman belakang terdapat tempat mencuci baju dan beberapa jemuran.
"Kamu tahu nak Lucas kan?"
"Eh iiya tahu. Pengacara keluarga ibu kan."
"Sebenarnya bukan pengacara keluarga ibu tapi lebih ke calon menantu."
"Jadi____."
"Iya. Di malam kecelakaan itu, nak Lucas mau melamar Calysta. Tapi takdir berkata lain."
Indhira menundukkan kepala. "Maaf bu."
"Ah sudahlah. Tidak apa - apa, namanya juga belum jodoh." jawab Arini. "Awalnya nak Lucas itu donatur utama di panti asuhan ini. Karena sering ke sini dia jadi sering bertemu dengan Calysta. Mereka sudah dekat sejak satu tahun yang lalu."
Indhira dengan serius mendengarkan cerita Arini sambil memotong beberapa sayuran. Oh pantes Lucas sangat terpukul kehilangan Calysta pikir Indhira. Ternyata hubungan mereka sudah sampai tahap lamaran.
"Oya apa yang nak Lucas katakan padamu jangan di masukkan ke hati. Ia masih sangat terpukul atas meninggalnya Calysta dan belum bisa menerima."
"Tidak apa - apa bu. Saya pantas menerimanya."
"Nggak usah terlalu formal kalau ngobrol denganku."
"Iya."
Setelah memotong beberapa sayuran Indhira segera menyerahkan pada Arini.
"Nanti makan bersama anak - anak."
"Maaf bu sepertinya aku tidak bisa. Hari ini aku mau mengunjungi dosenku waktu kuliah dulu. Ia habis di rawat di rumah sakit."
"Ya sudah tidak apa - apa. Lain kali main lebih lama sama anak - anak."
"Iya bu."
Indhira pamit pulang, dadanya sudah tidak terasa sesak lagi. Beban di hatinya berangsur - angsur menjadi ringan setelah mendapat maaf dari ibunya Calysta. Ternyata benar, beliau memiliki hati yang sangat besar dan tabah.
Setelah mobil Indhira meninggalkan rumah Arini. Tampak mobil Range Rover warna hitam berhenti. Keluarlah Lucas bersama dengan Leon.
"Mang Karta." panggilnya.
"Eh tuan Lucas. Baru kelihatan tuan."
"Ibu ada?"
"Ada tuan."
"Ya sudah aku ke dalam dulu. Tolong kamu bawa masuk makanan dan pakaian yang di dalam mobil."
"Baik tuan." jawab Karta. "Wah panti asuhan, baru ketiban rejeki nich."
Lucas menghentikan langkahnya. "Memang tadi ada donatur lain ke sini?"
"Iya tuan. Orangnya cantik, masih muda, dermawan." puji Karta
"Siapa?"
Karta menggaruk kepalanya. "Hmm namanya.. Namanya In... In.. Indhira.. Iya betul Indhira."
Lucas mengepalkan tangannya. Ia membalikkan badan meninggalkan Karta dan Leon. Lucas menemui Arini di dapur
"Siang bu." sapanya.
"Eh nak Lucas. Dari kantor?"
"Iya, terus mampir ke sini sebentar." ia mengedarkan pandangan dan matanya tertuju pada paket makanan dan baju. "Dari siapa bu?"
"Apanya?"
"Itu." tunjuk Lucas
"Oh itu dari Indhira." jawab Arini enteng.
"Ibu menerimanya? Dia sudah menghilangkan nyawa Calysta! Ibu lupa?" teriak Lucas emosi.
"Ibu sama sekali tidak lupa. Tapi ibu berusaha memaafkan."
"Bagaimana bisa ibu memaafkan begitu saja kriminal seperti dia!"
"Nak Lucas tenang dulu." Arini duduk di bale - bale yang terbuat dari bambu. "Memaafkan adalah cara ibu untuk terus bertahan hidup tanpa Calysta. Kita semua tahu, Indhira tidak sepenuhnya bersalah. Dia juga korban seperti Calysta hanya saja ia lebih beruntung karena masih hidup. Entah siapa yang begitu jahat padanya."
"Aku tidak peduli! Dan aku harap ibu jangan memberi kesempatan dia kemari atau aku tidak akan pernah menjadi donatur lagi di sini."
Arini menghela napas. "Nak Lucas, seandainya Calysta tahu kau menjalani hidup yang salah sebagai manusia pendendam, manusia yang penuh amarah aku yakin dia tidak akan tenang di sana."
"Jangan paksa aku untuk menjadi manusia baik seperti ibu. Dia harus menderita, dia harus merasakan bagaimana neraka dunia!" Lucas pergi meninggalkan Arini sendiri.
Sementara itu...
Indhira sudah sampai di depan rumah tua yang terbuat dari kayu. Itu rumah dosen kesayangannya waktu kuliah dulu.
"Dhira." panggil seseorang.
"Bu Yuma." balas Indhira. Ia segera menghambur kepelukan wanita yang sudah berkepala enam itu. "Maaf bu, baru bisa jenguk hari ini."
"Tidak apa - apa." Yuma melepaskan pelukannya. "Yang penting sekarang aku sudah sehat."
"Berapa lama ibu di rumah sakit?"
"Hampir dua minggu."
"Aku bersyukur ibu sudah sembuh."
"Tahu dari mana kalau ibu habis sakit?
"Dari Uni."
Yuma tersenyum. "Ayo masuk dulu. Di sini panas."
Yuma hidup seorang diri sejak di tinggal suaminya. Ia belum memiliki keturunan dan tidak berniat untuk menikah lagi. Sehingga ia hidup sendiri sampai usia sekarang. Indhira merasa tenang jika di dekat Yuma, sama seperti ia berada di dekat Arini.
"Aku sudah mendengar berita tentang kecelakaan itu. Betulkah pelayan itu yang menaruh obat di minumanmu?"
"Itulah yang mengganjal hatiku. Aku sama sekali tidak mengenal pelayan itu. Bagaimana mungkin ia menaruh dendam padaku."
"Terus apa rencanamu?"
"Aku harus mencari pelayan itu. Dia di penjara di mana? Atau mencari keluarganya. Siapa tahu ada petunjuk."
"Kamu harus berhati - hati. Oya bagaimana dengan tanah peninggalan ayahmu? Masih banyakkah orang yang mengincarnya?"
"Sebelum ibu menikah banyak, tapi setelah menikah dengan om Damian mereka mundur satu persatu."
"Ya sudah, kalau kamu perlu apa - apa bisa menghubungi ibu."
"Iya.. Iya.. Sekarang lebih baik ibu istirahat. Aku juga mau pulang. Sudah sore."
"Ya hati - hati di jalan."
Indhira berpamitan, ia mengendarai mobilnya. Di perjalanan ia melihat sebuah rumah yang sangat asri dengan halaman yang sangat luas tak jauh dari rumah Yuma. Ia berhenti sejenak untuk sekedar mengagumi. Seandainya ia punya uang lebih, pasti ia akan membuat rumah seperti itu.
🌺🌺🌺🌺
"Bos."
"Ada apa?"
"Ini surat tanah milik nyonya."
"Bagus. Segera bawa ke firma hukum dan balik nama atas namaku."
"Baik bos."
Damian tersenyum sambil menegak segelas sampanye di tangannya.
Sebentar lagi tanah itu akan menjadi milikku. Tidak sia - sia aku mengorbankan diriku demi menikahi wanita tua. Melihatnya saja membuatku ingin muntah umpat Damian dalam hati. "Seandainya saja ia masih muda dan secantik Dhira." gumamnya sambil tersenyum penuh arti.
🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Regita Regita
ya ampun.. ternyata Damian semengerika itu😱
2024-11-17
0
Sleepyhead
FuckinBastard
2024-10-07
0