Hai! Nama gue Drita Eterna, artinya Cahaya abadi, gue ga tahu sih namanya di ambil dari bahasa mana. Pokoknya kata papa artinya cahaya abadi, yaudah itu ga boleh nanya-nanya lagi.
Gue anak tunggal, tapi punya Abang sepupu yang ngeselin setengah mati, nginapnya dirumah terus kalo kalian mau tahu.
Namanya, ga tahu mah, gue lupa siapa namanya. Namanya Rangga, plis bukan Rangganya Cinta ya.
"Gimana dek, sekolahnya lancar. Kok kamu cepet pulang tadi?" gue menatap Papa sebentar lalu, ketika ingin menjawab Rangga sudah terlebih dahulu memotong.
"Drita tadi cabut Yah, biasanya kan dia nunggu Rangga di parkiran tadi aja ga ada," jawab Rangga cepat sambil natap gue.
Yaudah, tinggal bilang gue cabut kan? Ga susah kok, paling nanti kena wejengan kalau belajar itu penting bla bla bla.
"Iya pa, aku tadi cabut lewat belakang sama Andel tapi, Andelnya dipanggil Miss Trinity sampe maghrib jadi Drita pulang duluan," jawab gue lancar kaya jalan tol.
"Kenapa cabut Drita?" tanya Mama natap gue heran.
"Tadi tu Andel habis mecahin teka-teki yang kalau Drita ceritain pasti kalian ga bakal percaya. Nah terus Andel ngajak pulang aja dari pada masuk kekelas lagi," gue natap Mama sama Papa yang udah ngangguk-ngangguk ngerti.
"Lo cabut lewat mana woi?" tanya Rangga agak ngegas.
"Lewat pintu belakang lah!" jawab gue sewot, pikir aja gue cabut ama Andel manjat kan ga asik.
"Kok bisa? Bukannya dikunci?" tanya Rangga, natap gue.
"Andel yang buka pake jepit rambut dia," jawab gue malas-malasan.
"ke--"
"Lo nanya sekali lagi gue tusuk lo sama pisau buah ini!" jawab gue kesal pas lihat muka sok polos Rangga.
"Canda Drit canda," gue hanya bisa menghembuskan nafas keras, punya sepupu kaya dia banyak cobaan banget kayanya.
"Besok ga boleh gitu lagi dek," ucap Papa dan hanya gue hadiahi anggukan pelan.
"Aku keatas dulu," ucap gue lalu segera berlari keatas.
"Drit! Temenin gue main dulu kuy," ajak Rangga melihat kearah gue.
"No," jawab gue pelan lalu kembali melangkahkan kaki menuju atas.
"Ayolah Drit!" teriak Rangga keras kearah gue, ada ga yang jual bom panci? Mau lenyapin Rangga aja deh gue.
Gue hanya diam lalu segera menutup pintu kamar tanpa menjawab panggilan dari Rangga, banyak yang akan gue urus dari pada nemenin dia.
Gue punya buku diary, warna hitam ya walaupun warna ga perlu sih, isinya cuma 1 lembar penuh yang udah susah gue rakit.
Gue sama kaya Andel, sama banget malahan. Tapi, gue sengaja ga kasih tahu siapapun soal masalah ini.
Gue tahu penyakit ini pas malam, gue beruntung banget bisa cepat sadar dari itu.
Mama dan Papa tentu ga tahu, yang tahu itu cuma Rangga, dia yang bantu gue sadar pas kejadian malam itu.
Rasanya punya penyakit kaya gini ga enak banget, Andel? Dia ga tahu sama sekali dia punya penyakit kaya begituan dari mana gue tahu? Gue bisa rasain.
Dari pada bahas hal begitu, sedikit room tour dikamar gue, jadi kamar gue ga luas sih, soalnya gue ga suka yang luas-luas.
Masuk dari pintu akan di dominasi warna hitam, entah kenapa gue suka warna hitam ga tahu ya, meja belajar di pojok kiri ngadep ke dinding.
Kasur berada ditengah antara meja belajar sama jendela, jadi kalau pagi Mama tinggal buka jendela biar gue cepet bangun.
Kalau masalah tv, gue lebih suka make infokus jadi sedikit lebih besar dan spotnya enak.
Meja rias disamping jendela, disamping kanan meja rias ada kamar mandi, lemarinya, kalau masuk kamar mandi ada disebelah kiri kamar mandi.
Disana ada satu ruangan dimana peralatan dari sepatu, baju ,tas dll ada disana.
Di samping kiri meja belajar ada lemari besar isinya semua koleksi novel dan buku-buku gue, dah itu aja.
Spot paling enak itu dikasur, soalnya dibawah kasur ada laci dan disana ada cemilan sama didekat jendela ada lemari es kecil.
Gue menarik napas resah, apa yang harus dilakukan? Mengalah dengan semuanya? Apakah itu cukup?
"RANGGA! KUYLAH!" akhirnya gue keluar setelah ganti baju dan menuju kamar Rangga.
"Kenapa? Gue udah malas pergi," jawab Rangga tanpa menoleh kearah gue.
"Ranggaaa ayok!" ucap gue mutusin sambungan stick ps-nya dan menarik lengannya untuk keluar.
"Tadi aja lo marah-marah bilang nggak," jawab Rangga memberatkan badannya, emang ga tahu diri sih Rangga, udah tahu cowok.
"Yaudah!" ucap gue lalu mendorong dia kembali ke tempatnya.
"Skuylah!" jawab Rangga kemudian merangkul gue.
"Annjir kecekek woi!" ucap gue memukul kepala Rangga cukup keras.
Akhirnya gue keliling mall dengan Rangga sampai malam, kalau ke mall sama Rangga gue jadi ga punya malu sumpah.
Dari tadi kita main batu, gunting, kertas siapa yang kalah di kasih hukuman oleh yang menang, dan sialnya gue kalah untuk kesekian kalinya.
Rangga benar-benar manusia yang harus dimusnahkan didunia ini, tadi aja gue disuruh bersihin sepatu orang yang lewat didepan gue.
Bayangkan! Bayangkan kalian yang ngelakuinnya!!
"Sekarang apa! Lo mau gue jadi OG disini?" tanya gue sarkas sedangkan Rangga cuma ngakak.
"Ga muluk-muluk kok, lo naik-turun aja sana di jenjang berjalan tu trus pegang deh tangan cowok yang lewat," jawab Rangga santai, ni anak lahir dimana sih?
Jenjang berjalan apaan dah? Dan! Gue disuruh megang tangan cowok yang lewat! Memang gila.
"Sana!" ucap Rangga kemudian mendorong gue kearah eskalator.
"5 cowok habis itu makan!" ucap gue lalu segera naik eskalator.
Astaghfirullah! Mati gue! cowok terakhir ganteng lagi, gimana nii??
Dengan segenap keberanian gue megang tangan si cowok dan segera lari kebawah turun kearah Rangga yang udah ngakak dari tadi liatin gue.
Gue segera lari kearah Rangga dan sembunyi dibalik Rangga, karena cowok yang terakhir natapnya panjang banget.
"Kan lo! Lihat kan! Dia natapnya lama! ****** sih lo!" ucap gue ga berhenti mengutuk Rangga dengan kata-kata emas.
"Yaudah yok pergi dari sini!" gue narik tangan Rangga menuju tempat makan, nahan malu juga butuh tenaga.
"Seharusnya dari kekalahan lo tadi, lo bisa dapat pacar," jawab Rangga disela makannya.
"Lo gila? Gue nahan malu lo malah mikir kesana!" ucap gue sambil menggeleng kepala, tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rangga yang pendek.
"Lo pernah dengar Miss Trinity?" tanya Rangga natap gue serius.
"Lo pikir aja! Gue kan anak ekskul Miss Trinity," jawab gue kesal.
"Gue lupa, lo ga tahu berita 2 tahun yang lalu kah? Soal orang yang dibunuh Miss?" ucap Rangga pelan.
"Kalau gue tahu kenapa? Lo mau dengar ceritanya?" jawab gue natap Rangga serius.
"Mau lah!" jawab Rangga semangat, gue kira Rangga ga tertarik sama cerita beginian.
"Gue sama Andel tadi nemuin novel di perpustakaan, dan sinopsis nya bahas Miss Trinity yang bunuh Zahra, nama kakel yang dibunuh Miss Trinity,"
"Pas kita baca sampe selesai ada 2 kode disana dan Andel berhasil mecahinnya, rupanya kode itu nuntun Andel sama gue ke taman belakang yang udah jarang didatangi,"
"DUAR!"
"WOI ***** GILA LO!" teriak Rangga, dan gue ikutan kaget, dan kalian tahu siapa? itu kak Faris sama Andel.
Sumpah ngagetin *****, lagi serius-serius cerita malah dikagetin, bikin spot jantung aja sih.
"Ngapain lo berdua, bisik-bisik gitu?" tanya Kak Faris natap gue sama Rangga satu-satu.
"Rahasia, lo ga boleh kepo!" jawab Rangga cepat dan sukses bikin gue narik nafas lega.
"Gue cari lo kerumah Drit, eh taunya disini," gue natap Andel heran, kenapa nyari gue?
"Buat?" dan Andel cuma geleng kepala kecil, sumpah bikin penasaran banget sih.
Akhirnya Faris sama Andel pamit mau keliling dan gue lanjut cerita sama Rangga.
"Habis itu Andel manjat noh sendiri keatas pohon, dia lihat vidio gitu gue ga tahu sih apa isinya yang penting itu kak Zahra yang ngerekam sendiri, dan lo tahu gak? Kalau kak Zahra bisa lihat masa depan,"
Gue bisa lihat wajah dia yang kebingungan.
"Dan, hari ini adalah hari kematian antara gue dan Andel, gue ga tahu siapa yang bakal mati, tapi itu emang udah tradisi Miss Trinity tiap 2 tahun sekali," ucap gue resah.
"Lo yakin akan hal itu?" tanya Rangga serius, ini yang gue suka dari Rangga, ketika hal itu menyangkut gue dia bakal serius.
"Gue yakin banget, dan dia ngasih gue sama Andel handphone baru," tunjuk gue ngeluarin handphone baru gue.
"Gila lo! Mau mati malah nunjukkin handphone baru!" gue kaget saat ngelihat respon Rangga, gue kira dia bakal iri.
"Gue ga papa kok serius! Terserah siapa yang bakal mati, gue ga bakal sedih atas hal itu," jawab gue tenang sambil tersenyum kearah Rangga.
Emang sih Rangga yang paling the best soal beginian.
"Lo yang ga papa, gue? Kok lo malah milih Ekskul Majalah sih! Kan lo jadi orang selanjutnya," ucap Rangga natap gue sedih.
Ini kenapa jadi mellow gini sih? Tapi, gue beneran rasanya udah ikhlas mau gimanapun hasilnya, gue ataupun Andel.
Gue tetap percaya nama gue yang artinya 'Cahaya Abadi' gue percaya akan hal itu.
Yang bakal bikin nyesek nanti antara gue maupun Andel yang bakal tinggal, disanalah sakitnya.
"Lo ga boleh pergi pokoknya, lo harus sama gue terus," ucap Rangga yang bikin gue kaget.
"Lo kenapa sih Ga? Ada yang salah?" gue natap Rangga dalam, ada hal yang disembunyiin Rangga dari gue.
"Ayah sama Bunda sayang banget sama lo, kalau lo pergi mereka sama siapa lagi?" tatap Rangga dan berhasil bikin gue diam.
Rangga benar, Mama sama Papa sayang banget sama gue, apa yang harus gue bilang sama mereka?
"Maaf, tapi gue ga tahu harus gimana Ga," disini gue mulai mellow, awalnya gue biasa aja pas ngingat Mama sama Papa gue mulai mellow.
"Ga, pulang dulu yuk," ajak gue ke Rangga yang dihadiahi anggukan, gue baru tahu rasanya sesakit ini lihat Rangga.
"Ini bukan akhir lo kan? Gue sayang ama lo," ucap Rangga mengelus rambut gue lembut.
Gue dan Rangga sama-sama kesepian karena kita berdua sama-sama anak tunggal dikeluarga, tapi Rangga pintar banget nyembunyiin kesepian dia.
"I love mee to," jawab gue berusaha mencairkan suasan mellow ini.
"Lo! Gue lagi serius *****!" ucap Rangga kesal, gue tertawa, kalau berada di posisi mellow ini cukup lama sampe malam bakal kepikiran sama gue.
"Gue juga serius loh," jawab gue kemudian berjalan dulu kearah mobil, ini udah malam banget.
"Lo mau bilang sama Ayah Bunda?" tanya Rangga ketika dia udah masuk kedalam mobil.
"Gue? Ga bakal gue bilang lah," jawab gue cepat karena itu bakal jadi hal yang paling berat dalam hidup gue.
"Kalau gue suruh lo buat bilang gimana?," gue natap Rangga penuh api, bagaimana bisa dia mengajak bertengkar diatas mobil?
"Lo mau kita kecelakaan mobil?" tanya gue menatap Rangga kesal.
"Gue serius Drit!" gue terkejut, ini pertama kali Rangga ngebentak gue dan berhasil bikin gue kaget.
"Maksud lo apa?" gue natap Rangga yang udah nepiin mobilnya.
"Maksud gue ga kaya gitu, tapi lo ngerti kan kita gimana? Kita sama-sama kesepian dari dulu, cuma lo yang ada buat gue. Lo sepupu gue yang selalu gue ganggu,"
"Lo yang paling ngerti gue, dan Ayah sama Bunda sayang banget sama lo, gue bisa lihat dari mata mereka kalau mereka sayang banget sama lo, kalau lo pergi gimana? Mereka bakal gimana?" ucap Rangga pelan menatap gue.
Untuk kedua kalinya gue nangis gara-gara masalah ini, dan itu semua berkat Rangga kampret.
"Ya ga gimana sih Ga, gue ga tahu harus gimana kalau udah emang takdir gue disana gue harus gimana?" gue natap Rangga.
"Lo bisa bilang sama Bunda?" gue mendelik kesal.
"Eh Ga, lagian kan belum tentu gue yang dead!" ucap gue kesal.
"Ya mana tahu lo yang mati duluan dari pada Andel," jawab Rangga sok benar yang bikin gue menggeleng tidak percaya.
"Sebenarnya lo dukung gue mati apa hidup sih bujang?!" tatap gue kearah Rangga yang suda mulai sibuk mengemudi.
"Mati lah! Biar lo ga ganggu gue mulu," gue menganga takjub, tadi yang ngajak mellow mellow siapa sih?
"Eh onta! Perasaan lo deh yang ganggu hidup gue mulu, tinggal dirumah siapa lo?" tanya gue natap dia sombong.
"Rumah Ayah sama Bunda gue lah, lo yang siapa!" dih ***** pake ngegas lagi dia.
"Bener-bener ga tahu di untung banget lo *****," jawab gue sambil geleng kepala.
"Eh, gue udah nemenin lo main seharian ya, siapa sih yang ga tahu di untung," jawab Rangga sewot kearah gue.
"Yang mau main sama lo siapa sih *****," jawab gue kesal kemudian lebih memilih menghidupkan musik dari pada berdebat dengan Rangga.
Kalau berdebat dengan Rangga gue jamin, gue ga pernah menang, emang ya setan banget dianya tapi ya gue tetap sayang dia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments