Tanpa terasa satu bulan sudah Indhira tinggal bersama keluarga barunya, lebih dari waktu yang ia janjikan. Selama satu bulan ini ia mendapat perlakuan istimewa terutama dari Eswari. Tapi entah kenapa ia masih belum bisa menerima sepenuhnya Damian sebagai ayah sambungnya.
"Dhira, Zora hari ini aku akan mengajak kalian ke butik untuk fitting gaun. Kalian harus tampil beda di acara nanti."
"Yes, i love it. Thank's ma." Zora memeluk Eswari.
"Apa nggak terlalu berlebihan bu?"
"Nggak dong. Anak gadisku harus tampil cantik dan menjadi pusat perhatian di sana."
Indhira hanya tersenyum mendengar itu. Pada dasarnya ia suka dengan kesederhanaan.
"Kita berangkat setengah jam lagi. Kalian bisa bersiap sekarang."
Indhira dan Zora segera mempersiapkan diri. Mereka pergi berempat bersama dengan Damian. Tak berapa lama sampailah mereka di sebuah butik mewah milik salah satu designer terkenal.
"Aduh lama banget sih tuan dan nyonya Damian nggak ke sini."
"Iya Rey, kami berdua sibuk." jawab Damian sambil membalas pelukan Reynald.
"Eh siapa dia? Cantik banget."
"Itu Indhira, putriku." jawab Eswari. "Kau pasti merasa asing karena baru kali ini ia mau bergabung bersama kami." Eswari menatap Indhira. "Dhira kemari, kenalkan ini Reynald."
Indhira menjabat tangan Reynald.
"Hmm.. Aku suka wajah - wajah begini. Natural dan klasik."
"Kau bisa saja." jawab Eswari. "Oya gaun yang aku pesan sudah selesai?"
"Tentu saja sudah. Gaun merah itu untuk Zora yang selalu tampil energik dan gaun hitam untuk Dhira." dua orang asisten mengambil gaun yang sudah siap. "Kalian bisa mencobanya di sana."
Asisten mengantarkan Zora dan Dhira ke belakang.
"Sayang aku ke toilet dulu." pamit Damian tiba - tiba. Eswari hanya menganggukkan kepala dan kembali asyik melanjutkan obrolannya bersama Reynald.
Sementara itu di fitting room. Indhira hanya menatap gaun hitam panjang dengan tali spageti yang terlihat sangat mewah. Hanya saja itu bukan seleranya. Tapi untuk menghargai ibu apa salahnya ia coba.
Ia mulai membuka baju, hanya menyisakan pakaian dalam saja. Dan tiba - tiba tirainya terbuka.
"Aacchhh!!!" jeritnya. Dengan cepat ia berbalik dan mengambil bajunya kembali untuk menutup bagian depan tubuhnya. "Apa yang om lakukan!" teriak Indhira penuh emosi.
"Ups..! Sorry Dhira. Om nggak tahu kalau di dalam ada kamu."
"Keluar! Keluar kataku!!!" mata Indhira yang cantik melotot hampir keluar, uratnya menegang dan wajahnya yang memerah. Ia benar - benar menahan emosi dan malu. Ia mendorong tubuh Damian dengan kuat dan menutup lagi tirainya.
Dengan cepat ia mengenakan bajunya kembali dan segera keluar.
"Tunggu Dhira, om minta maaf. Aku nggak sengaja."
"Sengaja atau tidak intinya om sudah tidak sopan!" teriak Indhira sambil berjalan keluar.
"Hei, aku benar - benar keliru. Aku mau ke toilet dan tidak tahu kalau ini fitting room baju."
Indhira menghentikan langkahnya. "Tidak tahu? Jangan berbohong! Om adalah pelanggan lama di sini. Mana mungkin om tidak tahu di mana letak toiletnya!" teriak Indhira dengan keras.
"Dhira maafkan om." wajah Damian tampak memelas. "Ini adalah hal kecil, apalagi kau sekarang adalah anakku. Tidak apa - apa kan seorang ayah melihat anaknya berganti pakaian?"
"Hal kecil? Tidak apa - apa?" Indhira menatap tajam pria setengah baya di depannya. "Ini tidak wajar. Aku sudah dewasa dan satu lagi, om Damian bukan ayahku dan aku tidak akan pernah menganggap om sebagai ayahku sampai kapan pun!"
"Ada apa ini?" tanya Eswari yang tergopoh - gopoh menghampiri mereka.
"Tanya saja sama suami baru ibu." jawab Indhira ketus dan pergi meninggalkan mereka.
"Dhira! Dhira! Tunggu! Kamu mau kemana?"
"Pulang ke ruko. Aku perlu waktu sendiri bu."
Eswari hanya terdiam melihat putrinya pergi. Zora keluar dari fitting room juga tampak terkejut dengan pertengkaran yang tiba - tiba terjadi.
"Apa yang terjadi Damian?"
"Aku juga kaget sayang. Aku pikir yang di dalam fitting room adalah Zora. Ternyata aku salah."
"Kenapa kau tidak tanya dulu?" sesal Eswari. "Aku susah payah berdamai dengan putriku sendiri, kau malah menghancurkannya."
"I'm sorry sayang. Aku akan minta maaf dan membujuknya untuk kembali ke rumah." Damian memeluk Eswari.
Mereka bertiga akhirnya pulang tanpa Indhira.
"Pa aku mau bicara?"
"Oke ke ruang kerja papa."
Zora mengikuti langkah pria yang sudah membesarkannya itu.
"Ada apa?"
"Kenapa papa bohong?"
"Apa maksudmu?"
Zora tersenyum sinis. "Aku yakin papa memang sengaja masuk ke fitting room Dhira. Penjelasan yang papa berikan antara Dhira dan ibunya sangat berbeda."
Damian diam dan menatap tajam putrinya.
"Papa menyukai Dhira?"
BRAAKKK..!!!
"Tutup mulutmu Zora!"
"Kenapa? Karena aku benar kan?"
"Diam dan jangan pernah membahas masalah ini lagi. Ingat jika kau masih ingin hidup dengan fasilitas mewah, kau tahu apa yang harus di lakukan."
"Hmmm... Baiklah itu urusan papa. Hanya saja itu terlalu menjijikkan bagiku. Bagaimana bisa papa menikahi wanita tua dan ketika bercinta yang dalam bayangan papa adalah anaknya."
"Keluar! Keluar!"
"Baiklah aku akan keluar. Hati - hati pa, goodluck." Zora melambaikan tangan dan keluar dari ruang kerja Damian dengan wajah dingin.
🌺🌺🌺🌺
Indhira sedang melayani beberapa pembeli karena mbak Sri hari ini libur. Usaha yang sudah di rintisnya dua tahun yang lalu itu terbilang sukses di tengah maraknya cafe - cafe.
"Sudah menghubungi ibumu?" tanya Uni tiba - tiba.
"Sudah, lewat telepon."
"Kau tidak kasihan dengannya?"
"Aku kasihan Uni dan kau tahu aku paling sayang dengan ibu. Tapi kalau aku harus tinggal bersama pria brengsek itu aku tidak mau."
"Siapa tahu memang saat itu dia benar - benar nggak sengaja."
"Nggak sengaja gimana. Logikanya dia pelanggan lama di sana pasti tahu dong letak toiletnya. Dan juga antara pintu kamar mandi dan fitting room pasti beda."
"Iya juga sih."
"Apalagi di rumah itu gerak gerikku seperti di awasi. Bahkan ketika tidur seperti ada yang mengawasiku."
Uni mengangguk - angguk mendengar penjelasan sahabatnya itu. Selang beberapa waktu setelah mereka ngobrol datanglah Zora.
"Hai."
"Hai Zora."
"Aku mau menyerahkan gaun pesanan mama."
"Maaf sudah merepotkanmu. Tapi sepertinya aku tidak akan mengenakannya. Itu terlalu mewah dan terbuka untukku."
"Aku menghargai keputusanmu. Tidak masalah jika kau tidak mau mengenakannya. Tapi kau datang kan ke acara besok malam?"
"Aku usahakan."
"Ayolah.. Kau bisa berangkat bareng Uni. Iya kan Uni?" Zora mengalihkan pandangannya ke Uni
"Eh.. Iiyya."
"Kita sudah merencanakan bersama. Dan aku akan senang jika kau mau mengenakan gaun ini. Apakah kau tahu, gaun ini sama persis denganku hanya beda warna. Mama memang merancangnya untuk kita berdua."
Indhira menghela napas. "Baiklah. Akan aku usahakan."
Zora memeluk Indhira. "Maaf ya atas kejadian yang tidak mengenakkan di tempo hari. Tapi aku yakin papa benar - benar tidak sengaja. Maafkanlah dia."
Indhira hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban apa - apa. Zora kembali pulang setelah mereka mengobrol sebentar.
🌺🌺🌺🌺
Indhira memoleskan beberapa riasan di wajahnya. Walau sederhana tapi sangat cantik. Di tambah dengan gaun warna hitam yang menghiasi kulit putihnya.
"Wow.. Kau pasti akan menjadi pusat perhatian di sana."
"Kalau begitu aku ganti baju saja."
"Eh jangan. Biarkan saja. Sekali - kali tampil beda kan nggak apa - apa."
Indhira menghela napas panjang.
"Sudah ayo berangkat. Sudah telat nich." tarik Uni. "Bisa - bisa nggak ke bagian makanan nanti."
"Hahahahhh.. Makanan aja yang ada di otakmu."
Mereka berdua pergi ke hotel Crown untuk acara reuni. Acara di adakan di lantai tujuh belas. Di hotel ini terdapat hallroom yang cukup besar, fasilitas yang lengkap dan sistem keamanan yang baik.
"Eh yang mana roomnya yang ini atau yang itu?" tunjuk Uni. Karena memang terdapat dua hallroom dengan pintu yang sama.
"Kayaknya yang pertama dech. Soalnya untuk booking tempat di serahkan oleh asisten om Damian."
"Ayo kita ke sana." tarik Uni.
Di ruangan itu di hias dengan megah penuh dengan bunga mawar warna merah. Ada pemain biola dan pelayan - pelayan. Sekilas Indhira melihat ada tulisan 'Will you marry me, Calysta' dan itu membuatnya menarik tangan Uni agar tidak masuk terlalu dalam.
"Kita salah ruangan."
"Bener salah?"
"Iya. Lihat itu. Ini ruangan untuk lamaran." tunjuk Indhira. "Ayo keluar sebelum kita mengacaukan acaranya."
"Iya kamu benar. Eh beruntung juga ya wanita yang dapat kejutan ini. Pasti pria itu sangat mencintainya."
"Iya.. Iya itu pasti. Ayo cepat keluar." mereka berdua berjalan dengan cepat menuju ke ruang sebelah. Dan ternyata benar, di sana sudah datang teman - teman satu kampus mereka dulu. Indhira dan Uni menyapa mereka. Mengobrol dan saling menanyakan kabar. Beberapa di antara mereka ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, bank dan juga perusahaan.
"Duh, ternyata mereka semua sudah sukses. Cuma aku saja yang nggak." keluh Uni.
"Eh jangan begitu. Kamu jadi guru di sebuah bimbel itu juga karier yang bagus lo. Jarang - jarang ada orang sabar sepertimu."
"Nyapa temen - temen jadi buat aku lapar. Makan yuk."
"Kalau urusan makan pasti nomor satu."
Mereka berdua pergi ke sisi kiri untuk menikmati hidangan. Indhira tidak berani makan banyak, gaun yang ia kenakan lumayan ketat. Berbeda dengan Uni yang lahap.
"Syukurlah kau mau datang." sapa Zora dengan beberapa teman satu gengnya waktu di kampus dulu.
"Iya, tapi aku tidak bisa sampai acara selesai."
"Kenapa?"
"Besok aku harus belanja buat keperluan cafe. Mbak Sri nggak berangkat."
"Tidak masalah, kau mau datang saja aku sudah senang." jawab Zora. "Oya guys Dhira ini punya sebuah coffe shop kecil gitu. Kapan - kapan kalian mampir ya, biar usahanya tambah laris."
"Aku kira dia kerja di kantoran gitu. Kamu dulu kan ambisi banget pengen kerja kantoran. Ternyata punya usaha kecil." celutuk salah satu teman Zora.
"Eh jangan begitu. Coffe shopnya Dhira itu lumayan rame, banyak pembeli lo." bela Zora.
Indhira yang sedikit bingung karena ini memuji atau mengejeknya ia tidak tahu. Ia berusaha untuk positif thinking.
"Oya Dhira, kamu masih ingat Sean?"
"Masih."
"Malam ini ia datang dari Singapura. Kita ketemu aja di ruang sebelah gimana?"
Indhira melirik Uni yang masih sibuk dengan makanannya. Uni yang seakan tahu bahwa Indhira ingin pergi sebentar langsung memberi kode bahwa ia tidak apa - apa di tinggal. Mungkin baginya makan lebih penting.
"Baiklah. Tapi sebentar saja."
Indhira mengikuti Zora ke ruang sebelah. Ruang itu tidak besar dan terdapat beberapa sofa. Seperti ruang privacy.
"Sean itu nggak suka dengan keramaian. Ia memintaku membawamu kesini karena ia mau bicara soal bisnis coffe di Indonesia."
"Oya. Ternyata ia tertarik juga dengan bisnis."
"Iya, aku harap kalian bisa kerja sama."
Drrrttt.. Drrrttt.. Drrrttt..
"Eh bentar ada telepon dari Sean. Aku ke bawah dulu ya, buat jemput dia."
"Oke. Aku tunggu di sini."
Indhira duduk di sofa sambil memainkan handphonenya. Tak lama kemudian masuk seorang pelayan membawakan minuman dan meletakkannya di depan Indhira.
"Maaf, saya tidak minum ini. Bisa bawakan saja lemon tea."
"Baiklah. Tunggu sebentar."
Pelayan itu keluar dan tak lama kemudian ia kembali membawakan segelas lemon tea. "Silahkan."
"Terima kasih minumannya."
"Saya permisi."
Setelah pelayan pergi Indhira segera menikmati segelas lemon tea di depannya tanpa curiga sedikit pun. Ia melirik jam di tangannya.
Ya tuhan hampir jam sebelas malam, aku harus pulang. Uni pasti sudah menungguku pikir Indhira. Ia segera beranjak dari tempat duduknya tanpa menunggu kedatangan Zora dan Sean. Akan tetapi ia terhuyung dan hampir jatuh.
Aduh kenapa kepalaku pusing, Indhira memijat pelipisnya. Ia berusaha mencari pegangan agar tidak jatuh.
Handphoneku mana, aku harus minta bantuan Uni. Indhira melihat sekeliling dan pandangannya mulai kabur. Ia berusaha tersadar, Ya tuhan apa yang aku minum tadi. Siapa yang membuatku begini. Pikirannya campur aduk.
Dan tiba - tiba...
"Akhirnya aku menemukanmu."
Indhira tampak terkejut, wajahnya pucat, jantungnya berdebar kencang. "Om Damian?"
🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Karyati Wati
gila bokap tirinya ..hati ² kmu indhira hrs tetap sadar
2024-10-21
0
Sleepyhead
Pervert😏
2024-10-02
0
Sleepyhead
Hummm this the beginning, destiny between You and Him.
2024-10-02
0