Indhira memarkirkan mobil Honda Jazz keluaran tahun 2015 warna merah di depan sebuah coffe shop kecil yang cukup ramai. Ia menghela napas panjang sebelum membuka pintu mobil yang selalu menemaninya. Walau mobil itu tidak baru, kondisinya cukup terawat. Ia berjalan melewati beberapa pasangan muda mudi yang hanya sekedar nongkrong atau ngobrol.
"Ramai mbak?" sapanya
"Eh mbak Dhira. Alhamdulillah iya mbak."
"Bentar aku ganti baju dulu. Nanti aku bantu."
"Nggak usah mbak, sudah ada mas Raga."
"Nggak apa - apa. Dari pada nanti kewalahan." Indhira naik ke lantai atas dan segera mengganti bajunya dengan kaos dan celana yang lebih santai. Cukup lama ia berdiri di depan kaca sebelum memutuskan untuk turun membantu mbak Sri dan mas Raga. Usaha coffe shop nya itu baru ramai satu tahun belakangan ini.
Indhira cukup cekatan karena menurutnya pelayanan yang cepat akan membuat coffe shop nya banyak di datangi custumer. Sekitar jam empat sore ia baru bisa duduk bersantai.
"Ini mbak saya buatkan coklat panas."
"Makasih ya mbak Sri." Indhira menikmati segelas coklat panas yang sangat menggoda. Walaupun ia membuka sebuah coffe shop pada dasarnya ia lebih suka coklat.
"Banyak pikiran mbak?"
"Kok mbak Sri tahu?"
"Heheheh.. Kan saya sudah dua tahun ikut mbak Dhira."
"Eh jangan salah.. Ada lho mbak yang sudah dua tahun bekerja tapi sama sekali tidak mengenal satu sama yang lain."
"Karena mbak Indhira orangnya simple, ramah dan perhatian." Sri menarik kursi dan duduk di depan Indhira.
Indhira menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan - pelan. "Ibu memintaku untuk tinggal di rumah." ucapnya lirih.
"Lah malah bagus dong mbak. Bisa berkumpul keluarga."
"Itu menurutmu mbak. Kalau aku beda."
"Maksudnya?"
"Aku kurang suka dengan suami baru ibu. Apalagi ia papa dari Zora temanku satu kampus dulu. Dan yang aku tahu Zora itu tidak menyukai papanya menikah lagi." Indhira menghela napas. "Coba mbak bayangkan bagaimana tidak nyamannya jika aku tinggal di sana."
"Tapi mbak, tinggal di ruko terus apa baik? Dari segi fasilitas, keamanan, kenyamanan?"
"Nyatanya sudah satu tahun aku tinggal di sini baik - baik saja. Aman, sehat dan nyaman."
"Tapi apa mbak nggak kangen sama ibu? Apa mbak nggak kesepian?"
"Selama ibu masih tinggal dengan pria itu lebih baik aku di sini saja."
"Yah saya doakan saja mudah - mudahan keputusan ini yang terbaik untuk mbak Dhira."
Indhira kembali menyeruput coklat panas di depannya. Pikirannya kembali ke satu tahun yang lalu di mana ia akhirnya memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah ruko kecil.
..."Aku nggak suka kalau ibu menikah dengan om Damian." Indhira menghempaskan tubuhnya di sofa. "Dia itu hanya ingin mengusai tanah yang ayah tinggalkan untuk kita."...
..."Tapi ibu mencintai om Damian. Baru kali ini ibu bisa jatuh cinta lagi setelah ayahmu meninggal." Eswari mendekati Indhira. Dengan lembut ia memegang pundaknya. "Om Damian itu baik. Ia sangat mencintai ibu dan ibu yakin ia juga menyayangimu."...
..."Bohong! Bohong itu semua! Aku bisa menilai ia tidak tulus. Ibu saja yang sudah di butakan oleh cinta. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menganggap dia ayah."...
..."Dhira.. Apa kamu tidak ingin ibu mendapat kebahagian. Sudah lama ibu sangat kesepian. Kau sibuk dengan duniamu hingga jarang menemani ibu." Eswari menghapus air mata. "Ibu akan tetap menikah, entah kamu setuju atau tidak."...
...Indhira menatap ibu Eswari dengan tatapan nanar ia seolah tidak percaya dengan ucapan ibunya....
..."Maaf bu, aku sepertinya tidak bisa tinggal dengan ibu lagi. Semoga ibu bahagia." Indhira beranjak pergi membawa mobil satu - satunya pemberian almarhum ayahnya. Dan sejak saat itu ia hanya berkomunikasi dengan ibu lewat telepon....
"Mbak.. Mbak.. Mbak Indhira kok melamun. Ada pembeli."
Suara Sri membuyarkan lamunan dan membawanya ke kenyataan yang sekarang. "Oh maaf. Ada pembeli ya, kalau begitu aku naik ke atas dulu mbak."
Indhira melepas celemek dan menyalakan ac. Ia membaringkan tubuhnya yang terlihat sangat lelah. Setahun ini hidupnya sepi penuh kekosongan hanya sahabatnya Uni yang selalu menghiburnya.
Drrrttt... Drrrttt.. Ddrrrttt..
"Heh, Uni. Panjang umur dia." gumam Indhira. "Ya Uni."
"Lama bener angkatnya. Tidur ya?"
"Kok tahu?"
"Ya dong aku kan satu - satunya sahabatmu yang paling pengertian."
"Iya.. Iya gendut. Ada apa telepon sore - sore gini?"
"Kamu sudah terima undangan dari Zora?"
"Zora." gumam Indhira, walau lirih tapi terdengar jelas di telinga Uni.
"Ups sorry."
"Nggak apa - apa." jawab Indhira. "Hmm.. Aku belum terima undangannya. Memangnya ada acara apa?"
"Memang tidak mengundang secara personel sih. Dia share di grup kampus. Dia mau mengadakan acara reuni di hotel Crown."
"Kau kan tahu bagaimana hubunganku dengannya, dan itu yang membuatku tidak masuk di grup kampus. Dulu waktu kuliah hanya kenal biasa sekarang setelah orang tua kami menikah malah tambah buruk."
"Aku pikir tidak ada salahnya datang kan. Siapa tahu kekakuan di antara kalian bisa cair."
"Aku ragu akan hal itu. Zora anak yang keras kepala."
"Baiklah kalau kamu memutuskan tidak ikut. Aku juga tidak akan ikut."
"Eh kenapa? Kau kan nggak ada masalah dengannya atau teman - teman yang lain."
"Kalau nggak ada kau di sana, aku nggak percaya diri. Hmmm bagaimana kalau kita adakan acara sendiri? Nginep di villa mungkin?"
"Ide bagus. Aku setuju."
Panggilan di akhiri. Indhira kembali menghembuskan napasnya secara perlahan. Ia menatap langit - langit kamar tidurnya yang berukuran 4 x 4 meter. Zora dulu di kenal sebagai bintang kampus karena selain cantik ia juga kaya. Selama menempuh pendidikan hubungan mereka tidak dekat, sampai suatu ketika Sean pria yang di kejar Zora justru malah memilih Indhira walaupun Indhira sama sekali tidak memperdulikannya.
Terkadang hal itu membuat mereka terlibat pertengkaran kecil. Hingga puncaknya adalah ketika orang tua mereka menikah.
Tok.. Tok.. Tok..
"Mbak Dhira ada tamu." ketuk Sri.
Dengan malas Indhira berjalan di depan pintu. "Siapa mbak?"
"Hmm.. Mbak Dhira lihat sendiri saja."
Indhira mengerutkan keningnya dan memutuskan untuk melihat sendiri siapa yang datang.
"Zora." ucap Indhira kaget. Ia tidak percaya dengan apa yang di lihatnya.
"Hai Dhira. Lama tidak ketemu." sosok cantik dengan rambut ikal itu memeluk Indhira. Tercium aroma floral bercampur dengan buah apel yang manis.
Dengan canggung Indhira membalas pelukannya. "Hai juga."
"Kaget ya lihat aku."
"Eh iiiya. Hmm ayo silahkan duduk." Indhira berusaha bersikap se rileks mungkin. "Mau minum apa?"
"Caramel maciato."
"Mbak Sri tolong buatkan caramel maciato dua." perintah Indhira.
"Kamu pasti bertanya - tanya kan kenapa aku tiba - tiba datang menemuimu?"
"Iiya. Aku sama sekali tidak pernah berpikir kamu akan menemuiku setelah kejadian dulu dan pernikahan orang tua kita."
"Terus terang aku kemarin masih sangat marah, emosi dan belum bisa menerima ini semua. Aku merasa tuhan tidak adil padaku. Akan tetapi karena melihat mereka hidup bahagia aku jadi berpikir kembali. Apakah aku sebagai anak harus menghancurkan kebahagiaan orang tua ku sendiri."
Indhira menatap jauh kedalam hati Zora. Seakan ia tidak percaya mendengar perkataan itu keluar dari mulut Zora.
"Hei.. Kau tidak percaya perkataanku?"
"Bbu.. Bbukan begitu maksudku. Hanya saja ini terdengar bukan seperti Zora yang aku kenal."
"Aku sudah berubah Dhira. Aku mau menjadi pribadi yang lebih baik. Aku sudah dua puluh empat tahun, sudah saatnya menjadi dewasa bukan?" Zora tersenyum dengan tulus. Itu yang membuat Indhira akhirnya mempercayai ucapan Zora.
"Iya, kamu benar sudah saatnya kita bersikap dewasa. Kamu benar - benar sudah berubah. Justru aku yang masih terpuruk dengan masalah pernikahan orang tua kita."
"Aku yakin kau pasti bisa merubah pikiranmu tentang hal itu." ucap Zora. "Oya kau akan datang kan ke acara yang aku buat?"
"Maksudmu reuni di hotel Crown?"
"Iya. Aku harap kau mau membantuku dalam acara nanti."
Lagi - lagi Indhira di buat terkejut dengan perubahan sikap Zora yang menjadi pribadi yang baik.
"Ayolah, bantu aku Dhira." bujuk Zora. "Kan sekarang kita sudah jadi satu keluarga."
"Baiklah, aku akan membantumu."
Zora menghambur kepelukan Indhira. "Makasih ya." ucapnya. "Oya besok aku tunggu kamu di rumah. Kita bicara di sana soal acara reuni. Bagaimana? Bisa kan?"
"Bbisa." jawab Indhira walau ia masih ragu.
Zora berpamitan. Dari dalam Indhira memandang kepergiannya. Awalnya ia berat memberi keputusan tapi melihat Zora yang sudah berubah baik, Indhira memberi kesempatan.
🌺🌺🌺🌺
Mobil Jazz merah yang di kendarai Indhira memasuki rumah besar dengan konsep mediterania. Siapa yang tidak tahu dengan rumah Damian Wijaya. Seorang pengusaha sukses walaupun terkadang banyak menggunakan cara kotor untuk memenuhi ambisinya. Sekarang Damian Wijaya menjadi ayah baru baginya.
"Dhira." sambut seorang wanita dengan usia yang sudah tidak muda lagi. Sorot matanya menyimpan kerinduan yang dalam.
"Sore bu."
"Kemarilah nak, peluk ibu."
Indhira tersenyum dan menyambut pelukan ibu. Jauh di lubuk hatinya ia sangat merindukan wanita yang sekarang terlihat sangat bahagia.
"Kamu sehat?"
"Iya."
"Syukurlah, ibu senang mendengarnya." ibu membelai lembut rambut Indhira. "Ayo kita masuk, Zora dan Damian sudah menunggu di dalam."
Untuk sepersekian detik Indhira ragu untuk melangkah masuk ke dalam.
"Ayo, tidak apa - apa. Kamu pasti akan bisa beradaptasi dengan mereka."
Indhira tersenyum dan mengangguk. Akhirnya ia mengikuti langkah ibu untuk masuk ke dalam. Rumah yang sangat megah yang di dominasi oleh warna - warna pastel. Dan ia tahu bahwa itu warna kesukaan ibu. Design interiornya pun juga pasti sesuai dengan selera ibu. Itu artinya memang om Damian mencintai ibu.
"Hai Dhira." sebuah suara yang terdengar serak dan berat menyapanya.
"Itu papa Damian. Ini pertama kalinya kalian bertemu kan? Waktu ibu menikah kamu tidak datang."
Indhira menatap pria di depannya. Pria dengan gaya metroseksual yang menurutnya agak genit itu menjadi ayah sambungnya. Walau Indhira belum sepenuhnya percaya dengan pria itu tapi melihat Zora bisa menerima ibunya kenapa ia juga tidak mencoba menerima Damian.
"Sore Om."
"Kenapa panggil Om?" ibu mengernyitkan alisnya.
"Aku belum terbiasa bu." jawab Indhira pelan.
"Tidak apa - apa sayang, kan Indhira juga baru pertama kali ketemu denganku. Ia pasti butuh waktu bukan. It's okey." Damian mendekati Eswari dan memberikan kecupan ringan di keningnya. Indhira yang melihatnya bisa tahu bahwa ibunya di perlakukan sangat istimewa.
"Wah.. Wah.. Bikin iri saja kalian." Zora yang baru saja datang, memuji mereka. "Hai Dhira, maaf ya aku baru mandi tadi."
Indhira hanya tersenyum.
"Kita ke halaman samping yuk, aku jamin kamu pasti suka dengan pemandangannya."
Indhira tidak banyak bicara, ia hanya mengikuti Zora. Rumah ini tidak jauh beda dengan rumahnya yang dulu. Hanya saja bangunan rumah Indhira tidak besar akan tetapi memiliki halaman yang sangat luas. Ayahnya suka bercocok tanam. Ia pernah beranggapan bahwa Damian mengincar tanah peninggalan ayahnya, karena sudah banyak orang yang datang dengan niat membeli rumah mereka.
"Gimana bagus kan pemandangannya?"
"Iya, cukup asri."
"Kamu nggak mau tinggal di sini?"
"Sepertinya aku masih perlu waktu."
"Ayolah. Kalau kamu melihat mereka setiap hari. Aku jamin, kau akan berubah pikiran. Mereka saling mencintai Dhira."
"Aku tahu itu. Tapi masih canggung rasanya untuk tinggal dengan keluarga baru."
"Hmmm gini aja dech. Gimana kalau kamu tidur di sini beberapa hari? Yah itung - itung kita ngobrol soal acara reuni."
Indhira masih terdiam. Entahlah ia masih merasa bingung. Keputusan ini tidak bisa diambil begitu saja. Ia masih perlu waktu.
"Ayolah Dhira." rengek Zora. "Satu minggu saja. Gimana?"
Indhira yang merasa tidak enak hati dengan permintaan Zora akhirnya menganggukkan kepala. "Baiklah. Satu minggu saja."
"Yes..!" teriak Zora.
"Ehh.. Kenapa teriak kegirangan?" tanya Eswari yang datang dari belakang membawakan minuman. "Bagi - bagi dong ke mama."
"Akhirnya Dhira mau tinggal dengan kita, ma."
"Oya. Syukurlah.. ibu senang kamu mau tinggal bersama ibu, Dhira." peluk Eswari.
"Satu minggu bu. Aku hanya menginap di sini satu minggu saja." tegas Indhira.
"Tidak.apa - apa. Yang penting kau mau tinggal dengan ibu." Eswari mengusap air matanya. "Terima kasih Zora."
"Iya ma."
Indhira tersenyum. Oh ternyata Zora sudah memanggil ibu dengan sebutan mama, pikirnya dalam hati. Yah mungkin walau hanya sebentar ia tinggal di sana, hatinya sudah cukup bahagia bisa melihat senyum ibunya.
🌺🌺🌺🌺
Tanpa terasa satu bulan sudah Indhira tinggal bersama keluarga barunya, lebih dari waktu yang ia janjikan. Selama satu bulan ini ia mendapat perlakuan istimewa terutama dari Eswari. Tapi entah kenapa ia masih belum bisa menerima sepenuhnya Damian sebagai ayah sambungnya.
"Dhira, Zora hari ini aku akan mengajak kalian ke butik untuk fitting gaun. Kalian harus tampil beda di acara nanti."
"Yes, i love it. Thank's ma." Zora memeluk Eswari.
"Apa nggak terlalu berlebihan bu?"
"Nggak dong. Anak gadisku harus tampil cantik dan menjadi pusat perhatian di sana."
Indhira hanya tersenyum mendengar itu. Pada dasarnya ia suka dengan kesederhanaan.
"Kita berangkat setengah jam lagi. Kalian bisa bersiap sekarang."
Indhira dan Zora segera mempersiapkan diri. Mereka pergi berempat bersama dengan Damian. Tak berapa lama sampailah mereka di sebuah butik mewah milik salah satu designer terkenal.
"Aduh lama banget sih tuan dan nyonya Damian nggak ke sini."
"Iya Rey, kami berdua sibuk." jawab Damian sambil membalas pelukan Reynald.
"Eh siapa dia? Cantik banget."
"Itu Indhira, putriku." jawab Eswari. "Kau pasti merasa asing karena baru kali ini ia mau bergabung bersama kami." Eswari menatap Indhira. "Dhira kemari, kenalkan ini Reynald."
Indhira menjabat tangan Reynald.
"Hmm.. Aku suka wajah - wajah begini. Natural dan klasik."
"Kau bisa saja." jawab Eswari. "Oya gaun yang aku pesan sudah selesai?"
"Tentu saja sudah. Gaun merah itu untuk Zora yang selalu tampil energik dan gaun hitam untuk Dhira." dua orang asisten mengambil gaun yang sudah siap. "Kalian bisa mencobanya di sana."
Asisten mengantarkan Zora dan Dhira ke belakang.
"Sayang aku ke toilet dulu." pamit Damian tiba - tiba. Eswari hanya menganggukkan kepala dan kembali asyik melanjutkan obrolannya bersama Reynald.
Sementara itu di fitting room. Indhira hanya menatap gaun hitam panjang dengan tali spageti yang terlihat sangat mewah. Hanya saja itu bukan seleranya. Tapi untuk menghargai ibu apa salahnya ia coba.
Ia mulai membuka baju, hanya menyisakan pakaian dalam saja. Dan tiba - tiba tirainya terbuka.
"Aacchhh!!!" jeritnya. Dengan cepat ia berbalik dan mengambil bajunya kembali untuk menutup bagian depan tubuhnya. "Apa yang om lakukan!" teriak Indhira penuh emosi.
"Ups..! Sorry Dhira. Om nggak tahu kalau di dalam ada kamu."
"Keluar! Keluar kataku!!!" mata Indhira yang cantik melotot hampir keluar, uratnya menegang dan wajahnya yang memerah. Ia benar - benar menahan emosi dan malu. Ia mendorong tubuh Damian dengan kuat dan menutup lagi tirainya.
Dengan cepat ia mengenakan bajunya kembali dan segera keluar.
"Tunggu Dhira, om minta maaf. Aku nggak sengaja."
"Sengaja atau tidak intinya om sudah tidak sopan!" teriak Indhira sambil berjalan keluar.
"Hei, aku benar - benar keliru. Aku mau ke toilet dan tidak tahu kalau ini fitting room baju."
Indhira menghentikan langkahnya. "Tidak tahu? Jangan berbohong! Om adalah pelanggan lama di sini. Mana mungkin om tidak tahu di mana letak toiletnya!" teriak Indhira dengan keras.
"Dhira maafkan om." wajah Damian tampak memelas. "Ini adalah hal kecil, apalagi kau sekarang adalah anakku. Tidak apa - apa kan seorang ayah melihat anaknya berganti pakaian?"
"Hal kecil? Tidak apa - apa?" Indhira menatap tajam pria setengah baya di depannya. "Ini tidak wajar. Aku sudah dewasa dan satu lagi, om Damian bukan ayahku dan aku tidak akan pernah menganggap om sebagai ayahku sampai kapan pun!"
"Ada apa ini?" tanya Eswari yang tergopoh - gopoh menghampiri mereka.
"Tanya saja sama suami baru ibu." jawab Indhira ketus dan pergi meninggalkan mereka.
"Dhira! Dhira! Tunggu! Kamu mau kemana?"
"Pulang ke ruko. Aku perlu waktu sendiri bu."
Eswari hanya terdiam melihat putrinya pergi. Zora keluar dari fitting room juga tampak terkejut dengan pertengkaran yang tiba - tiba terjadi.
"Apa yang terjadi Damian?"
"Aku juga kaget sayang. Aku pikir yang di dalam fitting room adalah Zora. Ternyata aku salah."
"Kenapa kau tidak tanya dulu?" sesal Eswari. "Aku susah payah berdamai dengan putriku sendiri, kau malah menghancurkannya."
"I'm sorry sayang. Aku akan minta maaf dan membujuknya untuk kembali ke rumah." Damian memeluk Eswari.
Mereka bertiga akhirnya pulang tanpa Indhira.
"Pa aku mau bicara?"
"Oke ke ruang kerja papa."
Zora mengikuti langkah pria yang sudah membesarkannya itu.
"Ada apa?"
"Kenapa papa bohong?"
"Apa maksudmu?"
Zora tersenyum sinis. "Aku yakin papa memang sengaja masuk ke fitting room Dhira. Penjelasan yang papa berikan antara Dhira dan ibunya sangat berbeda."
Damian diam dan menatap tajam putrinya.
"Papa menyukai Dhira?"
BRAAKKK..!!!
"Tutup mulutmu Zora!"
"Kenapa? Karena aku benar kan?"
"Diam dan jangan pernah membahas masalah ini lagi. Ingat jika kau masih ingin hidup dengan fasilitas mewah, kau tahu apa yang harus di lakukan."
"Hmmm... Baiklah itu urusan papa. Hanya saja itu terlalu menjijikkan bagiku. Bagaimana bisa papa menikahi wanita tua dan ketika bercinta yang dalam bayangan papa adalah anaknya."
"Keluar! Keluar!"
"Baiklah aku akan keluar. Hati - hati pa, goodluck." Zora melambaikan tangan dan keluar dari ruang kerja Damian dengan wajah dingin.
🌺🌺🌺🌺
Indhira sedang melayani beberapa pembeli karena mbak Sri hari ini libur. Usaha yang sudah di rintisnya dua tahun yang lalu itu terbilang sukses di tengah maraknya cafe - cafe.
"Sudah menghubungi ibumu?" tanya Uni tiba - tiba.
"Sudah, lewat telepon."
"Kau tidak kasihan dengannya?"
"Aku kasihan Uni dan kau tahu aku paling sayang dengan ibu. Tapi kalau aku harus tinggal bersama pria brengsek itu aku tidak mau."
"Siapa tahu memang saat itu dia benar - benar nggak sengaja."
"Nggak sengaja gimana. Logikanya dia pelanggan lama di sana pasti tahu dong letak toiletnya. Dan juga antara pintu kamar mandi dan fitting room pasti beda."
"Iya juga sih."
"Apalagi di rumah itu gerak gerikku seperti di awasi. Bahkan ketika tidur seperti ada yang mengawasiku."
Uni mengangguk - angguk mendengar penjelasan sahabatnya itu. Selang beberapa waktu setelah mereka ngobrol datanglah Zora.
"Hai."
"Hai Zora."
"Aku mau menyerahkan gaun pesanan mama."
"Maaf sudah merepotkanmu. Tapi sepertinya aku tidak akan mengenakannya. Itu terlalu mewah dan terbuka untukku."
"Aku menghargai keputusanmu. Tidak masalah jika kau tidak mau mengenakannya. Tapi kau datang kan ke acara besok malam?"
"Aku usahakan."
"Ayolah.. Kau bisa berangkat bareng Uni. Iya kan Uni?" Zora mengalihkan pandangannya ke Uni
"Eh.. Iiyya."
"Kita sudah merencanakan bersama. Dan aku akan senang jika kau mau mengenakan gaun ini. Apakah kau tahu, gaun ini sama persis denganku hanya beda warna. Mama memang merancangnya untuk kita berdua."
Indhira menghela napas. "Baiklah. Akan aku usahakan."
Zora memeluk Indhira. "Maaf ya atas kejadian yang tidak mengenakkan di tempo hari. Tapi aku yakin papa benar - benar tidak sengaja. Maafkanlah dia."
Indhira hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban apa - apa. Zora kembali pulang setelah mereka mengobrol sebentar.
🌺🌺🌺🌺
Indhira memoleskan beberapa riasan di wajahnya. Walau sederhana tapi sangat cantik. Di tambah dengan gaun warna hitam yang menghiasi kulit putihnya.
"Wow.. Kau pasti akan menjadi pusat perhatian di sana."
"Kalau begitu aku ganti baju saja."
"Eh jangan. Biarkan saja. Sekali - kali tampil beda kan nggak apa - apa."
Indhira menghela napas panjang.
"Sudah ayo berangkat. Sudah telat nich." tarik Uni. "Bisa - bisa nggak ke bagian makanan nanti."
"Hahahahhh.. Makanan aja yang ada di otakmu."
Mereka berdua pergi ke hotel Crown untuk acara reuni. Acara di adakan di lantai tujuh belas. Di hotel ini terdapat hallroom yang cukup besar, fasilitas yang lengkap dan sistem keamanan yang baik.
"Eh yang mana roomnya yang ini atau yang itu?" tunjuk Uni. Karena memang terdapat dua hallroom dengan pintu yang sama.
"Kayaknya yang pertama dech. Soalnya untuk booking tempat di serahkan oleh asisten om Damian."
"Ayo kita ke sana." tarik Uni.
Di ruangan itu di hias dengan megah penuh dengan bunga mawar warna merah. Ada pemain biola dan pelayan - pelayan. Sekilas Indhira melihat ada tulisan 'Will you marry me, Calysta' dan itu membuatnya menarik tangan Uni agar tidak masuk terlalu dalam.
"Kita salah ruangan."
"Bener salah?"
"Iya. Lihat itu. Ini ruangan untuk lamaran." tunjuk Indhira. "Ayo keluar sebelum kita mengacaukan acaranya."
"Iya kamu benar. Eh beruntung juga ya wanita yang dapat kejutan ini. Pasti pria itu sangat mencintainya."
"Iya.. Iya itu pasti. Ayo cepat keluar." mereka berdua berjalan dengan cepat menuju ke ruang sebelah. Dan ternyata benar, di sana sudah datang teman - teman satu kampus mereka dulu. Indhira dan Uni menyapa mereka. Mengobrol dan saling menanyakan kabar. Beberapa di antara mereka ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, bank dan juga perusahaan.
"Duh, ternyata mereka semua sudah sukses. Cuma aku saja yang nggak." keluh Uni.
"Eh jangan begitu. Kamu jadi guru di sebuah bimbel itu juga karier yang bagus lo. Jarang - jarang ada orang sabar sepertimu."
"Nyapa temen - temen jadi buat aku lapar. Makan yuk."
"Kalau urusan makan pasti nomor satu."
Mereka berdua pergi ke sisi kiri untuk menikmati hidangan. Indhira tidak berani makan banyak, gaun yang ia kenakan lumayan ketat. Berbeda dengan Uni yang lahap.
"Syukurlah kau mau datang." sapa Zora dengan beberapa teman satu gengnya waktu di kampus dulu.
"Iya, tapi aku tidak bisa sampai acara selesai."
"Kenapa?"
"Besok aku harus belanja buat keperluan cafe. Mbak Sri nggak berangkat."
"Tidak masalah, kau mau datang saja aku sudah senang." jawab Zora. "Oya guys Dhira ini punya sebuah coffe shop kecil gitu. Kapan - kapan kalian mampir ya, biar usahanya tambah laris."
"Aku kira dia kerja di kantoran gitu. Kamu dulu kan ambisi banget pengen kerja kantoran. Ternyata punya usaha kecil." celutuk salah satu teman Zora.
"Eh jangan begitu. Coffe shopnya Dhira itu lumayan rame, banyak pembeli lo." bela Zora.
Indhira yang sedikit bingung karena ini memuji atau mengejeknya ia tidak tahu. Ia berusaha untuk positif thinking.
"Oya Dhira, kamu masih ingat Sean?"
"Masih."
"Malam ini ia datang dari Singapura. Kita ketemu aja di ruang sebelah gimana?"
Indhira melirik Uni yang masih sibuk dengan makanannya. Uni yang seakan tahu bahwa Indhira ingin pergi sebentar langsung memberi kode bahwa ia tidak apa - apa di tinggal. Mungkin baginya makan lebih penting.
"Baiklah. Tapi sebentar saja."
Indhira mengikuti Zora ke ruang sebelah. Ruang itu tidak besar dan terdapat beberapa sofa. Seperti ruang privacy.
"Sean itu nggak suka dengan keramaian. Ia memintaku membawamu kesini karena ia mau bicara soal bisnis coffe di Indonesia."
"Oya. Ternyata ia tertarik juga dengan bisnis."
"Iya, aku harap kalian bisa kerja sama."
Drrrttt.. Drrrttt.. Drrrttt..
"Eh bentar ada telepon dari Sean. Aku ke bawah dulu ya, buat jemput dia."
"Oke. Aku tunggu di sini."
Indhira duduk di sofa sambil memainkan handphonenya. Tak lama kemudian masuk seorang pelayan membawakan minuman dan meletakkannya di depan Indhira.
"Maaf, saya tidak minum ini. Bisa bawakan saja lemon tea."
"Baiklah. Tunggu sebentar."
Pelayan itu keluar dan tak lama kemudian ia kembali membawakan segelas lemon tea. "Silahkan."
"Terima kasih minumannya."
"Saya permisi."
Setelah pelayan pergi Indhira segera menikmati segelas lemon tea di depannya tanpa curiga sedikit pun. Ia melirik jam di tangannya.
Ya tuhan hampir jam sebelas malam, aku harus pulang. Uni pasti sudah menungguku pikir Indhira. Ia segera beranjak dari tempat duduknya tanpa menunggu kedatangan Zora dan Sean. Akan tetapi ia terhuyung dan hampir jatuh.
Aduh kenapa kepalaku pusing, Indhira memijat pelipisnya. Ia berusaha mencari pegangan agar tidak jatuh.
Handphoneku mana, aku harus minta bantuan Uni. Indhira melihat sekeliling dan pandangannya mulai kabur. Ia berusaha tersadar, Ya tuhan apa yang aku minum tadi. Siapa yang membuatku begini. Pikirannya campur aduk.
Dan tiba - tiba...
"Akhirnya aku menemukanmu."
Indhira tampak terkejut, wajahnya pucat, jantungnya berdebar kencang. "Om Damian?"
🌺🌺🌺🌺
"Om Damian?"
"Kaget melihatku? Atau justru kamu senang?" Damian berjalan mendekat sambil tersenyum nakal.
Indhira berusaha berjalan menghindari Damian akan tetapi jalannya di halangi. "Minggir! Aku mau pulang!"
"Jangan jual mahal. Kita bersenang - senang dulu di sini." Damian menarik lengan Indhira untuk mendekat padanya.
"Lepas! Lepaskan kataku!" teriak Indhira.
Braakkk!!! Pintu tiba - tiba terbuka.
"Papa!!!" teriak Zora yang melihat papanya memeluk Indhira. "Apa yang papa lakukan!" dengan histeris Zora menarik Indhira ke belakang dan memukul papanya.
"Jangan ikut campur!" Damian mendorong Zora hingga terjatuh di sofa.
"Dasar pria hidung belang!!!" Zora kembali menyerang Damian dengan pukulan dan cakaran. Pria yang datang bersama dengan Zora sampai kewalahan melerainya. Zora menyerang secara membabi buta.
Indhira yang terjatuh di lantai berusaha berdiri. Ia mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri. Ia harus keluar dari ruangan itu. Dengan berjalan sempoyongan ia berhasil keluar menuju ke lift. Indhira terduduk di lantai lift, keringatnya bercucuran, badannya terasa panas dan pandangannya mulai kabur. Yang ada di pikirannya saat ini adalah ia harus segera pulang.
Ting.. Pintu lift terbuka. Ia segera keluar mencari mobilnya. Orang - orang yang melihat pasti mengira ia mabuk selesai dari party. Pemandangan seperti itu hal yang biasa di sana.
Dengan susah payah akhirnya ia berhasil menemukan mobilnya. "Ya tuhan tolong aku. Aku harus bisa pulang." gumamnya berkali - kali. "Panas.. Kenapa tubuhku panas. Aku.. Aku merasa aneh."
Setelah berhasil menyalakan mesin Indhira langsung tancap gas. Ia sudah keluar dari hotel menuju jalan raya dan tidak tahu arah mana yang harus di tuju untuk pulang. Ia berusaha mengendalikan laju mobilnya, pandangannya mulai kabur dan bahkan berulang kali menggigit tangannya agar tetap tersadar. Indhira mengusap keringat yang bercucuran di dahinya. Tubuhnya merasakan kelenjar aneh. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya lirih. "Kenapa aku begitu bergairah."
Sementara itu..
Tampak seorang wanita berdiri di pinggir jalan sedang menerima telepon.
"Kamu di mana Calysta sayang?"
"Sabar. Aku baru mencari taksi." jawabnya sambil menengok ke kanan dan kiri.
"Kan aku sudah bilang biar sopir yang menjemputmu."
"Aku tidak mau, nanti jadi manja."
"Baiklah.."
"Tunggu sebentar lima belas menit lagi aku akan sampai. Aku sudah dapat taksinya." panggilan di akhiri. Wanita itu melambaikan tangan dan bersiap menyeberang karena taksi yang dia pesan ada di seberang.
Dan... Braakkk!!! Ciiittt!!!
Mobil yang di kendarai Indhira menabrak sesuatu, ia menekan rem kuat - kuat.
"Ya tuhan apa yang aku tabrak." gumamnya. Dengan napas tersengal - sengal ia berusaha keluar dan melihat apa yang terjadi.
Indhira berjalan sempoyongan mendekat dan alangkah terkejutnya ia bahwa yang di tabraknya adalah seorang wanita. Tiba - tiba pandangannya bertambah kabur.
"Tolong..! Tolong..! Tolong..!" teriaknya sebelum ia juga jatuh pingsan.
🌺🌺🌺🌺
Indhira berjalan bersama ayahnya di suatu padang rumput yang luas. Mereka berdua tersenyum bahagia, menghirup udara yang segar kala itu. Ayah melepaskan pegangan tangannya.
"Ayah..! Ayah mau kemana, kenapa pegangannya di lepas?"
Ayah hanya tersenyum menatap putri satu - satunya dan bayangannya menjauh seiring dengan waktu.
"Ayah! Ayah!" panggilnya berulang kali.
"Indhira sayang, bangun nak." suara Eswari sambil menepuk pelan bahu anak semata wayangnya.
Perlahan Indhira membuka matanya. Ia merasa asing dengan tempatnya berada sekarang. Sebuah ruangan yang di dominasi warna hijau dan tercium bau obat - obatan yang membuatnya tahu bahwa ia di rumah sakit.
"Syukurlah kamu bangun nak." Eswari memeluknya.
"Sudah berapa lama aku pingsan?"
"Hampir dua hari."
"Bu.."
"Ya nak."
"Bagaimana kondisi wanita yang aku tabrak?"
Eswari terdiam. Ia menatap Indhira dengan mata berkaca - kaca.
"Jawab bu." desak Indhira. Ia menyingkap selimutnya dan bersiap turun.
"Kamu mau kemana?" cegah Eswari.
"Aku mau melihat kondisi wanita itu."
"Jangan! Nanti saja. Kau istirahat saja dulu."
"Lepas bu! Aku mau melihatnya!" Eswari tidak bisa mencegah lagi. Indhira dengan tangan yang masih tertancap infus segera keluar. Ia berjalan menyusuri koridor dan bertanya pada perawat penjaga di mana kamar korban kecelakaan.
"Dhira! Berhenti! Dengarkan ibu dulu!" Eswari mengejar Indhira yang terus berjalan cepat menuju kamar wanita yang di tabraknya.
Tiba - tiba langkahnya terhenti. Ia melihat dua perawat mendorong jenazah keluar dari kamar itu, diiringi tangis seorang wanita seusia ibunya.
"Ap.. Ap.. Apa yang terjadi? Bu.. Apa yang terjadi? Wanita iittuu meninggal?" Indhira duduk bersimpuh di lantai.
Eswari memeluk Indhira dari belakang. "Iya betul. Walau sempat di larikan ke rumah sakit, ia menghembuskan napas terakhirnya tadi pagi."
"Tidak.. Ini tidak mungkin. Aku.. Aku.. Aku seorang pembunuh."
Eswari mengenggam tangan Indhira yang gemetar. "Tidak kamu bukan seorang pembunuh, ini ketidak sengajaan."
"Aku pembunuh bu." isak Indhira dalam pelukan wanita paru baya itu. Ia menangis sejadi - jadinya.
"Dasar pembunuh!!!" tiba - tiba teriak seorang pria berbadan tinggi tegap dan berjalan cepat menghampiri mereka. Eswari yang terkejut melepas pelukannya. Tangan besar pria itu menepis Eswari dan mencekik leher Indhira. "Kamu juga harus mati!!! Nyawa di bayar nyawa!!!"
"Eeghh.. Eegghh.. Eegghh." Indhira tidak bisa bernapas, matanya melotot mengeluarkan air mata. Tubuhnya melemas kekurangan oksigen.
Beberapa orang mencoba melepaskan tangan pria itu. Dan akhirnya setelah lima orang membantu, tangan itu bisa lepas dari leher Indhira.
"Uhuukk! Uhuukk! Uhuukk!" Indhira terkulai lemas.
"Kamu tidak apa - apa?" tanya Eswari.
Indhira hanya menggelengkan kepalanya. Dua orang perawat segera membawanya pergi dari sana.
"Aku pastikan kau akan membusuk di penjara selama - lamanya!!!" teriak pria itu menggelegar di seluruh koridor rumah sakit.
Indhira masih sangat syok sehingga harus mendapatkan suntikan obat penenang.
🌺🌺🌺🌺
Hari ini dengan wajah yang masih pucat Indhira harus bersiap datang ke pengadilan. Ini adalah sidang keduanya. Wanita yang dia tabrak bernama Calysta. Ia bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Ia juga sama seperti dirinya, hanya memiliki seorang ibu. Ibu dari Calysta bernama Arini yang mengelola sebuah panti asuhan. Ada sekitar dua puluh orang yang menjadi anak asuhnya. Semua berkisar umur lima sampai sepuluh tahun.
Di malam naas itu Indhira memang menyetir dalam pengaruh obat. Di temukan obat - obatan jenis flibanserin, bremelanotide dan alprazolam berada di dalam tubuhnya dan itu artinya ia menyetir dalam keadaan tidak sadar.
Yang menjadi pertanyaan Indhira adalah siapa yang sudah memasukkan obat itu ke dalam tubuhnya. Ia merasakan gejala ketika habis minum lemon tea. Apa mungkin pelayan itu yang memberinya, tapi apa tujuannya. Bisa juga itu Damian karena berada di sana ketika ia hampir hilang kesadaran.
Kali ini ia menerima tuntutan dari pengacara terkenal Lucas Ivander Edelsteen. Seorang pengacara keturunan Rusia Inggris yang namanya sudah terkenal. Banyak klien yang sudah ia menangkan kasusnya. Lucas sendiri adalah kekasih dari Calysta dan pria yang sudah mencekik lehernya di rumah sakit tempo hari. Indhira yakin, pengacara itu akan menjebloskannya di penjara.
Uni menggenggam tangan sahabatnya. "Tenanglah, ibumu pasti akan memberimu pengacara yang terbaik."
"Aku sudah pasrah jika nanti memang harus masuk penjara, toh memang aku yang sudah menabraknya hingga meninggal." gumam Indhira. "Kau tahu kan pengacara itu menaruh dendam yang amat besar terhadapku. Ia pasti akan melakukan segala cara untuk menjebloskanku di penjara."
"Hei, kau bicara apa sih. Kau itu tidak salah, kau menabraknya karena ada orang jahat yang menaruh obat di minumanmu."
"Tapi siapa yang sudah menaruhnya?"
"Pelayan itu. Bukankah kemarin pengadilan sudah memanggilnya. Dan kau dengar
sendiri kan pengakuannya."
"Ayolah Uni, pelayan itu cuma di jadikan kambing hitam. Sekarang kamu pikir, memangnya motif pelayan itu apa. Kenal saja aku tidak."
"Kalau itu aku memang tidak tahu. Tapi pelayan itu mengakui sendiri dan mau bersaksi di sini." bisik Uni, karena hakim sudah datang. "Sudah kamu tenang saja, ibumu sudah berusaha maksimal. Jadi hargailah."
Indhira terdiam. Semua yang berada di persidangan berdiri menyambut hakim dan persidangan di mulai. Sepersekian detik Indhira melirik ke arah Lucas dan tatapan mereka bertemu, hingga Indhira menundukkan kepala. Ia sangat takut dengan tatapan tajam milik Lucas seakan melumat hancur tubuhnya.
Beberapa orang saksi di panggil, mereka memberikan keterangan sesuai dengan kejadian. Dan di perlihatkan juga rekaman CCTV di jalan yang memang Calysta menyeberang jalan saat mobil Indhira berjarak beberapa meter.
"CCTV itu direkasaya yang mulia." bantah Lucas dengan berapi - api.
"Keberatan di tolak, para ahli sudah mengatakan kalau itu CCTV asli tanpa di manipulasi. Silahkan pengacara periksa sendiri." tegas hakim.
"Tapi yang mulia intinya dia sudah menabrak saudari Calysta." tunjuk Lucas ke arah Indhira. "Dia sudah menghilangkan nyawa orang tidak bersalah dengan sengaja. Karena dia mengkonsumsi obat terlarang."
"Keberatan yang mulia, pengacara korban menggunakan hubungan pribadi di sini karena ia merupakan kekasih dari korban."
"Tidak yang mulia! Saya tidak____."
Tok! Tok! Tok! "Tenang! Semuanya tenang!" teriak hakim. "Keberatan di terima, tolong pengacara korban menggunakan logika dan bukti - bukti yang ada."
Lucas mendengus kesal. Lagi - lagi ia menatap tajam Indhira yang membuatnya harus tertunduk.
"Dhira." sentuh Eswari lembut.
"Ya bu."
"Kamu tenang saja. Kita akan memenangkan pengadilan ini. Semua bukti menunjukkan kamu tidak bersalah. Kamu akan bebas sayang."
Indhira hanya memperlihatkan wajah datar, ia masih bingung dengan kejadian yang menimpanya. Walaupun pengadilan menyatakan ia bebas tidak bersalah, tapi jauh di lubuk hatinya ia merasa kasihan dengan ibu Arini ibunya Calysta. Wajah wanita tua itu sangat tabah dan sabar. Ia mengikuti persidangan itu tanpa ekspresi marah sedikitpun.
Tok! Tok! Tok! "Perhatian kami akan membacakan hasil persidangan pada hari ini dengan kasus kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Berdasarkan dengan bukti - bukti yang menyatakan bahwa saudari Calysta ketika kecelakaan sempat dilarikan di rumah sakit dan meninggal karena gagal jantung. Dan keterangan dari para saksi yang ada maka terdakwa atas nama Indhira Varsha Almeera di bebaskan dari segala tuntutan."
"Tunggu yang mulia! Kenapa terdakwa di bebaskan! Dia sudah menghilangkan nyawa Calysta!"
Tok! Tok! Tok! "Tenang semuanya! Tenang!" ucap hakim. "Tolong hormati persidangan ini pengacara Lucas. Bukti dan saksi yang anda bawa tidak kuat. Korban meninggal bukan karena kecelakaan tapi gagal jantung. Oleh sebab itu pihak pengadilan memutuskan untuk membebaskan terdakwa."
Brraakkk!!! "Pengadilan apa ini! Yang mulia tidak adil!" teriak Lucas. Ia membalikkan meja dan menendang kursi.
"Petugas tolong bawa tuan Lucas keluar!" perintah hakim.
Beberapa petugas membawa Lucas keluar. Hakim melanjutkan apa yang menjadi prosedur dari proses pengadilan.
Eswari dan Uni memeluk Indhira bersamaan. Mereka menangis bersama. Meluapkan haru dan kebahagiaan.
"Alhamdulillah kamu bisa bebas."
"Iya, terima kasih bu."
"Ayo kita keluar. Kita rayakan ini di rumah. Zora sudah tidak sabar menunggu kita pulang."
"Aku rasa tidak perlu di rayakan bu. Terus terang hatiku masih belum tenang."
"Baiklah kalau itu maumu. Ayo kita pulang."
Mereka bertiga keluar dari ruang pengadilan. Beberapa wartawan ingin mewawancarai mereka tapi di halau oleh bodyguard Damian. Ia tidak mau berita ini menjadi viral dan bisa mengganggu usahanya.
Eswari berjalan di depan. Indhira dan Uni berada di belakang. Hingga____
"Kurang ajar! Kenapa kamu bisa bebas!" sebuah tangan besar menariknya dan mencekik lehernya. "Kembalikan Calystaku!!! Kembalikan!" teriak Lucas.
"Hei lepaskan Indhira!" teriak Uni, ia berusaha melepas cengkeraman tangan Lucas. Tapi tenaga Uni tidak cukup kuat menghadapi Lucas yang bertubuh tinggi besar.
Melihat kekacauan itu bodyguard Damian segera turun tangan. Lagi - lagi Indhira harus merasakan sakitnya cengkeraman Lucas yang membuatnya seperti berada di ambang kematian.
Inikah yang di rasakan oleh Calysta ketika meregang nyawa, pikirnya dalam hati.
Para bodyguard berhasil menjauhkan Lucas dari Indhira.
"Aku akan membuat hidupmu tidak tenang! Aku akan membuat hidupmu seperti di neraka! Ingat sumpahku!!!"
Airmata Indhira mengalir deras. "Sudah, tenang. Tenangkan dirimu." peluk Eswari. "Sementara ini kamu tinggal bersama ibu. Terus terang aku khawatir Lucas akan terus menterormu."
Indhira bingung, di satu sisi ia tidak nyaman tinggal bersama Damian dan sisi lain ia takut dengan Lucas. Entahlah ia benar - benar trauma dengan pria itu. Dan akhirnya ia harus di hadapkan pada keputusan sulit.
"Baiklah bu. Sementara ini aku akan tinggal di sini."
"Syukurlah ibu senang dengan keputusanmu. Ibu yakin itu keputusan yang paling tepat."
Entahlah itu keputusan yang tepat atau tidak tapi yang ada di pikiran Indhira ia harus menghindari Lucas.
🌺🌺🌺🌺
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!