Bab 5. Di Paksa Menerima
POV Rani
Entah berapa banyak uang yang di habiskan ibu mertua untuk membelanjakan ku hari ini. Sejujurnya aku sendiri bingung, kenapa ibu mertua sebaik ini pada menantu yang hanya seorang anak supir yang pernah bekerja padanya dulu. Meskipun begitu aku bersyukur. Setidaknya ada yang masih peduli padaku dari suami yang hanya bisa menyakiti hatiku.
Walau ini hanya pernikahan perjodohan, dan Mas Damar tidak memiliki perasaan terhadap ku, setidaknya ia menghargai perasaan ku yang sudah menjadi istrinya ini. Memang dulu aku tidak terlalu berharap akan cinta Mas Damar, meski aku sangat mengaguminya waktu remaja dulu. Tapi karena kami sudah menjadi pasangan setidaknya aku berusaha menerima dan belajar untuk mencintai Mas Damar. Dan tentu saja aku menjadi cemburu melihat Mas Damar bermesraan dengan yang lain sedangkan aku isterinya tidak di perlakukan demikian.
Tiba di rumah Mas Damar dan kekasihnya sudah tidak ada. Bahkan koper miliknya pun sudah tidak ada. Namun pakaian kotor masih berendam belum kelar di cuci. Dan aku pun membiarkan saja pakaian itu disana. Teringat kata ibu mertua kalau aku tidak boleh kalah. Kali ini akan aku coba untuk menggunakan otoritas ku sebagai nyonya rumah.
Lemari pakaian ku mendadak penuh dengan barang-barang yang baru saja ibu mertua belikan. Tas dan pakaian bermerek juga sepatu dan sandal yang terbungkus rapi dalam kotaknya aku susun rapi dalam lemari.
Tak...
Tak...
Tak...
Suara langkah pantofel Mas Damar yang sudah sangat aku hafal. Aku harus mempersiapkan hati dan diri karena Mas Damar pasti tidak tinggal diam dengan apa yang terjadi hari ini.
"Rani...!"
Aku langsung membuka pintu kamar ku begitu Mas Damar meneriakkan namaku.
"Ada apa Mas?"
"Lusa aku akan menikah dengan Laura. Ingat kamu harus menghormati Laura. Kamu harus tahu posisi mu di sini!"
Jeder!!
Tanpa meminta ijin dariku Mas Damar sudah membuat keputusannya sendiri. Jadi permohonan kepada Ibu mertua tadi itu hanyalah formalitas semata.
Darahku berdesir, aku kecewa. Mas Damar benar-benar tidak menganggap ku ada.
"Bukankah Ibu bilang harus meminta ijin dulu dariku Mas?"
Aku mencoba memberanikan diri untuk membantah.
"Apa perlu? Kita hanya lah pasangan di atas buku nikah dan tidak memiliki perasaan apa pun. Kamu tahu siapa yang aku cintai."
"Kalau begitu, ceraikan aku Mas! Biar kamu bebas menikah lagi!" Kataku.
Padahal dalam hati ini begitu sakit sampai harus berkata demikian. Bahkan mata ini mulai mengembun dengan kenyataan pahitnya pernikahan ini.
Rahang Mas Damar mengeras mendengar ucapanku. Matanya menatap tajam ke arahku.
"Jangan mengancam ku Rani!"
"Aku tidak mengancam. Justru aku memberikan kebebasan padamu Mas, tapi ceraikan aku!"
Mas Damar terdiam. Entah apa yang membuatnya tidak bisa mengucapkan talak padaku. Hanya gertakan gigi yang terdengar dengan rahang yang masih mengeras.
"Kenapa Mas diam saja. Kalau Mas tidak bisa ngurusnya, biar aku yang mengurus perceraian kita!"
"Kamu jangan macam-macam Rani!!"
Bugh!!
"Aww! Sakit Mas!!"
Tiba-tiba Mas Damar mendorong ku ke dinding cukup kuat sambil mengancamku. Entah kenapa Mas Damar tidak menyukai mendengar kata cerai di antara kami.
"Ingat jangan pernah mengajukan perceraian, atau kamu akan menyesal!" Ancam Mas Damar.
Air mata ku meleleh.
"Kenapa Mas? Bukan kah lebih baik jadi aku tidak menjadi pengganggu kalian?!"
Mas Damar melepaskan cengkeraman tangannya di bahuku.
"Kamu tidak perlu tahu! Intinya aku akan menikah lusa. Suka tidak suka kamu harus menerima!"
Tak...
Tak...
Tak...
Setelah mengatakan keinginannya, Mas Damar pun pergi.
Aku melorot terduduk di lantai. Lemas tak berdaya memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Aku menunduk dan menutup wajahku dengan kedua telapak tangan ku. Aku menangis sedih entah apa yang membuat hati ini begitu sakit.
Padahal jika kami berpisah segalanya akan menjadi lebih mudah bukan?
***
Keesokan harinya.
"Rani apa benar kamu menyetujui Damar menikah lagi?"
Tanya ibu mertua melalui sambungan telepon.
Cepat sekali Mas Damar berbohong pada ibunya. Padahal aku tidak menjawab menyetujui pernikahan ke duanya. Lalu, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Ibu mertuaku?
"Kenapa diam Rani? Jadi Damar berbohong?! Dasar anak itu! Owhh!!"
"Bu, Ibu kenapa?!".
Tiba-tiba ibu mertua tedengar mengerang kesakitan. Aku pun panik takut terjadi apa-apa pada ibu mertua ku yang baik itu.
"Mendadak kepala Ibu berdenyut nyeri Rani."
"Bu, sebaiknya Ibu tahan emosi, sabar Bu. Takut darah tinggi Ibu naik lagi. Jangan pikirkan saya. Saya baik-baik saja seperti kata Ibu kemarin, kalau saya tidak boleh kalah." Kataku sambil memotivasi diri sendiri.
"Kasihan kamu Rani. Ibu tidak bisa berbuat banyak untuk membantumu. Damar sudah sering Ibu ancam tapi tetap saja dia begitu. Maafkan Ibu Rani..."
Ujar Ibu mertua tedengar melemah.
Aku juga tahu Ibu mertua tidak bisa berbuat apa-apa. Karena bila ia menekan Mas Damar dan mengambil hak perusahaan lagi, perusahaan tidak memiliki pemimpin yang di segani seperti Mas Damar. Para pemegang saham akan berlomba-lomba untuk merebut posisi tertinggi yang saat ini di pegang oleh Mas Damar.
"Aku hanya butuh dukungan Ibu. Doakan saja yang terbaik untuk kami Bu. Tapi Bu..."
"Tapi kenapa Rani..."
Ragu-ragu aku ingin melanjutkan kata-kata ku. Tapi takut Ibu mertua ku yang baik itu menjadi tersinggung.
"Rani..."
"Eh iya Bu, anu... emm... itu..."
"Itu kenapa? Ngomong yang jelas Rani jangan buat Ibu bingung."
Aku menghela napas berat.
"Itu Bu, aku sempat kepikiran bercerai saja dari Mas Damar. Toh dia juga tidak mencintai ku Bu..."
"Apa?! Jangan Rani...! Tolong jangan lakukan itu. Kamu menantu yang ibu harapkan untuk Damar, bukan wanita itu. Tolong... Jangan buat Ibu bersedih kehilangan kamu."
Sama seperti Mas Damar, Ibu mertua juga tidak mau aku berpisah dengan Mas Damar. Sebenarnya kenapa? Apa karena jika ibu bersedih Mas Damar menjadi lemah sehingga ia tidak mau kami berpisah? Atau ada alasan lain yang tidak aku ketahui?
"Kalau memang berat bagimu, besok kita tidak perlu menghadiri pernikahan mereka. Jangan paksa Ibu menghadiri sendiri Rani. Biar mereka tahu Ibu tidak merestui mereka."
Aku tidak bisa berkata apa-apa jika keinginan Ibu mertua sudah seperti itu. Lagi pula benar kata ibu mertua, kalau hati ini berat untuk menyaksikan pernikahan mereka.
"Baik Bu."
Panggilan telepon pun berakhir. Aku pun merebahkan diri, menatap langit-langit kamar yang polos berwarna putih.
"Apakah nanti Mas Damar akan membawa isteri mudanya itu untuk tinggal di rumah ini juga?"
Tuhan, jangan biarkan itu terjadi. Ku mohon...
Bersambung...
Minta like dong, sebagai dukungannya karena novel ini sedang ikut lomba, terima kasih 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Jeni Safitri
Sepertinya perusahaan mrk itu pakai dana orangtua rani dan di kelola ayah damar dgn perjanjian pernikahan anak" mrk makanya ibu damar berpura" marah saat damar mau nikah lagi padahal dia setuju dan hadiah" utk rani itu hanya peralihan aja deh kayaknya
2024-12-17
0
Nuriyani
dari sini kok saya mulai curiga, sepertinya Ibu Damar mengetahui sesuatu 🤭
2024-12-17
0
Akbar Razaq
Ya sudah klo g bs nolak permintaan mertua jalanin aja dan jangan banyak drama.
lebay..
2024-09-29
0