"Om Damian?"
"Kaget melihatku? Atau justru kamu senang?" Damian berjalan mendekat sambil tersenyum nakal.
Indhira berusaha berjalan menghindari Damian akan tetapi jalannya di halangi. "Minggir! Aku mau pulang!"
"Jangan jual mahal. Kita bersenang - senang dulu di sini." Damian menarik lengan Indhira untuk mendekat padanya.
"Lepas! Lepaskan kataku!" teriak Indhira.
Braakkk!!! Pintu tiba - tiba terbuka.
"Papa!!!" teriak Zora yang melihat papanya memeluk Indhira. "Apa yang papa lakukan!" dengan histeris Zora menarik Indhira ke belakang dan memukul papanya.
"Jangan ikut campur!" Damian mendorong Zora hingga terjatuh di sofa.
"Dasar pria hidung belang!!!" Zora kembali menyerang Damian dengan pukulan dan cakaran. Pria yang datang bersama dengan Zora sampai kewalahan melerainya. Zora menyerang secara membabi buta.
Indhira yang terjatuh di lantai berusaha berdiri. Ia mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri. Ia harus keluar dari ruangan itu. Dengan berjalan sempoyongan ia berhasil keluar menuju ke lift. Indhira terduduk di lantai lift, keringatnya bercucuran, badannya terasa panas dan pandangannya mulai kabur. Yang ada di pikirannya saat ini adalah ia harus segera pulang.
Ting.. Pintu lift terbuka. Ia segera keluar mencari mobilnya. Orang - orang yang melihat pasti mengira ia mabuk selesai dari party. Pemandangan seperti itu hal yang biasa di sana.
Dengan susah payah akhirnya ia berhasil menemukan mobilnya. "Ya tuhan tolong aku. Aku harus bisa pulang." gumamnya berkali - kali. "Panas.. Kenapa tubuhku panas. Aku.. Aku merasa aneh."
Setelah berhasil menyalakan mesin Indhira langsung tancap gas. Ia sudah keluar dari hotel menuju jalan raya dan tidak tahu arah mana yang harus di tuju untuk pulang. Ia berusaha mengendalikan laju mobilnya, pandangannya mulai kabur dan bahkan berulang kali menggigit tangannya agar tetap tersadar. Indhira mengusap keringat yang bercucuran di dahinya. Tubuhnya merasakan kelenjar aneh. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya lirih. "Kenapa aku begitu bergairah."
Sementara itu..
Tampak seorang wanita berdiri di pinggir jalan sedang menerima telepon.
"Kamu di mana Calysta sayang?"
"Sabar. Aku baru mencari taksi." jawabnya sambil menengok ke kanan dan kiri.
"Kan aku sudah bilang biar sopir yang menjemputmu."
"Aku tidak mau, nanti jadi manja."
"Baiklah.."
"Tunggu sebentar lima belas menit lagi aku akan sampai. Aku sudah dapat taksinya." panggilan di akhiri. Wanita itu melambaikan tangan dan bersiap menyeberang karena taksi yang dia pesan ada di seberang.
Dan... Braakkk!!! Ciiittt!!!
Mobil yang di kendarai Indhira menabrak sesuatu, ia menekan rem kuat - kuat.
"Ya tuhan apa yang aku tabrak." gumamnya. Dengan napas tersengal - sengal ia berusaha keluar dan melihat apa yang terjadi.
Indhira berjalan sempoyongan mendekat dan alangkah terkejutnya ia bahwa yang di tabraknya adalah seorang wanita. Tiba - tiba pandangannya bertambah kabur.
"Tolong..! Tolong..! Tolong..!" teriaknya sebelum ia juga jatuh pingsan.
🌺🌺🌺🌺
Indhira berjalan bersama ayahnya di suatu padang rumput yang luas. Mereka berdua tersenyum bahagia, menghirup udara yang segar kala itu. Ayah melepaskan pegangan tangannya.
"Ayah..! Ayah mau kemana, kenapa pegangannya di lepas?"
Ayah hanya tersenyum menatap putri satu - satunya dan bayangannya menjauh seiring dengan waktu.
"Ayah! Ayah!" panggilnya berulang kali.
"Indhira sayang, bangun nak." suara Eswari sambil menepuk pelan bahu anak semata wayangnya.
Perlahan Indhira membuka matanya. Ia merasa asing dengan tempatnya berada sekarang. Sebuah ruangan yang di dominasi warna hijau dan tercium bau obat - obatan yang membuatnya tahu bahwa ia di rumah sakit.
"Syukurlah kamu bangun nak." Eswari memeluknya.
"Sudah berapa lama aku pingsan?"
"Hampir dua hari."
"Bu.."
"Ya nak."
"Bagaimana kondisi wanita yang aku tabrak?"
Eswari terdiam. Ia menatap Indhira dengan mata berkaca - kaca.
"Jawab bu." desak Indhira. Ia menyingkap selimutnya dan bersiap turun.
"Kamu mau kemana?" cegah Eswari.
"Aku mau melihat kondisi wanita itu."
"Jangan! Nanti saja. Kau istirahat saja dulu."
"Lepas bu! Aku mau melihatnya!" Eswari tidak bisa mencegah lagi. Indhira dengan tangan yang masih tertancap infus segera keluar. Ia berjalan menyusuri koridor dan bertanya pada perawat penjaga di mana kamar korban kecelakaan.
"Dhira! Berhenti! Dengarkan ibu dulu!" Eswari mengejar Indhira yang terus berjalan cepat menuju kamar wanita yang di tabraknya.
Tiba - tiba langkahnya terhenti. Ia melihat dua perawat mendorong jenazah keluar dari kamar itu, diiringi tangis seorang wanita seusia ibunya.
"Ap.. Ap.. Apa yang terjadi? Bu.. Apa yang terjadi? Wanita iittuu meninggal?" Indhira duduk bersimpuh di lantai.
Eswari memeluk Indhira dari belakang. "Iya betul. Walau sempat di larikan ke rumah sakit, ia menghembuskan napas terakhirnya tadi pagi."
"Tidak.. Ini tidak mungkin. Aku.. Aku.. Aku seorang pembunuh."
Eswari mengenggam tangan Indhira yang gemetar. "Tidak kamu bukan seorang pembunuh, ini ketidak sengajaan."
"Aku pembunuh bu." isak Indhira dalam pelukan wanita paru baya itu. Ia menangis sejadi - jadinya.
"Dasar pembunuh!!!" tiba - tiba teriak seorang pria berbadan tinggi tegap dan berjalan cepat menghampiri mereka. Eswari yang terkejut melepas pelukannya. Tangan besar pria itu menepis Eswari dan mencekik leher Indhira. "Kamu juga harus mati!!! Nyawa di bayar nyawa!!!"
"Eeghh.. Eegghh.. Eegghh." Indhira tidak bisa bernapas, matanya melotot mengeluarkan air mata. Tubuhnya melemas kekurangan oksigen.
Beberapa orang mencoba melepaskan tangan pria itu. Dan akhirnya setelah lima orang membantu, tangan itu bisa lepas dari leher Indhira.
"Uhuukk! Uhuukk! Uhuukk!" Indhira terkulai lemas.
"Kamu tidak apa - apa?" tanya Eswari.
Indhira hanya menggelengkan kepalanya. Dua orang perawat segera membawanya pergi dari sana.
"Aku pastikan kau akan membusuk di penjara selama - lamanya!!!" teriak pria itu menggelegar di seluruh koridor rumah sakit.
Indhira masih sangat syok sehingga harus mendapatkan suntikan obat penenang.
🌺🌺🌺🌺
Hari ini dengan wajah yang masih pucat Indhira harus bersiap datang ke pengadilan. Ini adalah sidang keduanya. Wanita yang dia tabrak bernama Calysta. Ia bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Ia juga sama seperti dirinya, hanya memiliki seorang ibu. Ibu dari Calysta bernama Arini yang mengelola sebuah panti asuhan. Ada sekitar dua puluh orang yang menjadi anak asuhnya. Semua berkisar umur lima sampai sepuluh tahun.
Di malam naas itu Indhira memang menyetir dalam pengaruh obat. Di temukan obat - obatan jenis flibanserin, bremelanotide dan alprazolam berada di dalam tubuhnya dan itu artinya ia menyetir dalam keadaan tidak sadar.
Yang menjadi pertanyaan Indhira adalah siapa yang sudah memasukkan obat itu ke dalam tubuhnya. Ia merasakan gejala ketika habis minum lemon tea. Apa mungkin pelayan itu yang memberinya, tapi apa tujuannya. Bisa juga itu Damian karena berada di sana ketika ia hampir hilang kesadaran.
Kali ini ia menerima tuntutan dari pengacara terkenal Lucas Ivander Edelsteen. Seorang pengacara keturunan Rusia Inggris yang namanya sudah terkenal. Banyak klien yang sudah ia menangkan kasusnya. Lucas sendiri adalah kekasih dari Calysta dan pria yang sudah mencekik lehernya di rumah sakit tempo hari. Indhira yakin, pengacara itu akan menjebloskannya di penjara.
Uni menggenggam tangan sahabatnya. "Tenanglah, ibumu pasti akan memberimu pengacara yang terbaik."
"Aku sudah pasrah jika nanti memang harus masuk penjara, toh memang aku yang sudah menabraknya hingga meninggal." gumam Indhira. "Kau tahu kan pengacara itu menaruh dendam yang amat besar terhadapku. Ia pasti akan melakukan segala cara untuk menjebloskanku di penjara."
"Hei, kau bicara apa sih. Kau itu tidak salah, kau menabraknya karena ada orang jahat yang menaruh obat di minumanmu."
"Tapi siapa yang sudah menaruhnya?"
"Pelayan itu. Bukankah kemarin pengadilan sudah memanggilnya. Dan kau dengar
sendiri kan pengakuannya."
"Ayolah Uni, pelayan itu cuma di jadikan kambing hitam. Sekarang kamu pikir, memangnya motif pelayan itu apa. Kenal saja aku tidak."
"Kalau itu aku memang tidak tahu. Tapi pelayan itu mengakui sendiri dan mau bersaksi di sini." bisik Uni, karena hakim sudah datang. "Sudah kamu tenang saja, ibumu sudah berusaha maksimal. Jadi hargailah."
Indhira terdiam. Semua yang berada di persidangan berdiri menyambut hakim dan persidangan di mulai. Sepersekian detik Indhira melirik ke arah Lucas dan tatapan mereka bertemu, hingga Indhira menundukkan kepala. Ia sangat takut dengan tatapan tajam milik Lucas seakan melumat hancur tubuhnya.
Beberapa orang saksi di panggil, mereka memberikan keterangan sesuai dengan kejadian. Dan di perlihatkan juga rekaman CCTV di jalan yang memang Calysta menyeberang jalan saat mobil Indhira berjarak beberapa meter.
"CCTV itu direkasaya yang mulia." bantah Lucas dengan berapi - api.
"Keberatan di tolak, para ahli sudah mengatakan kalau itu CCTV asli tanpa di manipulasi. Silahkan pengacara periksa sendiri." tegas hakim.
"Tapi yang mulia intinya dia sudah menabrak saudari Calysta." tunjuk Lucas ke arah Indhira. "Dia sudah menghilangkan nyawa orang tidak bersalah dengan sengaja. Karena dia mengkonsumsi obat terlarang."
"Keberatan yang mulia, pengacara korban menggunakan hubungan pribadi di sini karena ia merupakan kekasih dari korban."
"Tidak yang mulia! Saya tidak____."
Tok! Tok! Tok! "Tenang! Semuanya tenang!" teriak hakim. "Keberatan di terima, tolong pengacara korban menggunakan logika dan bukti - bukti yang ada."
Lucas mendengus kesal. Lagi - lagi ia menatap tajam Indhira yang membuatnya harus tertunduk.
"Dhira." sentuh Eswari lembut.
"Ya bu."
"Kamu tenang saja. Kita akan memenangkan pengadilan ini. Semua bukti menunjukkan kamu tidak bersalah. Kamu akan bebas sayang."
Indhira hanya memperlihatkan wajah datar, ia masih bingung dengan kejadian yang menimpanya. Walaupun pengadilan menyatakan ia bebas tidak bersalah, tapi jauh di lubuk hatinya ia merasa kasihan dengan ibu Arini ibunya Calysta. Wajah wanita tua itu sangat tabah dan sabar. Ia mengikuti persidangan itu tanpa ekspresi marah sedikitpun.
Tok! Tok! Tok! "Perhatian kami akan membacakan hasil persidangan pada hari ini dengan kasus kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Berdasarkan dengan bukti - bukti yang menyatakan bahwa saudari Calysta ketika kecelakaan sempat dilarikan di rumah sakit dan meninggal karena gagal jantung. Dan keterangan dari para saksi yang ada maka terdakwa atas nama Indhira Varsha Almeera di bebaskan dari segala tuntutan."
"Tunggu yang mulia! Kenapa terdakwa di bebaskan! Dia sudah menghilangkan nyawa Calysta!"
Tok! Tok! Tok! "Tenang semuanya! Tenang!" ucap hakim. "Tolong hormati persidangan ini pengacara Lucas. Bukti dan saksi yang anda bawa tidak kuat. Korban meninggal bukan karena kecelakaan tapi gagal jantung. Oleh sebab itu pihak pengadilan memutuskan untuk membebaskan terdakwa."
Brraakkk!!! "Pengadilan apa ini! Yang mulia tidak adil!" teriak Lucas. Ia membalikkan meja dan menendang kursi.
"Petugas tolong bawa tuan Lucas keluar!" perintah hakim.
Beberapa petugas membawa Lucas keluar. Hakim melanjutkan apa yang menjadi prosedur dari proses pengadilan.
Eswari dan Uni memeluk Indhira bersamaan. Mereka menangis bersama. Meluapkan haru dan kebahagiaan.
"Alhamdulillah kamu bisa bebas."
"Iya, terima kasih bu."
"Ayo kita keluar. Kita rayakan ini di rumah. Zora sudah tidak sabar menunggu kita pulang."
"Aku rasa tidak perlu di rayakan bu. Terus terang hatiku masih belum tenang."
"Baiklah kalau itu maumu. Ayo kita pulang."
Mereka bertiga keluar dari ruang pengadilan. Beberapa wartawan ingin mewawancarai mereka tapi di halau oleh bodyguard Damian. Ia tidak mau berita ini menjadi viral dan bisa mengganggu usahanya.
Eswari berjalan di depan. Indhira dan Uni berada di belakang. Hingga____
"Kurang ajar! Kenapa kamu bisa bebas!" sebuah tangan besar menariknya dan mencekik lehernya. "Kembalikan Calystaku!!! Kembalikan!" teriak Lucas.
"Hei lepaskan Indhira!" teriak Uni, ia berusaha melepas cengkeraman tangan Lucas. Tapi tenaga Uni tidak cukup kuat menghadapi Lucas yang bertubuh tinggi besar.
Melihat kekacauan itu bodyguard Damian segera turun tangan. Lagi - lagi Indhira harus merasakan sakitnya cengkeraman Lucas yang membuatnya seperti berada di ambang kematian.
Inikah yang di rasakan oleh Calysta ketika meregang nyawa, pikirnya dalam hati.
Para bodyguard berhasil menjauhkan Lucas dari Indhira.
"Aku akan membuat hidupmu tidak tenang! Aku akan membuat hidupmu seperti di neraka! Ingat sumpahku!!!"
Airmata Indhira mengalir deras. "Sudah, tenang. Tenangkan dirimu." peluk Eswari. "Sementara ini kamu tinggal bersama ibu. Terus terang aku khawatir Lucas akan terus menterormu."
Indhira bingung, di satu sisi ia tidak nyaman tinggal bersama Damian dan sisi lain ia takut dengan Lucas. Entahlah ia benar - benar trauma dengan pria itu. Dan akhirnya ia harus di hadapkan pada keputusan sulit.
"Baiklah bu. Sementara ini aku akan tinggal di sini."
"Syukurlah ibu senang dengan keputusanmu. Ibu yakin itu keputusan yang paling tepat."
Entahlah itu keputusan yang tepat atau tidak tapi yang ada di pikiran Indhira ia harus menghindari Lucas.
🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments