Indhira terbangun dari tidurnya setelah merasakan kehadiran ayah. Ia melihat jam dinding menunjukkan pukul empat pagi. Tubuhnya sudah terasa segar kembali dan ia memutuskan untuk mandi.
Suara gemericik air membuat Indhira lupa akan bebannya. "Loh, tanganku tidak perih lagi." ia membolak balikkan telapak tangannya. "Ternyata obat dari bu Nora manjur juga." gumamnya. Ia benar - benar menikmati mandi paginya kali ini.
Indhira menggelung rambutnya dengan handuk, bulir bulir air membasahi wajah dan lehernya. Ia benar - benar rileks dan santai hingga tak menyadari sepasang mata berwarna hijau ke oranye memperhatikannya.
"Kamu sudah bangun Dhira?" sapa Nora.
"Iya bu. Mumpung masih sepi. Ternyata mandi jam segini nikmat juga ya. Nggak ada yang mengganggu."
"Oya.. Nanti aku akan bilang ke tuan kalau kamu butuh kasur yang baru."
"Eh jangan bu. Nanti di kira aku yang minta. Hukumannya itu lo berat." cegah Indhira. "Yang kemarin saja belum."
"Tapi kasurmu itu kurang layak. Mana tidak ada tempat tidurnya lagi." ucap Nora. "Atau kamu pakai punya Ella dulu?"
"Aduh nggak usah bu. Aku nyaman kok dengan kasur itu. Aku nggak mau di hukum yang berat - berat lagi."
"Eh jangan di ingatkan. Siapa tahu tuan lupa."
"Kayaknya nggak deh bu. Kalau sudah berhubungan dengan aku sepertinya tuan tidak akan lupa." Indhira mencomot tempe goreng. "Hmmmm mantul."
"Kamu bisa saja." Nora tersipu malu. "Tempe goreng ini kesukaan tuan."
"Oya. Duh tampan, ganteng, kekar kenapa suka tempe ya. Hahahahahahhh.." Indhira tertawa geli.
"Duh, tumben memuji. Kasih rating berapa?"
"Apanya?"
"Ya ketampanan tuan lah, masak tempenya."
"Hmmm harusnya sepuluh per sepuluh tapi karena selalu menyiksaku aku turunkan satu jadi sembilan per sepuluh." jawabnya dengan rileks. Baru kali ini ia bebas mengungkapkan pendapatnya setelah mengalami penyiksaan. Perasaan ini sama seperti waktu bersama Uni. Sepertinya ia sudah bisa menyesuaikan diri.
"Eh sini, jangan keras - keras kalau ada yang dengar."
"Ini masih pagi banget bu. Belum ada yang bangun."
"Kalau aku sih suka dengan hidungnya tuan, sama kayak nona Calysta yang selalu memuji hidung tuan yang mancung." Nora bernostalgia. "Kalau kamu?"
"Iihhh.. Bu Nora genit deh."
"Eehh.. Orang tua nanya beneran kok malah di goda." Nora tersipu. "Ayo jawab." desaknya.
"Hmmm.. Mata." jawab Indhira sambil menyomot tempe goreng lagi.
"Kamu itu aneh, banyak orang yang merasa aneh dengan mata tuan. Eh kamunya malah suka."
"Itu mata paling indah yang pernah aku lihat selama ini. Dari sorot matanya tajam tapi rapuh. Entahlah sulit menggambarkannya. Hanya aku yang tahu." Indhira menggidikkan bahunya.
"Ya sudah, namanya juga selera. Bawa ini ke meja makan tuan."
"Siap bu."
"Hati - hati tanganmu kan masih luka."
Indhira tersenyum dan membawa makanan ke meja makan. Ia melihat sudah jam lima pagi. Sepertinya udara pagi pasti menyegarkan, pikirnya sambil membuka pintu kaca yang terhubung dengan kolam.
"Hmmm.. Segarnya." ia menghirup udara dalam - dalam sambil memejamkan mata. Memenuhi rongga paru - parunya dengan udara pagi.
"Puas - puaskan. Siapa tahu kau tidak akan sempat menghirup udara segar ini lagi."
Indhira melihat ke samping dan segera menurunkan tangannya. "Maaf tuan." seketika oksigen yang tadi di hirupnya berhenti. Ia berbalik untuk meninggalkan Lucas.
"Tunggu."
Indhira menghentikan langkahnya.
"Bersihkan ruangan Gym. Aku mau semuanya terlihat bersih."
"Baik tuan." jawab Indhira. Ia menyesal kenapa tadi harus pake santai menikmati udara pagi, mana belum sempat sarapan tadi.
Ia mengambil vacum cleaner dan kain lap. Ia harus menggeser alat - alat berat itu, agar mudah membersihkan karpetnya.
"Heegghh.. Hegghh.. Hegghh." teriaknya, alat berat itu hanya bergeser sejengkal.
Lucas memperhatikan dari kejauhan. Ada sedikit gerakan dari sudut bibirnya ketika melihat Indhira. Tersungging sebuah senyuman yang hanya sepersekian detik saja.
"Ya tuhan, alat ini berat semuanya. Bergeser sedikitpun tidak. Kalau begini kapan selesainya." gumamnya. Tapi bukan Indhira namanya kalau cepat menyerah. Ia menarik napas panjang dan menarik sekuat tenaga.
Brruuukkk!!!
"Aaauuwww." teriaknya.
Lucas yang melihat itu langsung berlari menghampiri.
"Apa yang terjadi?"
"Kaki saya tuan." Indhira jatuh berguling sambil memegangi kakinya.
Lucas melihat kaki Indhira yang kejatuhan barbel tampak memerah. "Nora! Nora! Nora!" yang di panggil sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Lucas menggendong Indhira karena dari tadi mengeluh kesakitan.
"Sakit tuan." keluhnya.
"Iya aku tahu. Sebentar aku panggilkan dokter."
Tiba - tiba dari arah belakang Nora datang bersama Asep. "Apa tadi tuan memanggil saya?"
"Kemana saja kamu? Cepat panggil dokter."
Asep segera memanggil dokter keluarga. Sedangkan Nora berusaha menenangkan Indhira yang terus merintih kesakitan. Kakinya memerah dan bengkak.
Tak lama kemudian dokter datang dan segera menangani Indhira.
"Bagaimana dok?"
"Tidak ada yang perlu di khawatirkan, hanya memar dan bengkak saja. Cukup istirahat dan minum pereda nyeri. Dan ini obat untuk di oleskan di kaki."
"Terima kasih dok."
Setelah dokter pergi, Lucas kembali emosi. "Kamu kerja pakai otak nggak sih?! Untung hanya kakimu yang tertimpa barbel kecil. Kalau kepalamu bagaimana?!"
"Bukankah kalau saya mati tuan akan senang?"
Lucas menatap tajam ke arahnya. Tangannya yang besar mencekik leher Indhira. "Ini yang kamu inginkan?!"
Indhira meringis kesakitan.
"Tuan.. Tuan.. Sudah tuan, saya mohon." Nora berusaha melerai pertengkaran itu.
Lucas menghempaskan tubuh Indhira. "Bawa dia ke dalam. Aku muak melihatnya!"
Indhira mengulurkan tangannya ke Asep. Dengan cepat Asep menyambutnya. Kalau Nora yang menolongnya tentu tidak akan sanggup karena usianya.
Sekilas Lucas melihat itu. "Kau saja yang bantu Nora!" teriak Lucas yang membuat Indhira mengurungkan tangannya.
"Ttapi saya tidak kuat tuan."
"Aku bilang kau saja!"
"Bbaik tuan." jawab Nora.
Asep pun mundur sedikit kebelakang. Indhira berusaha keras untuk berdiri kalau hanya bertumpu saja pada Nora akan tidak kuat.
Dengan susah payah mereka bertiga akhirnya sampai ke kamar.
"Makasih bu, pak."
"Aku kan sudah bilang jangan cari gara - gara dengan tuan." ucap Nora.
"Bener kata bu Nora. Lagian kamu itu cuma pelayan, jangan menantang tuan."
Indhira hanya diam. Ia melihat kakinya yang bengkak dan kesulitan berjalan.
"Sudah kamu istirahat dulu. Beruntung tuan tidak menyuruhmu kerja."
Nora dan Asep pergi meninggalkan kamar Indhira. Di dalam kamar Indhira terus menangis. Kakinya terasa nyeri. Baru kali ini ia mendapati kakinya bengkak.
🌺🌺🌺🌺
Eswari menata beberapa koper besar. Ia akan pergi ke paris selama dua minggu. Pergi berlibur membuatnya lebih tenang. Menurutnya masalah Indhira sudah sangat menyita pikirannya beberapa bulan ini.
Plok! Plok! Plok!
Zora bertepuk tangan melihat Eswari sibuk persiapan liburan. "Wah enak ya, menghabiskan uang papa."
Eswari menghentikan kegiatannya. "Kalau kamu mau kamu juga bisa ikut."
"Nggak sudi! Cuuiih. Satu pesawat denganmu membuatku najis."
Eswari mengepalkan tangannya. "Hei, anak manis kesayangannya Damian. Tidak usah munafik, bukankah selama ini kita tinggal satu rumah." sindir Eswari.
"Hei, wanita tua! Jangan mencari gara - gara ya!"
"Kau dulu yang mulai. Ingat." jawab Eswari penuh penekanan.
Zora menarik napas panjang. "Baiklah.. Oke.. Kali ini aku akan membiarkanmu. Toh aku puas melihat anakmu menjadi seorang pembunuh. Hahahahahhh!!!" Zora tertawa terbahak - bahak.
Eswari yang mulai kehilangan kesabaran mulai mencengkeram lengannya. "Apa kau di balik ini semua!!!" teriaknya.
Zora tersenyum smirk. "Pikir saja sendiri." ia mendorong tubuh Eswari ke belakang. "Minggir!" teriaknya sembari pergi meninggalkan Eswari.
Sepertinya aku harus menyelidiki lagi kasus Indhira. Apa mungkin Zora terlibat dalam hal ini? Anakku bergaul dengan baik, tidak pernah clubbing atau keluar malam. Bagaimana bisa malam itu ia mabuk atau dalam pengaruh obat pikir Eswari dalam hati. Penyelidikan yang di lakukan Damian juga terhenti entah apa alasannya. Pelayan itu juga tidak terlihat batang hidungnya. Sepertinya semuanya raib.
Eswari mengambil handphone dan melakukan panggilan dengan seseorang.
"Aku ingin kau menyelediki kasus kecelakaan Calysta."
🌺🌺🌺🌺
Pagi yang cerah merupakan awal baik melakukan banyak kegiatan positif, begitu juga dengan Lucas. Ia banyak menangani beberapa kasus. Ia sudah kembali giat beraktifitas.
Siang itu tampak Leon dengan langkah cepat mendatangi ruang kerja Lucas.
"Ada apa?"
"Maaf tuan saya baru mendapat kabar bahwa nyonya Damian menyewa seorang detektif untuk menyelidiki kasus nona Indhira."
"Aneh, setelah beberapa bulan kenapa ia baru menyelidikinya. Dan juga bukankah beberapa waktu yang lalu Damian menyelidikinya sendiri."
"Menurut kabar yang saya dengar, Damian menghentikan penyelidikan entah apa alasannya."
"Leon, terus terang aku menjadi penasaran tentang kasus ini."
"Apa tuan jadi ragu kalau nona Indhira bersalah?"
"Entahlah.. Kau selidiki gerak gerik orang tua Indhira. Sepertinya tidak ada yang peduli padanya."
"Baik tuan."
"Bagaimana dengan handphone Calysta?"
"Handphone itu sudah hampir hancur. Perlu beberapa waktu untuk memperbaikinya."
"Berapa lama?"
"Sekitar dua minggu sampai satu bulan tuan."
Lucas terdiam mendengar penjelasan Leon. "Oya siapkan mobil aku mau pulang."
"Tapi tuan hari ini ada janji temu dengan klien."
"Tunda besok pagi saja."
"Baik tuan."
Lucas bersiap untuk pulang. Ia masuk ke dalam mobil kesayangannya Range Rover warna hitam. Ketika hendak menyalakan mesin, tiba - tiba ia di sapa oleh seseorang.
"Hai Lucas."
"Mau apa?"
"Bisa kita bicara?"
"Aku mau pulang."
"Baiklah jika kau tidak mau. It's okey. Tapi aku curiga akan satu hal."
Lucas menatap tajam ke arah Zora.
"Sudah hampir dua minggu ini Dhira tidak ada di ruko. Karyawannya mengatakan ia pergi berlibur dan menurutku itu aneh. Dapat uang dari mana dia sampai liburan begitu lama." Zora membelai lengan Lucas.
"Yang jadi pertanyaan adalah, kau tidak terlibat dengan hilangnya Dhira kan?"
"Apa maksud pertanyaanmu? Aku tidak mengerti!"
Zora mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto mobil Indhira terparkir di depan firma hukum milik Lucas. "Ia sempat mengunjungimu dan setelah itu hilang."
"Dengar Zora. Dia mengunjungiku karena urusan yang lain. Soal dia menghilang aku tidak peduli. Mendengar namanya saja aku jijik."
Zora terdiam, ia memandang Lucas untuk melihat kesungguhan dari pernyataannya. Dan ia menemukan Lucas serius berkata sejujurnya.
"Baiklah, aku bersyukur kalau kau tidak ada hubungannya dengan Indhira. Aku tidak suka kau dekat dengannya."
"Itu urusanku. Permisi." Lucas menangkis tangan Zora dan kembali menyalakan mesin. Ia pergi meninggalkan wanita itu sendiri.
Lucas mengendarai mobilnya dengan santai, ia mampir ke apotik sebentar. Setelah itu melanjutkan perjalanannya lagi.
Ia sudah sampai di rumah besarnya. Waktu saat ini sudah sangat malam. Hanya penjaga malam yang masih terus berjaga. Ia memasuki sebuah kamar dan melihat seorang wanita tidur meringkuk di sana.
Lucas sedikit berjongkok, tangannya membuka selimut dan terlihatlah kaki yang di perban. Dengan perlahan ia membukanya.
"Heh, kakimu bengkak." gumamnya. Ia dengan perlahan mengoleskan obat di kaki. Kemudian memerban lagi. "Tidurlah yang nyenyak Dhira." ucapnya kemudian keluar dari kamar itu.
Lucas duduk sebentar di ruang tengah. Kenangan akan Calysta tiba - tiba saja muncul. Entah kenapa beberapa hari yang lalu kenangan itu seakan di telan dengan kesibukannya menyiksa Indhira. Ia menghela napas panjang "Apa yang harus aku lakukan Calysta?"
🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Sleepyhead
Ciiiih Mr. Stubborn... susah amat mengakui kalo sdh ada seredet hate. dia ga mengizinkan Wanita nya di bantu pak Asep
2024-10-15
0
Alif 33
hemmmm....
kasian si Dhira
2024-10-15
0
Putri Sary
cepat dong selesai masalahnya, biar gk disiksa trus dhira nya. si lucas cpt dpt ptunjuk dong thor
2024-10-15
0