Mobil Range Rover warna hitam dengan sempurna terparkir di sebuah panti asuhan 'Manja Kasih'. Lucas keluar dari mobil dan masuk ke dalam. Panti asuhan itu merupakan rumah kedua baginya.
"Pagi bu." sapanya ketika melihat Arini sedang berada di dapur.
"Loh, nak Lucas. Tumben pagi - pagi ke sini. Libur?"
"Iya bu. Badan saya agak capek."
Arini membuatkan teh hangat untuk Lucas. "Ayo minum dulu, biar seger."
Lucas segera menyeruput teh hangat buatan Arini.
"Ayo, kita duduk di sana."
Lucas mengikuti Arini duduk di bale - bale belakang.
"Sebenarnya bukan badan nak Lucas yang capek. Tapi sepertinya baru banyak pikiran."
"Iya bu. Tadi saya ke makam Calysta. Saya merindukannya."
Arini tersenyum. Wanita paruh baya yang sangat penyabar itu seakan tahu perasaan Lucas. "Ibu juga merindukannya."
"Kenapa sakit sekali untuk mengikhlaskan kepergiannya bu?" mata Lucas berkaca - kaca.
"Awalnya ibu juga seperti itu nak Lucas. Berat sekali, apalagi ibu sekarang tidak punya siapa - siapa. Tapi hidup kita terus berlanjut dan kita tidak mau terpuruk. Mengikhlaskan sesuatu yang sangat kita sayangi membutuhkan proses. Dan memaafkan adalah usahaku untuk ikhlas."
"Saya belum bisa, bu."
"Itu karena nak Lucas tidak mau mencoba. Kita boleh saja sedih, tapi apakah kesedihan kita itu akan menghidupkan Calysta lagi. Justru yang ada Calysta tidak tenang di sana karena kita belum mengikhlaskan."
"Kenapa kejadian ini harus menimpa Calysta bu, kenapa tidak aku saja?"
Lagi - lagi Arini tersenyum. "Tuhan punya rencana sendiri nak Lucas. Dan aku tahu rencana itu pasti terbaik untuk kita."
Mendengar penjelasan dari Arini membuat hati Lucas sedikit tenang.
"Aku sudah memaafkan Indhira dan aku minta nak Lucas juga mencoba memaafkannya." lanjutnya.
Lucas menunduk dan hanya terdiam.
"Percayalah dengan memaafkan hidup kita akan lebih tenang. Dan juga ini bukan murni kesalahannya. Pertama Calysta yang memang menyeberang tanpa melihat kanan kiri. Kedua Calysta di nyatakan meninggal karena sakit jantungnya. Ketiga Indhira sendiri dalam pengaruh obat. Entah orang jahat mana yang sudah membuatnya seperti itu."
Arini menarik napas panjang. "Terus terang aku merindukan Indhira. Entah kenapa kedatangannya padaku memberi warna lain. Anak - anak di panti juga menyukainya. Hanya saja sudah satu bulan ini dia tidak mengunjungi kami. Apa dia sakit atau sibuk." Arini bertanya - tanya.
Wajah Lucas sedikit tegang, jauh di lubuk hatinya ia merasa bersalah sudah membuat Indhira bagai hidup di penjara.
"Nak.. Nak Lucas." panggil Arini yang membuat Lucas sadar dari lamunannya.
"Iiya bu."
"Bisakah ibu minta tolong?"
"Bisa.. Tentu saja bisa."
"Di berkas pengadilan pasti ada no handphone Indhira, bisakah ibu minta?"
"Bisa bu. Akan saya carikan."
"Maaf sudah merepotkan."
Lucas tersenyum, ia segera pamit pulang. Segala hal tentang kegilaannya membalas dendam menjadi bumerang tersendiri buatnya. Seandainya Indhira meninggal, bukan kah perbuatannya lebih buruk dari seorang pembunuh.
🌺🌺🌺🌺
Asep membawa tas berisi pakaian yang akan di bawa ke rumah sakit. Informasi dari Nora bahwa Indhira sudah sadar tapi badannya masih lemas. Ia sudah membawa pakaian Indhira sesuai dengan pesanan Nora.
Asep bersiap berangkat, ia mengeluarkan motor kesayangannya.
"Mau kemana, Sep?" tanya Lucas yang baru pulang dari joging.
"Ke rumah sakit tuan. Antar bajunya Dhira."
"Sudah sadar dia?"
"Kata Nora sih sudah tuan, cuma masih lemes."
Lucas mengelap keringat yang mengalir membasahi tubuhnya. Dia selalu menjaga stamina agar selalu prima. Mengingat pekerjaannya cukup berat.
"Kemarikan."
"Apanya tuan?"
"Tas nya."
"Maaf tuan. Ini murni pakaian saja, tidak ada hal yang penting lainnya. Dhira masih sakit, jangan di hukum tuan." mohon Asep.
"Siapa yang mau menghukumnya? Biar aku saja yang membawanya ke rumah sakit."
"Oh." ucap Asep lega. "Ini tuan." ia menyerahkan tas berisi pakaian Indhira. "Kalau begitu saya lanjut kerja lagi tuan."
Lucas mengangguk. Ia masuk ke dalam untuk membersihkan diri.
Lucas mengenakan sweater hitam rajut dengan celana jeans. Dengan mengendarai mobil kesayangannya ia berangkat ke rumah sakit.
Sementara itu...
Indhira duduk dekat jendela sambil melihat pemandangan di bawah. Nora datang membawa makanan untuknya.
"Kata perawat di sini kamu harus makan banyak, biar cepat pulang."
"Sebenarnya aku sudah baik - baik saja bu." Indhira duduk di sofa. "Aku bosan di sini."
"Eh tapi ada untungnya juga, kamu disini tidak di hukum tuan. Sudah di nikmati saja."
Indhira menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. "Aku punya trauma sendiri di rumah sakit." kenang Indhira. "Ayahku meninggal di sini, Calysta juga meninggal di sini."
"Sudah kamu jangan berpikir banyak. Sekarang ini yang menjadi fokusmu adalah kamu sembuh." Nora membelai rambut Indhira. "Oya waktu itu kenapa kamu pulang terlambat?"
"Aku bertemu dengan pelayan yang sudah menaruh obat di minumanku. Dia adalah kunci untuk tahu siapa orang yang jahat padaku."
"Kau sudah menjelaskan pada tuan?"
"Sudah, tapi sepertinya tuan tidak peduli." jawab Indhira. "Sama seperti ketika aku mengatakan pada ibu tentang Damian."
"Damian?"
"Suami baru ibuku."
"Ayah tirimu?"
"Aku tidak mau menyebutnya ayah sekalipun itu tiri."
"Iya.. Iya.. Memangnya kenapa dengan Damian?"
"Setelah aku minum minuman yang di sajikan oleh pelayan, aku merasakan pusing, panas dan pandanganku kabur. Dan tepat saat itu terjadi Damian masuk ke dalam ruangan. Dia mau berbuat sesuatu padaku."
"Terus bagaimana kamu bisa keluar?"
"Karena Zora, Zora adalah anak Damian. Ia marah melihat kelakuan ayahnya. Pertengkaran mereka aku jadikan kesempatan untuk melarikan diri."
"Kenapa kamu bisa ada di ruangan itu?" Nora masih bingung dengan cerita Indhira.
"Zora yang mengajakku ke ruangan itu, karena Sean temanku satu kampus mau bertukar pikiran tentang bisnis cafe."
"O.. O.. O.. Cukup rumit ya."
"Itulah yang membuatku curiga akan Damian dan juga Zora. Salah satu dari mereka pasti yang memberikan obat. Oleh sebab itu kuncinya ada di pelayan hotel itu."
"Kalau ceritanya seperti itu harusnya tuan tidak menaruh dendam padamu. Sebenarnya di sini kamu juga korban."
"Mana sempat aku memikirkan itu, bu. Saat itu aku masih bingung dengan status ku yang tersangka dan juga rasa bersalah karena sudah menghilangkan nyawa orang. Jadi persidangan semua diurus oleh ibu dan Damian. Tidak ada keterangan dari saksi yang menyatakan Damian maupun Zora ada di sana." Indhira menarik napas panjang. "Perlu ibu tahu aku pergi dari rumah ibu dengan resiko akan ketemu tuan Lucas yang dendam padaku karena suatu hal."
"Apa itu?"
"Jadi malam itu aku menemukan sebuah kamera kecil tersembunyi di kamar. Dan ibu tahu siapa yang menaruh kamera itu?"
"Siapa?"
"Damian."
"Hah!!! Gila. Ayah tirimu benar - benar gila!"
"Bukan ayah tiri!" ralat Indhira.
"Ya sudahlah kamu terima dengan ikhlas, aku yakin semuanya akan terkuak satu demi satu." ucap Nora. "Sekarang aku jadi tahu kenapa kau tidak tinggal dengan ibumu dan hidup dalam kemewahan."
Indhira tersenyum sambil memeluk Nora. "Terima kasih bu, sudah menguatkan aku."
Sepasang mata hazel yang berada di depan pintu mendengarkan pembicaraan mereka dari awal sampai akhir. Ia mengepalkan tangannya setelah mendengar pembicaraan mereka. Setelah berdiam diri di luar cukup lama baru Lucas memutuskan untuk masuk.
"Tuan." Indhira membetulkan duduknya.
Lucas memandang wajah Indhira yang masih terlihat pucat. Lagi - lagi Lucas merasa iba melihatnya.
"Saya sudah merasa sehat tuan. Bisakah saya pulang." ucap Indhira yang seakan tahu bahwa Lucas pasti gengsi bertanya tentang keadaannya.
"Apa kata dokter?" tanya Lucas.
"Sebenarnya dua hari lagi baru boleh pulang tuan." jawab Nora.
"Kau dengar itu."
"Tapi tuan____." Indhira tertunduk tidak meneruskan perkataannya.
"Turuti kata dokter." ucap Lucas. "Ini pakaianmu." Lucas menyerahkan tas berisi pakaian Indhira. Tampak rona kecewa pada wajah manisnya. "Kalau kau makan dan istirahat dengan baik, aku akan mengajakmu ke rumah bu Arini." ucap Lucas.
Mata indah Indhira terbelalak sempurna, tersungging senyuman manis di bibirnya. "Benarkah?"
Lucas mengangguk. "Dia dan anak - anak panti merindukanmu
"Bu Nora, mana obat dari dokter aku mau minum." ucap Indhira bersemangat.
Nora tersenyum melihat tingkahnya yang seperti anak kecil. Ia bersyukur tuannya sudah berubah walau sedikit. Mudah - mudahan ke depannya akan menjadi lebih baik dan melepaskan Indhira.
"Nih buahnya, sudah aku kupaskan. Ayo di makan."
Indhira melahapnya dengan semangat. Tersungging sebuah senyuman di sudut bibir Lucas walau hanya sedikit.
"Habiskan makanmu, aku pulang."
"Terima kasih tuan." ucap Indhira dan Nora hampir bersamaan.
🌺🌺🌺🌺
Pagi itu Indhira berjalan - jalan di taman rumah sakit. Ia sudah tidak demam dan merasa lemas lagi. Bahkan dokter sudah melepas infusnya. Rencananya siang ia sudah di perbolehkan untuk pulang.
Ia tersenyum bahagia bahkan menyapa beberapa pasien yang duduk di sana. Nora pamit pulang sebentar, sebelum siang nanti menjemputnya. Taman di rumah sakit di penuhi dengan bunga soka yang berwarna warni.
Indhira menghirup udara segar itu dalam - dalam dan menghembuskannya pelan - pelan. Sebentar lagi ia akan pulang dan tentu saja sesuai dengan janji Lucas ia akan menjenguk Arini. Ia sudah tidak sabar menantikan itu.
Indhira mengedarkan pandangannya hingga sesuatu mengejutkannya. Ia melihat Yuma dosen kesayangannya sedang duduk sendiri di kursi roda. Tanpa ia sadari kakinya melangkah dan berniat untuk menghampiri. Terlihat wajah Yuma yang sudah sepuh. Penyakit yang di deritanya memang sudah parah. Ia menyesal tidak bisa ikut merawatnya.
Tiba - tiba langkahnya terhenti karena ia melihat sahabatnya Uni. Ia tidak boleh terlihat oleh Uni atau masalahnya akan panjang. Saat ini Lucas sudah mulai berubah baik dengannya. Ia tidak mau mengacaukan keadaan.
Indhira bergegas berbalik arah. Dengan langkah cepat ia menjauh pergi hingga___.
Bruuukkk!!! Ia menabrak seseorang yang memiliki dada keras dan padat. Ia mendongak ke atas dan itu Lucas. Dengan cepat ia menarik tangan itu.
"Hei, apa yang kau lakukan."
"Ssssttttt!"
"Mulai berani kamu ya."
"Ssstttt.." ia menaruh jari telunjuknya ke mulut Lucas. "Jangan keras - keras tuan. Di sana ada Uni sahabat saya."
Lucas menengok ke arah yang di maksud Indhira. Ia melihat seorang wanita gendut sedang merawat wanita tua yang duduk di kursi roda.
"Aduh jangan tengak tengok! Nanti ketahuan." Indhira menangkupkan tangannya di kedua pipi Lucas dan mengembalikan kepalanya ke posisi semula.
"Mulai tidak sopan kamu." gumam Lucas.
"Maaf tuan ini situasi darurat. Ayo kita pergi dari sini." Indhira menarik tangan besar itu kembali ke ruangannya.
Sementara itu...
"Lihat siapa Uni?"
"Hmmm.. Kayaknya tadi aku seperti lihat Indhira bu."
"Mana mungkin? Katamu ia sedang liburan."
"Iya sih bu. Tapi tadi benar - benar mirip."
"Mungkin karena kamu rindu." Yuma tersenyum melihat kedua alis Uni berkerut.
"Iya, habisnya liburan lama tidak ajak - ajak."
"Mungkin dia butuh waktu sendiri. Kasihan dia, sebenarnya ia merasa kesepian."
Uni tersenyum. "Iya bu, aku mengerti. Ayo kita masuk ke dalam. Sudah siang." Uni mendorong kursi roda Yuma untuk masuk ke dalam.
🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Sleepyhead
Naaahkan
2024-10-20
0
Sleepyhead
Tanpa disadari gua rasa Lucas berada dibelakang mereka dan mendengar percakapan mereka, semoga ini titik terang dan bisa terungkap semua chaos dan kebencian yang ada di diri Lucas.
2024-10-20
0
Putri Sary
akhirnya sdkit melunak lucas nya/Drool/
2024-10-20
0