Andel Falsa

Nama gue Andel Falsa, nama yang sedikit aneh mungkin, ga tahu siapa yang kasih yang jelas antara Mama sama Papa itu aja.

Gue punya kakak laki-laki, namanya Faris beda sekolah, sengaja gue beda sekolah sama dia.

Keluarga gue ga kaya keluarga cemara yang harmonisnya sampai ke tv, keluarga gue bisa dibilang saling ga kenal, maybe.

Kita ga pernah yang namanya ngumpul keluarga, ga tahu kenapa, palingan juga minggu itu pun kalau Papa ga ada meeting.

Yang diomongin minggu itu juga gak bermanfaat, gue aja bingung kenapa keluarga gue kaya gini banget.

Entahlah, senyaman mereka aja, selama gue masih hidup dan tinggal dirumah ya ga papa, terserah apa mau mereka.

Gue ga akrab sama Mama maupun Papa tapi, gue cukup akrab sama Faris, ya gue manggilnya ga pake embel-embel 'Kak'.

Dan sekarang gue lagi arah jalan ke mall, gue cuma ngikutin Faris, soalnya dia jarang ngajak gue kalau kemana-mana.

Faris ganteng kok, dia disekolah faomus banget, ya cuma orang-orang ga tahu Faris punya adek perempuan.

"Lo janjinya mau ke supermarket bukan ke mall," ucap gue tanpa berminat menatap Faris yang duduk disebelah gue.

"Gue mau ke mall, lagian lo ngapain dirumah sih? Besok juga libur," gue ngangguk dikit walaupun salah sih.

"Gue tidur, fisik sama otak gue butuh tidur apalagi ada dilingkungan ga nyaman ini selama 16 tahun," jawab gue santai, gue ga bakal takut untuk menyuarakan pendapat gue.

"Maksud lo? Dirumah?" gue ngangguk sebagai balasan, kenapa gue harus bohong ketika dikasih kesempatan buat mengeluarkan pendapat?

"Kenapa lo ga bilang sama Papa ataupun Mama?" tanya Faris sekali lagi, dan gue tahu pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu diajukan.

"Sayangnya gue masih mau hidup," jawab gue seadanya.

Papa orangnya kasar, kalau ada hal yang tidak sejalan sama kemauannya dia ga segan-segan buat main tangan.

Sama Mama aja sering didepan mata gue, pernah sekali gue dipukul sama ikat pinggang itu sakit banget, tapi lebih sakit pas gue ngelihat harmonisnya keluarga Drita.

"Tapi, gue bisa ngomongnya besok kalau dipancing," ucap gue yang berhasil bikin Faris membelalak kaget.

"Lo yakin? Cukup gue aja yang pembangkang, gue cowok jadi sakitnya ga kerasa banget tapi, lo cewek Ndel," ucap Faris memberi peringatan ke gue.

Iya, selama ini Faris sering ngelawan ucapan Papa yang ga sejalan sama logika manusia, dan Faris benci ketika Papa main tangan sama Mama.

Disanalah Faris bertindak sebagai laki-laki dirumah, gue sering bantuin obatin luka Faris tiap dia berantem sama Papa.

Tapi, gue cuma bisa diam tanpa berani buat ngomong sama dia, gue ga bisa ngomong karena kemungkinan besar gue bakal nangis, dan itu suatu hal yang sangat gue benci.

Gue benci nangis, selama obatin luka Faris hanya 1-2 kata yang keluar dari mulut gue, salah satunya 'maaf'.

Walaupun gue ga salah, tapi ngelihat luka diwajah Faris mampu buat gue merasa bersalah.

"Ga papa, sekali-sekali gue yang rasain pukulan Papa, ngerasa bersalah ga sih di mukulin anak cewek kalau buat mukulin anak cowok kaya lo dia ga ngerasa bersalah, kayanya ga sih, Mama aja yang istri dia sendiri ga merasa bersalah dipukulin,"

"Gue rasa mau tukar tambah Papa aja deh Ris, kenapa ada orang sejahat itu didunia ini dan terlebih orang itu Papa gue sendiri yang ga pernah ngerawat gue,"

"Menyedihkan sekali cerita gue, kira-kira bagus ga ya kalau gue jadiin cerita novel?" gue menatap Faris yang sudah menahan amarah.

Faris bukan orang yang mudah terpancing emosi, namun jika itu berkaitan dengan gue maupun Mama dia bakal emosi langsung, siapapun orang itu.

"Ndel, udah. Jangan mancing emosi ya," ucapan Faris mampu membuat gue diam, padahal gue ga bermaksud mancing emosi dia.

"Sumpah ga bermaksud banget gue Ris," jawab gue geleng-geleng cepat.

"Lalu? Kenapa lo pulang lambat tadi?" gue refleks melihat kearah Faris, ini pertama kalinya Faris nanyain gue kenapa gue pulang telat.

Biasanya kalo gue pulang telat ataupun cepat ataupun ga sekolah dia kaya orang ga peduli aja, seakan-akan didunia ini gue ga ada.

"Tumben nanyain, biasanya bodoamat," jawab gue mancing dia buat ngomong sebenarnya.

"Gue tadi balik nemuin temen gue dia nongkrong di belakang sekolah lo, ga sengaja lihat lo keluar pagar belakang sama Drita. Awalnya mau gue panggil tapi, pas lihat muka lo mendadak tegang dan ngomong bentar ama Andel terus pergi gue jadi penasaran," barusan adalah kalimat terpanjang yang pernah keluar dari mulut Faris.

"Oh itu, gue di panggil Miss Trinity," gue menjawab seadanya seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kalau di panggil Miss Trinity kenapa muka lo kaya gitu banget? Kaya dikejar pembunuh," refleks mulut gue sedikit terbuka, kenapa hampir betul?

"Lo mau dengar? Yaudah ga usah," memang Faris adalah Abang yang paling paling ga ada lembutnya didunia.

Gue ditempeleng cuma gara-gara gue bilang kaya gitu, malah mantul lagi ke kaca mobil. Kutukan yang mana bagus untuk orang seperti Faris?

"Santai kali, lo ga ada manis-manisnya jadi abang," ucap gue lalu berpindah duduk kebelakang, dari pada kena kekerasan dalam keluarga.

"Jadi gini, gue bla-bla-bla-bla," dan seketika mobil di rem mendadak oleh Faris dan kepala gue kembali menjadi korban kekerasan.

"BAIK BAIK DEH FARIS! GA JADI NIH GUE CERITA!" teriakan keras gue mampu membuat Faris tertawa, gue ga tahu sih dimana lucunya tapi itu buat gue bahagia.

"Ayo, lanjut cerita," akhirnya gue cerita semuanya, dari awal sampai akhir dan banyak bagian gue potong-potong.

Sengaja, biar ga lama yang penting intinya kan sama.

"Jadi? Antara lo sama Drita bakal ada yang mati?" pertanyaan Faris yang kelewat santai itu mampu buat gue kesal stengah mati.

"Iya, gue bakal mati," jawab gue kesal.

"Pindah dulu depan woi!" dan akhirnya dengan tersenyum penuh makna gue pindah kedepan.

"Jadi, gue sih ga percaya banget. Tapi, kalau lo mati gue seneng dong," mau punya Abang kaya Jefri Nichol aja deh gue.

"Yaudah bilangin Mak Bapak gue, pemakaman gue mau yang sepi aja ga usah banyak orang kalau bisa lo ga usah ikut," jawab gue santai dan kembali kepala gue jadi sasaran.

"Lo ga boleh mati," gue cuma ngangguk-ngangguk kecil, gue maunya sih mati biar ga ketemu Papa lagi.

"Gue maunya iya," jawab gue pelan. Gue yakin sih kedengeran sama Faris, buktinya dia udah mau mukul pala gue lagi.

"Lo pukul kepala gue lagi, gue beneran loncat dari mobil nih!" ucap gue kesal, kepala gue masih guna kali.

"Lo ngomongnya mancing emosi terus sih," gue cuma ngangguk lagi, iyain dah semua omongan Faris nanti gue dikasarin lagi.

"Lo ga pernah manis ya sama orang, gimana mau punya pacar," ucap gue kesal stengah mati.

"Ga berminat gue punya pacar, apalagi pacarnya kaya lo," gue kembali ngangguk, setan banget sih.

Gue cukup terharu sih, ga pernah yang namanya gue ngobrol sepanjang ini sama Faris dan hari ini dia ngomong panjang kali lebar sama gue.

Bahkan dia perhatian banget sama gue, cukup kaget lah, biasanya dia ga pernah kaya gitu.

Faris orangnya cukup tertutup, jadi susah buat nebak suasana hati dia.

"Kayanya gue beneran bakal mati ya?" tatap gue kearah Faris.

"Dari mana lo dapat kesimpulan kaya gitu?" eh, udah sampai di mall.

"Dari, lo yang mulai ngomong sama gue. Atau, lo tahu gue bakal mati terus lo banyak ngomong sama gue iya?" tanya gue.

"****** sih dipelihara," jawab Faris kemudian genggam tangan gue.

Faris kesambet apa sih, bisa lembut kaya gini gue jadinya terharu kan.

"Lo janga sampai mati, siapa yang bakal jagain Mama? Siapa yang bakal gue khawatirin kalau dia telat pulang, ga sekolah, murung," gue refleks ngelihat lagi kearah Faris.

"Selama ini lo merhatiin gue ya? Ciee yang perhatian sama adeknya sendiri," gue noel-noel pipi dia sambil ketawa.

"Lo kira aja gue punya adek perempuan tapi ga gue khawatirin," alasan yang cukup logis.

Gue ga berhenti senyum dari tadi, kayanya emang gue deh yang bakal mati, setidaknya sebelum gue mati Faris udah bikin gue bahagia.

"Mana tahu kan, tampang lo kan tampang psycopath," jawab gue tenang.

"Orang ganteng gini lo bilang psycopath?" gue baru sadar, kalau Faris juga pd.

Kayanya emang gue deh yang bakal mati nanti, tiba-tiba Faris jadi baik kaya gini sama gue.

"Kalau gue beneren mati jangan sampe orang masuk kedalam kamar gue ya apalagi Mama maupun Papa," ucap gue mulus.

"Segitu bencinya lo sama Mama Papa?" tatap Faris ke gue sebentar dan gue hadiahi dengan anggukan.

Gue benci Papa, karena dia suka main tangan. Gue benci Mama karena ga pernah ngelawan dan selalu nurutin ucapan Papa yang menurut gue itu salah.

Gue benci Papa yang selalu membenarkan apa yang salah, gue bisa membangkang.

Gue selalu ngehindari Papa gimanapun caranya, kalau pergi sekolah gue selalu lewat belakang, pulang sekolah gue manjat lewat tangga.

Yang penting gue ga lihat wajah Papa sedetik pun, itu yang gue mau, gue pernah dibentak habis-habisan sama Papa gara-gara udah tidur jam 2 dini hari.

Dan alasannya apa? Gue ga belajar giat sampe dini hari yang katanya dia dulu belajar sampe jam 3 dini hari.

Otomatis gue ngebantah, bukan ngebantah cuma bilang.

"*Pa, Andel hidup didunia ini bukan untuk ngukir prestasi ataupun buat orang-orang kenal sama Andel. Kalau bisa Andel ga mau orang kenal sama Andel, Andel cuma mau bahagia sama cari amal sebanyak-banyak nya,"

"Emang benar kata hadis tuntut lah ilmu setinggi-tingginya, tapi aku ga mau gila belajar terus bikin aku gila*,"

Setelah jawab kaya gitu Papa mukulin gue pake ikat pinggang habis-habisan sambil terus ngutuk gue.

Memang, tiap ngumpul hari minggu Papa terus bangga-banggain dirinya yang terus buat orang tua dia bangga gara-gara terus mengukir nama dia setiap ajang lomba apapun itu.

Gue cuma iya-iyain aja karena menurut gue, nilai-nilai gue tinggi pas sekolah belum nentuin apa pekerjaan gue di masa depan bukan berarti buat malas-malasan juga.

Gue dikurung digudang 2 hari non stop tanpa dikasih makan, disana gue mikir apa perasaan Mama kalau gue dikurung digudang? Kira-kira Mama bakal kirim makanan ga? Atau sekedar minuman?

Tapi tenang, itu semua cuma khayalan semata gue, karena buktinya pas pintu dibuka Mama ga pernah nongol didepan gue.

Pintu dibuka Papa juga buat perjanjian, nyuruh gue selalu belajar sampe jam 3 dini hari dan gue dengan senang hati nolak.

Papa langsung marah-marah dan makin bangga-banggain diri dia, disana secara terang-terangan gue ninggalin Papa yang asik ngomong bangga-banggain dirinya.

Gue benci Mama juga, sangat benci mungkin semua orang akrab sama Mama maupun Papa mereka tapi, gue ngga.

Gue harap, gue ga lahir didunia ini dengan megang predikat anak dari Mama gue yang sekarang.

Yang ga berani bela dirinya demi kehormatan dia sebagai wanita, gue benci lihat perempuan-perempuan yang ga berani ngelawan laki-laki.

Pernah sekali gue ngelihat cewek teman sekelas gue dibully cowok disana mata gue panas banget akhirnya gue nolongin dia.

Buat berantem sama laki-laki bukan hal yang susah bagi gue, setelah laki-laki itu pergi giliran gue yang maki-maki cewek itu.

Gue ga suka, pake banget sumpah.

"Andel, lo mau makan atau beli apa kek gitu," gue ngelihat bentar kearah Faris kemudian narik Faris kearah toko buku.

Gue suka bau buku, dan gue juga suka baca novel tentang misteri yang bikin otak gue jalan.

Gue ga pemalas kok, gue pas-pasan karena gue emang dari sananya santai, menurut pemikiran gue nilai-nilai yang sering diliatin itu menurut gue ga penting.

Bayangan gue sih gimanapun nilai lo sekarang ga menjamin pekerjaan lo dimasa depan, ga menjamin bahagia atau susah lo dimasa depan.

Ngelamar kerja ga nyebutin juara berapa lo pas SD, SMA, ataupun SMP ga nanyain lo ikut lomba apa aja pas masa sekolah.

Bangga-bangga dikit ga papa kalian bisa ngeraih juara kelas, tapi jangan bikin kalian **** juga tentang jaga kesehatan.

Buata apa nilai lo tinggi-tinggi dikertas yang bakal kebuang tapi kesehatan lo ga kejaga bener kan?

Tapi jangan ampe kalian nganggap nilai tinggi itu ga perlu, intinya seimbangin aja kaya 4 sehat 5 sempurna.

Ga berlebih ga juga kurang walaupun gue kurang sih, intinya kalau di gue selama udah naik kelas yaudah itu aja.

Jangan jadiin belajar beban buat kalian karena disana kita cari ilmu bukan buat lomba.

Dah lah apaan sih bahas pendidikan kaya gini, intinya gue sayang sama Faris apapun yang terjadi nanti gue maupun Drita bakal gue terima dengan lapang dada.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!