Good Bye

Pukul 10.00 malam, Andel dan Drita sedang merasa gelisah di kamar masing-masing, seingat Andel, Zahra mengatakan itu akan terjadi pukul 00.00 malam.

Berarti masih lama, lebih baik dia tidur apapun yang terjadi nanti dia akan terima, entah dia akan bangun pagi diatas kasur atau tadi pagi adalah hari terakhir dia melihat matahari sebagai manusia.

Kita lihat saja nanti, bagaimana akhir dari perjalanan antara Andel dan Drita.

Subuhnya Andel mendapat telfon dari Rangga bahwa Drita tidak ada dirumah dan ketika Andel membuka handphone miliknya masuklah pesan dari Drita.

Dritaaaaael

Ndel, gue duluan kesekolah kalau Rangga nanyain bilangin gue udah duluan kesekolah.

Akhirnya Andel mengirim pesan singkat ke Rangga mengatakan bahwa Drita sudah duluan kesekolah.

Sekarang Andel kesekolah dengan Faris, tiba-tiba Faris ingin mengantarnya kesekolah katanya sih sekalian ketemu teman-teman.

"Ris, perasaan gue kok ga enak ya?" ucap gue sedikit menarik rambut Faris.

"Lo ga enak ya ga enak aja, rambut gue udah bagus malah ditarik," kesal faris mengacak rambut Andel yang sudah susah-susah dirapikan.

"Heheh lagian lo kadang kan suka ngacangin orang makanya gue tarik rambut lo," ucap Andel lalu tertawa.

"Gue serius Ris, perasaan gue bener-bener ga enak banget," kesal Andel saat tidak ada tanggapan dari Faris.

"Percuma gue ngomong sama lo," ucap Andel kesal lalu memasang earphone.

"Lepas dulu itu earphone lo," Andel menatap Faris kesal.

Setelah Andel melepas earphone miliknya namun Faris hanya diam, tidak mengatakan sepatah katapun.

"LO NIAT GA SIH KAMBING!" teriak Andel kesal kepada Faris.

"Iya-iya sabar dong buk," imbuh Faris kemudian mengelus pelan pucuk kepala Andel.

"Kalau ada apa-apa bilang sama gue," ucap Faris singkat yang mampu membuat Andel mengangguk kecil.

Setidaknya kalau dia punya masalah Faris ada untuknya.

Sesampai disekolah Andel tidak langsung masuk kekelas, dia ditarik Faris dulu untuk menemui temannya.

Sekolah Faris lebih canggih dari Andel jadi Faris masuknya nanti jam 8 dan sekarang masih stengah 7.

"Eh bro, bawa cewek lo," ucap salah satu teman Faris.

"Ini? Gue aja ga tahu dia siapa," setelah mengucapkan kalimat itu kaki Faris diinjak dengan keras oleh Andel.

"Lo ngapain sih, gue kekelas nih," kesal Andel menatap Faris penuh permusuhan.

"Ini adek gue," jawab Faris mengangkat tangan Andel untuk melambai.

"Apaan sih, lo kira gue boneka," ucap Andel menepis tangan Faris yang memegang pergelangan tangannya.

"Ko gue ga pernah lihat lo sama dia," tanya salah satu teman Faris menatap Andel.

"Gue lupa punya adek dirumah, kemaren baru sadar," terang Faris asal.

"Gue ke kelas dulu, lo banyak bacot nya," ucap Andel kesal lalu meninggalkan Faris bersama teman-temannya.

"Adek lo cantik," Faris lalu menatap orang yang barusan memuji kecantikan Andel.

"Dia anti sama cowok," jawab Faris kemudian pamit untuk pergi kesekolahnya, pasalnya dia membawa mobil.

Andel sampai dikelas tidak melihat Drita sama sekali, karena kepo Andel pergi menyusuri sekolah untuk mencari Drita.

Semua tempat dikunjungi Andel dari taman belakang, kamar mandi, lapangan basket, perpustakaan, kantin tapi, Andel tidak menemukan Drita.

Hanya satu tempat yang belum dikunjungi Andel yaitu Ruang Ekskul Majalah tapi, Andel tidak yakin Drita akan berani kesana sendiri.

Langkah demi langkah menuntut Andel menuju Ruang Ekskul Majalah sebelum sampai disana Andel mendengar gosip-gosip dari beberapa orang yang di lewati.

Menurut pendengaran Andel, Miss Trinity mengundurkan diri dari sekolah. Setelah cukup lama Andel mencerna ucapan orang-orang langkah kaki Andel menjadi berat.

Jangan sampai, dia tidak ingin ini terjadi pada Drita. Drita tidak akan pergi meninggalkan dirinya bukan?

Perlahan Andel membuka pintu Ruang Ekskul Majalah.

Mulut Andel menganga lebar, air mata turun dari mata cantiknya, perlahan badannya merosot kelantai.

"Drit Drita.. To...tolong bb..bilang ini kk..kejutan," ucap Andel terbata-bata, badan Drita tergantung ditengah-tengah Ruangan Ekskul Majalah.

Dengan pakaian sekolah yang telah lengkap, mata Andel tidak berhenti mengeluarkan air mata.

Andel segera mengeluarkan handphone miliknya dan menelfon Faris.

"Ha..halo Ris, Dri...drita," setelah itu hanya tangisan yang keluar dari mulut Andel.

"Ndel? Lo dimana?" ucap Faris khawatir, dia baru saja sampai disekolah kalau balik lagi menggunakan mobil pasti lama.

"Ndo! Minjam motor lo!" setelah mendapat pinjaman motor dari orang yang di panggil tadi Faris segera tancap gas menuju sekolah Andel setelah tahu dimana keberadaan Andel.

Sementara itu di tempat lain Rangga sedang mencari dimana Drita karena ketika melihat kekelas Drita, Rangga tidak menemukan Drita maupun Andel.

"Hallo Ndel ada apa?" setelah mendengar apa yang Andel ucapkan Rangga segera berlari, apa yang dia takutkan benar-benar terjadi.

Dia benar-benar tidak ingin ini terjadi, tapi nyatanya malah yang sebenarnya.

"Ndel!". Rangga melihat Andel yang dari tadi tidak berhenti menangis, hati Rangga ter iris ketika melihat Drita yang sudah tidak bernyawa.

Bagaimana bisa ini terjadi pada sepupu yang sangat dia sayangi? Rasanya Rangga ingin kembali ke hari kemaren, dia akan menghabiskan waktu benar-benar menghabiskan waktu dengan Drita bukan malah pergi bermain Futsal seperti hari minggu biasanya.

"Kak, Drita kak!" ucap Andel menangis sejadi-jadinya, rasanya sangat menyakitkan.

Tak berselang lama Faris datang bersama polisi dan langsung memeluk Andel erat.

"Udah ga papa ada gue," ucap Faris menenangkan Andel yang dari tadi menangis tersedu-sedu.

"Kenapa harus Drita Ris? Kenapa ga gue aja? Miss Trinity mana? Gue juga harus bunuh dia kan!?" ucap Andel tidak terkendali.

Mental Andel sangat terpukul disini, apalagi dia yang pertama menemukan jasad Drita yang sudah tergantung kaku didalam Ruang Ekskul Majalah.

"Udah! Lo ga salah, udah takdir juga jangan salahin diri lo," ucap Faris menenangkan Andel yang masih menangis.

Sedangkan Rangga hanya diam, melihat polisi yang sedang melakukan pemeriksaan TKP. Raganya sudah hilang entah kemana, rasanya sangat tidak nyata melihat jasat Drita tergantung disana.

Akhirnya Rangga memutuskan untuk menelfon Ayah dan Bundanya memberi kabar menyedihkan ini.

Setelah polisi menurunkan jasad Drita Mama dan Papa Drita datang.

"Drita!" tangis Mama Drita pecah saat melihat Drita telah menghembuskan nafas terakhirnya.

"Drita! Bangun sayang! Kamu sayang sama Mama kan? Bangun sayang," racau Mama Drita memeluk jasad Drita dengan air mata yang berjatuhan.

Andel yang telah membaik mendekat kearah Mama Drita dan mengelus punggung Mama Drita pelan.

"Maafin Andel ma, ga bisa jaga Drita dengan baik," ucap Andel pelan, menahan isak tangisnya.

Hatinya bertambah sakit saat melihat jasad Drita lebih dekat seperti ini.

Plak!

"KENAPA GA KAMU YANG MATI! KAMU KAN JUGA EKSKUL MAJALAH! DRITA GA BAKALAN MATI KALAU DIA GA NURUTIN KAMU IKUT EKSKUL INI!" teriakan Mama Drita setelah menampar Andel dengan keras.

Faris yang terkejut pun langsung menarik Andel kebelakang dirinya untuk berlindung.

Apa maksud perkataan Mama Drita barusan? Bahkan Andel juga tidak mau Drita meninggal.

Sementara itu Andel kembali menangis, dia juga merasa seperti itu, kalau bisa biarkan dia yang mati bukan Drita.

Faris memeluk Andel erat, memberikan kehangatan kepada Andel, mengatakan bahwa dia tidak sendiri disini.

"Iya Ris! Gue yang seharusnya mati! Bukan Drita! Bunuh gue Ris!" ucap Andel terus menangis.

Dirinya sangat merasa bersalah, apalagi setelah mendengar ucapan yang keluar dari bibir Mama Drita tadi.

Beban itu makin berat dirasanya, keinginan untuk menyusul Drita semakin berkobar.

"Bukan lo yang salah, udah jangan nyalahin diri lo terus," ucap Faris kemudian pergi membawa Andel keluar setelah pamit kepada Rangga.

"Ris, gue mau pulang," ucapan Andel membuat Faris mengangguk dan segera menuntun Andel ke parkiran.

Faris sempat meminjam mobil temannya tadi untuk membawa mobilnya pulang, nanti akan di pulangkan.

Rasanya tidak pas membawa Andel yang kondisinya sedang tidak baik dengan motor.

Ditengah perjalanan pulang Andel tidak berhenti mengeluarkan air mata, Faris yang melihat itu merasa iba dan terlebih hatinya juga sakit melihat itu semua.

"Ndel," ucap Faris pelan, Andel mengangkat kepalanya menatap Faris.

"Apa? Ada Drita ya?" pertanyaan itu mampu membuat hati Faris serasa ditusuk ribuan anak panah.

"Gue sayang ama lo," Faris tidak tahu, perkataan itu didengar Andel atau tidak namun, perkataan itu keluar dari hati terdalamnya.

Setelah sampai dirumah Andel hanya diam, naik kelantai atas dan menuju kamarnya lalu mengunci kamarnya.

Faris menghela nafas berat, akan susah membujuk Andel untuk keluar dari kamar jika keadaan seperti ini.

"Faris! Kenapa sudah pulang? Kamu bolos?" Faris membalikkan badannya dan sekarang didepannya sudah ada Papanya yang berdiri tegap.

"Anda tidak perlu tahu," jawab Faris tulus.

"Papa menyekolahkan kamu untuk belajar Faris! Bukan untuk bolos!" bentak Papa Faris kepada Faris.

"Disekolah Andel ada masalah, Faris mau jagain Andel hari ini," jawab Faris berusaha tidak emosi.

"Masalah apa? Dia tinggal kelas? Atau buat masalah apa?" tanya Papa yang membuat Faris naik darah.

"Apa yang anda maksud? Andel tidak serendah itu untuk tinggal kelas! Kalau anda tidak tahu apa-apa bagus anda diam!" bentak Faris meninggalkan Papanya namun terkejut saat melihat Andel berada didepannya.

"Lalu apa?"

"Teman Andel meninggal dunia, sekarang dia sedang terpukul," jawab Faris tenang.

"Lalu? Bukankah bagus? Saingan dia menjadi berkurang, bukankah begitu Andel?".

plak

Satu tamparan keras mendarat di pipi Papanya itu tamparan dari Andel.

"Saya tidak seperti Anda yang akan senang melihat kematian orang! Saya masih punya hati untuk tidak bahagia diatas penderitaan orang. Anda! Jika anda ingin tahu! Dia yang selama ini ada untuk saya! Orang tuanya sudah sayang anggap sebagai Orang tua saya sendiri,"

"Dan dia! Dia yang selalu mengobati luka saya jika anda dengan senang hati melayangkan tangan ataupun ikat pinggang kepada saya, saya tidak sebodoh anda mementingkan kepentingan diri sendiri dari pada orang lain!"

"Dan, jangan pernah anda layangkan tangan ataupun ikat pinggang kebanggan anda itu kepada saya lagi! Saya manusia bukan binatang! Hiduplah jika anda ingin dihargai, hargai juga orang!"

Setelah mengucapkan itu, Andel beranjak keatas meninggalkan Papanya yang terdiam karena ucapan Andel tadi.

"ANAK DURHAKA!" teriak Papanya yang berhasil membuat langkah kaki Andel berhenti.

"Sepertinya saya memang anak kandung anda, buktinya saya bicara tanpa memikirkan perasaan orang lain sama seperti anda dan satu lagi saya seperti ini karena didikan keras anda dari dulu," setelah itu Andel benar-benar naik keatas menuju kamarnya dan mengunci pintu.

"ANDEL! KAMU APAKAN PAPA MU!?" Andel kembali membuka pintu kamarnya.

"Hah? Apa? Anda masih ingat dengan nama saya? Wah luar biasa. Dan apa hak anda marah-marah kepada saya? Suami anda sakit gara-gara pipinya saya tampar?"

"Apa kabar dengan badan saya? Yang selalu dipukulinya dengan senang hati? Dan, apa kabar dengan anda? Sudahkah sehat? Luka anda sudah sehat?" ucap Andel menatap Mamanya tajam.

Anggap saja Andel tidak sopan kepada orang tuanya tapi, memang itu kenyataannya.

"Kami ini orang tua kamu Andel!" bentak Mama Andel dari bawah menatap Andel tajam, sementara Faris hanya menonton.

Dia tahu bahwa mood Andel sedang buruk, jadi biarkan saja Andel melampiaskan semua kekesalannya.

"Saya ini anak kalian! Apa peran kalian selama ini jadi orang tua? Memukul saya? Mengabaiakan saya ketika saya disekap di gudang? Dimana predikat kalian sebagai orang tua?" pertanyaan beruntun Andel mampu membuat mama dan papanya terdiam.

"Tidak bisa menjawab? Kalau begitu saya pamit," jawab Andel kemudian masuk kedalam kamarnya.

Faris tersenyum puas lalu ikut keatas menuju kamarnya, dia sangat senang mendengar ucapan Andel yang menusuk.

Sedikit sakit sih, sebagai abang seharusnya dia membantu Andel ketika di sekap, namun dia tidak bisa karena ada perlombaan yang dia ikuti.

Sudah berapa jam Andel mengurung diri dikamar tanpa membuka pintunya, Faris sangat yakin Andel belum makan dari tadi pagi.

"Ndel, makan dulu yuk, lo belum makan dari kemaren," ajak Faris mengetuk pintu kamar Andel pelan.

"Gue ga makan, gue mau mati aja," jawab Andel pelan namun masih terdengar oleh Faris.

Ucapan itu mampu memancing emosi Faris, tanpa sepatah katapun Faris mendobrak pintu kamar Andel dan segera menarik Andel keluar.

"Lo harus makan," ucap Faris.

"Gue ga mau makan dirumah," jawab Andel pelan, masih terkejut dengan Faris yang tiba-tiba mendobrak pintu kamarnya.

"Yaudah, ayo keluar," ucap Faris final, menarik tangan Andel ke kamarnya untuk mengambil kunci mobil.

"Gue ga perlu lo tarik-tarik juga," ucap Andel pelan.

"Nanti lo loncat lagi dari lantai atas," jawab Fari kemudian kembali narik Andel kebawah menuju garasi.

"Ga bakal," jawab Andel yakin, walaupun sempat terpikir olehnya untuk melakukan hal itu.

"Lo mau makan apa? Atau kita ke supermarket dulu beli stok cemilan buat lo," tanya Faris yang membuat Andel bingung.

"Makan nasi goreng aja, baru beli cemilan," jawab Andel setelah mengerti akan kemana pembicaraan mereka.

Setelah itu Faris segera mencari warung nasi goreng terdekat yang menurutnya enak.

"Lo tahu dimana nasi goreng yang enak?" tanya Faris menatap Andel sebentar.

"Didekat sekolah. Btw Ris makasih udah ada ketika gue terpuruk,"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!