Sudah larut malam namun Andel sama sekali tidak keluar dari kamar, bahkan Faris sudah berulang kali memanggil Andel.
Besok adalah hari pemakaman Drita namun Andel tidak memperlihatkan tanda-tanda akan keluar kamar.
"Ndel, lo ga laper?" ucap Faris sambil mengetuk pintu Andel pelan.
"Cemilan tadi masih banyak," jawab Andel sedikit ngenggas karena dari tadi Faris tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya.
"Lo ga ikut ke pemakaman?" tanya Faris menatap pintu kamar Andel yang tertutup.
Selang beberapa saat akhirnya pintu kamar Andel terbuka menampilkan wajah kesal Andel.
"Lo ga lihat ini udah jam berapa? Lo dari tadi ganggu terus kenapa sih Ris?" ucap Andel menatap Faris kesal.
"Gue ga bisa tidur gara-gara mikirin lo," jawab Faris jujur.
"Gue ga bakal bunuh diri," jawab Andel menatap Faris tajam.
"Bukan itu maksud gue, gue nginap di kamar lo malam ini bisa?" Faris menatap Andel penuh harapan.
"Yaudah sana ambil selimut sama kasur santai lo tidur dibawah," ucap Andel kembali masuk kekamarnya.
Akhirnya Faris masuk kekamar Andel dengan membawa semua perlengkapannya.
Kasus Drita tidak dibawa ke pengadilan karena Papa Drita tidak mau, dan memutuskan untuk mengikhlaskan semuanya.
Namun, Mama Drita belum mengikhlaskan kepergian Drita sepenuhnya, sementara Rangga hanya diam tanpa berminat membuka mulutnya untuk sekedar memasukkan makanan.
"Lo.. udah baikan?" tanya Faris menatap Andel yang sedang sibuk bermain handphone.
"Udah baikan apa? Gue ga punya pacar," jawab Andel menggelengkan kepala.
"Masalah tadi pagi," ucap Faris mengingatkan Andel.
"Oh itu, entahlah gue ga yakin, hati gue sakit," jawab Andel pelan, mulai mengambil tempat duduk yang pas untuk menatap Faris.
"Mau datang ke pemakaman dia besok?" tanya Faris menatap Andel hati-hati.
"Gue belum cukup kuat untuk ketemu dia," jawab Andel menghebuskan nafas pelan.
"Kapan lo mau jenguk dia ajak gue," ucap Faris menatap Andel.
"Lo kenapa tiba-tiba baik sih? Gue kurang nyaman," ucap Andel tertawa.
"Gue baik lo ledek," Faris menatap Andel kesal.
"Gue serius, lo dapat hidayah dari mana sih? Dulu aja lo lewat depan gue kaya orang ga kenal," terang Andel.
"Dulu? Gue kurang bisa mengekspresikan kekhawatiran gue," ucap Faris jujur.
"Oh," jawab Andel singkat yang mampu membuat Faris menatap Andel kesal.
"Boleh Mama masuk?" suara itu mampu membuat Andel dan Faris berhenti dari kegiatan tatap menatap penuh kebencian.
"Ga boleh," jawab Andel cepat.
"Kalau ga boleh Mama bisa ngomong disini kan? Di depan pintu?" tanya Mama Andel menatap Andel maupun Faris.
"Ga," jawab Andel cepat memotong perkataan yang belum keluar dari mulut Faris.
Faris menatap Andel kesal, setidaknya biarkan Mama menjelaskan apa tujuan dia datang kesini.
"Ngomong aja Ma tapi, maaf ya Ma ga usah masuk," jawab Faris menatap Mama-nya.
"Ga papa kok, Mama cuma mau ngomong sebentar," lalu di angguki Faris kecuali Andel yang sudah sibuk sendiri.
"Ndel! Dengerin!" ucap Faris kesal, melemparkan bantal miliknya ke wajah Andel.
Akhirnya dengan berat hati Andel menghentikan kegiatan 'mari memutar-mutar home handphone'.
"Mama minta maaf," ucap Mama menatap Andel maupun Faris.
"Buat apa? Ga perlu," jawab Andel singkat.
"Maksud kamu?" Heran Mama Andel menatap Andel.
"Terlalu banyak kesalah itu ga perlu minta maaf, simpan aja sendiri jadiin tabungan," jawab Andel yang mampu membuat Mama-nya terdiam.
"Ndel, ga boleh kaya gitu. Dia yang ngelahirin kamu," ucap Faris berusaha mengontrol emosi Andel.
"Dia yang ngelahirin? Dia juga kan yang ngelantarin gue," imbuh Andel yang saat ini mulai terpancing emosi.
"Udah Ndel, ga boleh kaya gini," Faris berdiri lalu duduk disamping Andel mengelus pundak Andel lembut.
"Mah, besok aja ya kita ngomong, Andel masih terpuruk kalau tetap di paksa kata-kata yang ga seharusnya keluar nanti keluar," ucap Faris tersenyum menatap Mamanya yang dihadiahi anggukan oleh Mamanya.
Setelah dirasa Andel cukup tenang, Faris menepuk bahu Andel pelan.
"Jangan kaya gini, jangan buat Mama ngerasa sedih terus. Gimanapun, dia tetap Mama lo, yang ngelahirin lo walaupun habis lo lahir diserahin sama bibi tapi dia tetap sayang sama lo,"
"Mama selama ini udah susah banget, ga kebayang kan gimana susahnya dia ngehadapin kata-kata menusuk dari lo kan? Dia sama kaya lo, gampang nangis,"
"Dia malaikat yang dititipin tuhan buat jaga lo, jangan lo sakitin dia dengan kata-kata lo, lo sayang dia kan?" Faris menatap Andel yang hanya diam.
"Ga tahu," jawab Andel kesal, yang dihadiahi elusan lembut di kepala oleh Faris.
"Gue tahu, lo pasti sayang Mama. Bisa kan? Nerima Mama lagi kalau Mama minta maaf? Bisa kan? Sama-sama lagi? Nolongin Mama yang kesakitan gara-gara Mapa?" tanya Faris yang hanya di diamkan oleh Andel.
"Ndel, jawab gue," ucap Faris kembali menepuk pelan kepala Andel.
"Gue ga bisa, rasa benci gue terlalu besar buat maafin dia, lo ga kebayang kan? Jadi orang asing di rumah ini? Jadi orang yang selalu iri setiap ngelihat anak-anak lain dijemput atau di antar sama orang tua,"
"Bahkan hati gue sakit tiap ngelihat orang yang dengan senangnya ketawa bareng sama Mamanya, becanda bareng, jalan-jalan bareng. Gue iri lihat itu semua Ris,"
"Gue terlalu menyedihkan ketika berjalan sendiri saat semua orang lain di antar kesekolah dengan lambaian dan senyuman mengembang dari orang tua mereka masing-masing," ucap Andel menahan air matanya.
"Gue tahu itu sekarang lo bisa dapatin itu, mau maafin Mama kan?" tanya Faris menatap Andel penuh harapan.
"Gue bakal mikir dulu," ucap Andel kemudian tidur membelakangi Faris yang sudah menarik nafas pasrah.
Dia tahu betapa sulitnya 16 tahun terakhir tanpa sosok pendukung yang seharusnya di perankan oleh Mama.
Bahkan Faris sering melihat Andel menitikkan air mata ketika sampai dirumah atau ketika duduk sendiri di taman belakang.
Hati Faris sangat sakit saat melihat itu semua, melihat betapa terpuruknya Andel dengan kesendiriannya.
Bahkan, lewat lukisan acak Andel yang sengaja dia letakkan di sudut kamar dia dapat merasakan semua perasaan kecewa Andel disana.
Andel tidak bisa menyuarakan pendapatnya, dia hanya bisa memaki dan mengeluarkan ucapan menyakitkan hati untuk menyampaikan kekecewaannya.
"Ndel, jangan benci Mama," kata terakhir dari Faris kemudian dia ikut tidur, menuju dunia mimpi mencari yang terbaik untuk sementara waktu.
Faris hanya berharap semuanya berjalan sesuai dengan kemauannya, Mama dan Andel berdamai saja dia sudah cukup bahagia.
Semoga ketika Faris bangun besok, semuanya menjadi lebih baik dan semuanya diperbaiki.
~~
Sepertinya pagi Faris disambut dengan ketegangan, pagi-pagi Faris di hadiahi pemandangan Andel yang berteriak keras seperti kerasukan.
"Ndel! Sadar!" ucap Faris kencang sambil menepuk pipi Andel.
Setelah itu mata Andel terbuka, wajahnya dipenuh keringat.
"Lo kenapa? Bisa kaya gini? Mimpi apa?" tanya Faris beruntun menatap Andel khawatir.
Andel hanya menggeleng kecil sebagai jawaban, dia tidak bisa mengingat apa yang terjadi di dalam mimpinya.
"Ndel, tangan lo berdarah!" teriak Faris terkejut sambil mencari obat merah di kamar Andel.
"Gue ga papa Ris," ucap Andel menatap Faris yang sudah mengacak-acak kamarnya.
Luka di tangan Andel seperti di iris dengan silet dan darah segar keluar dari sana.
"Ga papa gimana?! Itu tangan lo berdarah," Faris berkata kemudian mendekat kearah Andel setelah mendapat obat merah yang dia cari.
Andel hanya menatap tangan kirinya dengan kosong, kenapa dia bisa mendapat luka ini didalam mimpi?
Apa yang sebenarnya terjadi? Dia hanya mengingat wajah Miss Trinity didalam mimpinya. Kenapa ada Miss Trinity?
Apa maksud dari ini semua?
"Ris, tinggalin gue sendiri dulu bisa?" minta Andel menatap Faris lemah.
"Lo yakin?" ucap Faris menatap Andel resah.
Andel hanya mengangguk dan menepuk bahu Faris lembut, berusaha meyakinkan Faris dia tidak akan membuat hal-hal yang mengerikan.
Lalu Faris memilih keluar, memberi Andel sedikit ruang untuk sendiri dan melamun.
Terkadang semua masalah yang kita dapat cara meredakannya menangis atau mungkin bisa juga berdiam diri, walaupun masalah tidak selesai yang penting hati menjadi sedikit tentram.
Setelah ditinggalkan Faris, mata Andel mulai berkaca-kaca sakit dari tangannya baru terasa sekarang.
Sangat sakit, seakan-akan tangannya akan terpotong karena sayatan-sayatan kecil.
Andel menangis sejadi-jadinya, hatinya sangat perih mengingat Fakta sahabat terbaiknya sudah pergi.
Dan mimpi yang dia dapat beserta luka kecil-kecil yang menusuk ini.
Semua Andel tumpah ruahkan melalui air mata yang jarang di keluarkan akhir-akhir ini.
Setelah beberapa lama menangis, Andel tertidur dan kembali ke dunia mimpi, Mama Andel yang mendengar tangisan itu merasa hatinya tertusuk ribuan pisau
Faris yang dari tadi berdiri didepan pintu kamar Andel hanya diam, sebenarnya menahan air mata agar tidak ikut merosot jatuh.
Sangat-sangat menyayat mendengar tangisan yang tersedu-sedu dari Andel ditambah kata-kata yang menusuk hati.
'Maafin gue drit' atau 'seharusnya gue yang mati'.
Faris menatap Mamanya yang sudah menangis sambil menutup mulutnya agar isakan itu tidak didengar siapa pun.
Akhirnya Faris mendekat dan memeluk Mamanya.
"Mama lihat? Penderitaan yang Andel tanggung selama ini? Sahabatnya meninggal dan dia harus merelakan itu semua,"
"Padahal Drita adalah satu-satunya orang yang mengenal dia selama ini, yang membantunya selama ini. Faris kasihan lihat Andel,"
"Faris ga sanggup dengerin Andel nangis kaya gitu Ma, banyak banget yang dia tanggung sendiri, hatinya udah sulit diketuk Mah,"
"Ngelihat dia ngomong pelan ama Faris aja udah bikin Faris sakit," ucap Faris memeluk Mamanya.
Sedangkan Mama Faris hanya terus menangis mendengar ucapan Faris mendeskripsikan Andel.
"Maafin Mama Ris, Mama udah salah ngelantarin Andel," isak Mama Faris dalam pelukan Faris.
"Faris ga bisa nolongin Mama, itu semua tergantung Andel, kalau dia makin di paksa psikis dia bakal tertekan banget Ma," jawab Faris mengurai pelukannya.
Mama Faris mengangguk kemudian mengetuk pintu kamar Andel pelan, karena tidak ada jawaban Mama memilih membuka pintu itu kecil.
"Andel!" teriak mama keras.
Andel yang terkejut pun menjatuhkan pisau silet yang sudah ditangannya. Faris segera menghampiri Andel kemudian menginjak pisau silet dan memeluk Andel.
"Jangan kaya gini," ucap Faris menahan air matanya.
"LEPASIN GUE RIS, GUE MAU NYUSUL DRITA, DIA NYURUH GUE IKUT DIA! GUE GA MAU TINGGAL SENDIRI RIS!" teriak Andel tidak terkendali.
"Jangan kaya gini, sadar Ndel," ucap Faris yang sudah mulai menitikkan air mata, kenapa Andel sampai berpikir kesana?
"Jangan tinggalin gue, gue sayang sama lo. Jangan berpikir buat bunuh diri," ucap Faris semakin mengeratkan pelukannya.
"Gue salah Ris, ga bisa jaga Drita. Gue seharusnya nginap sama dia kemaren ga ninggalin dia Ris, ga libatin dia dalam masalah ini. Seharusnya gue ga ngajak dia masuk Ekskul Majalah," terang Andel dalam pelukan Faris.
"Gue pembunuh ya? Gue ga pantes hidup kan? Gue nyusahin lo terus, gue bikin Mama, Papa dan kak Rangga sedih karena Drita ninggalin mereka,"
"Gue jahat ya Ris? Seharusnya gue kan yang mati? Bukan Drita," pertanyaan beruntun Andel mampu menusuk hati Faris maupun Mama yang mematung di pintu kamar Andel.
"Lo ga jahat, lo bukan pembunuh, itu semua udah takdir, berhenti nyalahin diri lo sendiri," jawab Faris menenangkan Andel.
"Gue ga papa Ris kalau gue mati, ga bakal ada yang sedih tapi, Drita banyak yang sayang sama dia Ris, banyak yang perhatian sama dia,"
"Ndel, gue sayang sama lo. Jangan kaya gini," Faris mengelus pucuk kepala Andel.
"Andel," suara itu mampu membuat Andel melihat ke sumber suara itu.
Andel menatap Mamanya penuh kebencian, apakah Mamanya senang melihatnya hampir bunuh diri seperti ini?
"Apa? Anda senang bukan? Ngelihat saya hampir mati, iya kan?!" teriak Andel menatap Mamanya benci.
"Bukan gitu sayang, Mama sayang sama kamu. Maafin Mama udah ngelantarin kamu selama ini," jelas Mama Andel menatap Andel penuh air mata.
"KELUAR!" teriak Andel kemudian menarik Faris maupun Mamanya keluar kamar miliknya kemudian menutup pintu dan menguncinya.
Dia sangat tidak baik-baik saja, bahkan dia sangat terkejut dengan fakta dia hampir membunuh dirinya sendiri.
Semua itu bergerak sendiri, ada yang mengontrolnya, dia tidak suka ini.
Andel kembali menangis dengan berteriak sekencang-kencangnya, melempar apapun yang ada didekatnya.
Siapa yang ingin membunuh nya! Siapa orang itu! Dia benci ini, benci semua ini.
Sedikit lagi, kalau mamanya tidak berteriak tadi, dia sudah pergi dari dunia dan menysul Drita.
"Drit, jangan kaya gini. Maaf kalo buat lo pergi tapi, gue masih sayang Faris," racau Andel menangis terduduk di lantai didepan kaca.
"Jangan bunuh gue," ucap Andel, tidak tahu kepada siapa, mata Andel terus menatap kearah kaca.
Disana tidak ada siapapun, hanya pantulan wajahnya yang basah dan mata merah.
"Lo ga tahu betapa capeknya gue," ucap Andel terus menatap kaca yang memantulkan dirinya penuh kebencian.
"Kalau lo ga tahu apa-apa lebih baik diam! Gue benci setan kaya lo yang sok tahu! Dan disini lo numpang berhenti ngendaliin gue!"
Faris yang tetap berdiri didepan pintu kamar Andel merasa ada yang janggal, dengan siapa Andel berbicara?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments