Satu Atap Dua Isteri
Bab 1. Menyambut Calon Madu
POV Rani
Aku menangis kala Mas Damar mangatakan akan membawa kekasihnya ke rumah kami. Kekasih yang sudah ia cintai sejak mereka sama-sama di luar negeri dulu. Walau ia tidak menginginkan ku, tapi setidaknya sedikit saja ia memikirkan perasaan ku yang sudah menjadi istrinya selama 6 bulan terakhir ini. Namun yang ada, mas Damar tidak peduli sedikit pun tentang apa yang aku rasakan.
Bilik di ujung lorong rumah besar ini adalah kamarku yang menjadi saksi bisu kepiluan hatiku.
Pernikahanku yang di landasi atas perjodohan ke dua orang tua membuatku merasakan nestapa dalam mahligai rumah tangga. Nyatanya Mas Damar hanya baik di depan orang tuanya dan begitu menyiksa batinku di belakang mereka.
Aku sadar aku hanya anak supir dalam keluarga mereka. Tapi bukan inginku menjadi isteri Mas Damar saat itu. Aku tidak berani berharap pada sosok lelaki yang sangat aku kagumi waktu kecil. Namun ia berubah drastis setelah pulang dari sekolah luar negerinya. Oleh karena permintaan terakhir Ayahku, serta permohonan dari Ibunya Mas Damar, aku menuruti perjodohan ini.
"Rani dimana kamu?!"
Suara Mas Damar memaksa ku segera menghapus bulir bening yang membasahi pipiku. Dengan cepat aku beranjak dan membuka pintu kamarku.
"Ada apa Mas?" Tanyaku dengan kepala tertunduk.
Bisa gawat kalau dia melihatku menangis. Bukan bujuk kan atau sekedar penghiburan yang aku dapatkan, melainkan hinaan yang pasti akan melukai hati ku lagi.
"Nih, masak yang enak! Laura akan datang siang ini. Dan ingat, jangan panggil aku Mas di depannya! Tapi panggil aku Pak Damar, mengerti kamu?!"
Nyut..., kembali hatiku sakit.
Aku mengangguk mengiyakan perintah mas Damar sembari mengambil uang 200 ribu dari tangannya.
Lagi-lagi aku meneteskan air mata dalam diam ku. Bukan kah jika Mas Damar meminta di panggil Bapak di depan kekasihnya, itu artinya aku hanya di anggap pembantu saja?!
Mas Damar pun langsung berlalu, ketukan pantofelnya pun semakin pelan terdengar.
Ku pandangi uang 200 ribu ditanganku. Uang terbesar selama pernikahan yang di berikan Mas Damar padaku. Karena hari-hari aku biasanya hanya di beri uang 50 ribu untuk makan ku. Karena Mas Damar sendiri tidak pernah makan di rumah.
"Aku harus belanja apa?" Tanyaku bingung pada angin.
Semua kebutuhan pokok di kota ini serba mahal. Aku juga tidak tahu selera makanan wanita itu. Haruskah aku masak selera ku saja?
Aku menghela napas berat. Kalau tidak cocok sudah pasti aku di marahi oleh Mas Damar nantinya.
Aku masuk kembali ke kamarku. Berganti pakaian yang layak untuk keluar rumah. Sehari-hari di rumah ini aku hanya menggunakan daster rumahan saja, karena hanya jenis pakaian itu yang aku punya beberapa.
Pintu rumah aku kunci dengan kunci cadangan yang berikan Mas Damar. Dengan berjalan kaki, aku menuju rumah makan khas padang untuk membeli lauk jadi saja. Ku dengar kekasih Mas Damar itu, lulusan luar negeri yang sama dengan Mas Damar. Apa aku harus menyiapkan makanan ala Barat? Atau makanan lokal saja? Sudah lah, kalau di marah pun mau gimana lagi. Repot harus memilih jenis makanan luar, sebaiknya aku memilih masakan padang saja. Dan makanan Indonesia pun sudah mulai mendunia terutama sate dan rendangnya.
Uang 50 ribu aku belikan rendang daging yang hanya dapat beberapa potong saja. Lalu gulai tunjang yang sejujurnya membuat ku menelan saliva karena begitu menggiurkan. Tidak lupa pula dua potong ayam goreng serta lalap dan juga sambalnya. Hanya tersisa 20 ribu saja uang yang Mas Damar berikan. Dan uang itu ku belikan sate ayam di pinggir jalan. Kurasa ini semua sudah cukup untuk mereka berdua. Aku pun pulang membawa semua makanan itu.
Bisa di bayangkan seorang isteri menyiapkan segalanya untuk menyambut calon madu yang tidak pernah di inginkan. Begitulah sakit hati yang aku rasakan saat menyiapkan semua makanan tadi tersusun rapi di atas meja makan.
Walau ini pernikahan yang di landasi perjodohan. Tapi aku sangat berharap ini adalah pernikahan pertama dan terakhir untukku. Belajar menerima dan mencintai suami yang di tetapkan untukku, meski sehari-hari ia menoreh luka di hatiku.
Mungkin aku wanita bodoh yang telah di sakiti tetapi masih tetap bertahan, itu benar. Karena orang tuaku mengajarkan ku untuk selalu bersabar dan belajar menerima apa yang sudah di gariskan. Orang tua ku dan aku sendiri pun percaya, di setiap kesulitan akan ada kemudahan. Di setiap penderitaan akan ada kebahagiaan di ujung jalan. Dan aku harus menjadi wanita kuat dan sabar, begitu lah pesan orang tuaku sebelum meninggalkan ku sendiri, sehari setelah pernikahan ku dengan Mas Damar.
Sudah mendekati jam makan siang. Makanan-makanan tadi aku tutup agar tidak dimasuki serangga. Dan aku pun membawa mie instan dengan wadah cup, yang ada di dalam lemari persediaan makanan.
Sudah sering aku makan sendiri di dalam kamarku. Bahkan ada mini rice cooker serta dispenser untuk penunjang kelangsungan hidupku. Mas Damar tidak suka melihatku makan di meja makan. Katanya anak supir tidak pantas berada semeja dengan tuannya.
Mie instan cup di tambah nasi dan abon sapi sudah cukup mengenyangi perutku. Bertepatan dengan itu, suara ketukan pantofel di lantai yang sudah sangat aku hafal terdengar kembali. Namun kali ini ada yang berbeda karena suara ketukan itu bersahut-sahutan.
Deg, sepertinya kekasih Mas Damar sudah datang. Hatiku berdebar bukan karena takut melainkan sedih dan bercampur kecewa karena Mas Damar benar-benar akan mempertemukan kami.
"Rani!!"
Dan dengar saja teriakan Mas Damar itu. Sudah pasti ia akan menurunkan perintahnya padaku. Segera aku beranjak agar Mas Damar tidak lebih murka dari ini.
"Ya, mmmma.. Pak!"
Hampir saja aku keceplosan memanggil Mas Damar dengan sebutan Mas. Namun terhenti ketika melihat mata Mas Damar yang melotot menatap ku.
"Nih cuci! Pakai pelembut dan jangan sampai rusak!"
Satu koper kecil Mas Damar sodorkan padaku. Dengan berat hati aku pun menerima koper itu sambil melirik sekilas kekasih Mas Damar yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Mata bulat besar dengan bulu mata tanam yang lebat dan lentik itu menatapku dengan tatapan tajam dan tidak suka. Aku segera menunduk agar mata kami tidak bertemu. Padahal hati ini begitu sakit melihat tangannya tidak lepas dari genggaman tangan Mas Damar.
"Ayo sayang, kamu pasti lapar. Kita makan dulu. Aku sudah menyiapkan makanan yang pasti kamu sukai."
Mataku mengembun dengan kepala tertunduk. Baru kali ini aku mendengar ucapan sayang dari mulut Mas Damar tapi bukan di tujukan padaku.
Padahal aku juga berharap sekali saja, kata-kata manis itu terucap dari bibir Mas Damar untukku. Namun lagi-lagi aku harus menelan pahit kenyataan, bahwa aku adalah isteri yang tidak di inginkan.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Lina Suwanti
mampir kak,, sebenarnya sebal klo baca tentang poligami tp suka penasaran sm karakter tokohnya,apakah wanita yg kuat atau lemah
2024-08-08
0
Uthie
Coba nyimak dulu 👍🤗
2024-07-06
2
Mbr Tarigan
orang aneh dan idiot yg mau bertahan seperti itu TDK masuk akal
2024-06-19
0