Bab 11. Makan Malam Plus Makan Hati
POV Rani
Mas Damar keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ke dapur. Di lihatnya aku dengan wajah kesal.
"Kenapa kamu bilang kalau mobil itu aku yang belikan? Kamu sengaja ingin membuat keributan?!"
"Loh, aku hanya ingin berterima kasih padamu Mas. Itu etika seseorang yang sudah di beri hadiah."
"Tapi aku tidak merasa membelikanmu!"
"Apapun itu, mobil sudah ada dan Ibu bilang itu dari kamu. Jadi wajar aku yang tidak tahu apa-apa ini hanya sekedar ingin berterima kasih Mas. Di mana salahnya?" Kataku pura-pura polos.
Mas Damar mengusap wajahnya dengan kasar.
"Lalu dimana pakaian Laura yang aku suruh kamu cuci seminggu yang lalu?"
"Pakaian? Ah..., rendaman itu. Maaf Mas, aku tidak mengerti cara mencuci pakaian mahal. Jadi aku rendam saja dan ku simpan di halaman belakang." Jawabku tanpa rasa bersalah.
Mas Damar mengambil air minum dan langsung meneguknya dari botolnya. Terlihat sekali ia sedang berusaha meredam emosinya. Kemudian ia kembali lagi ke kamarnya.
Ku ikuti Mas Damar diam-diam untuk menguping. Kali ini aku beruntung karena pintu tidak tertutup rapat dan memperlihatkan sedikit celah. Segera aku mendekat dan ingin mendengarkan percakapan mereka.
Terdengar suara isakan tangis di dalam sana. Sepertinya mereka bertengkar hebat sampai-sampai wanita itu menangis seperti itu.
"Berhentilah menangis sayang, bukan aku yang membelikan mobil itu, tapi Ibu."
"Ibumu memang pilih kasih! Tidak pernah mau memperhatikan aku!"
"Jangan marah pada Ibu. Ibu punya alasan tertentu sangat menyayangi Rani."
"Termasuk kamu kan, tidak bisa menceraikan dia?!"
"Jangan bahas itu lagi sayang. Yang penting hatiku hanya untukmu."
"Kalau begitu, belikan aku mobil yang sama seperti dia!"
"Laura, please... Kita baru saja membicarakan soal rumah, dan kali ini kamu minta mobil tidak bisa secepat itu sayang."
"Kenapa? Kamu tidak punya uang?"
"Black Card ku di tahan oleh Ibu karena memakai dana perusahaan. Aku harus mengembalikan dulu dana itu."
"Tabungan mu yang lain?"
"Kamu lupa kita sudah banyak menghabiskannya waktu itu?! Haaah...."
Mas Damar terdengar membuang napas kasar. Aku baru tahu jika wanita itu matrealistis kelas kakap.
"Aku malu kalah dari anak supir itu! Kalau saja orang tuaku tidak bangkrut, aku tidak mungkin memintamu berlebihan seperti ini."
"Aku tahu sayang, aku tahu... Sudah lah jangan bersedih lagi. Akan ku belikan jika perusahaan mendapat tender besar nanti."
"Sungguh?"
"Iya sayang. Aku janji..."
"Ah, love you so much sayang..."
Terdengar seperti suara kecupan. Apa mereka sedang berciuman?
"Oh ya, apa kamu sudah menanyakan padanya baju ku waktu itu."
"Sudah. Dia tidak mencucinya. Kita bawa ke laundry saja."
"Ck!"
"Mau kemana sayang?!"
Aku buru-buru pergi dari depan kamar mereka. Sepertinya wanita itu akan menghampiri ku soal bajunya yang ku rendam selama seminggu.
Napas ku tersengal-sengal karena berlari tanpa menimbulkan suara. Ku coba mengatur napas agar tidak ketahuan kalau aku baru saja menguping pembicaraan mereka.
"Kamu apakan bajuku?! Mana bajuku?!"
Cepat sekali dia sudah berada tidak jauh dariku. Kira-kira tadi ketahuan tidak ya?
"Baju?" Tanyaku ulang pura-pura tidak tahu.
"Jangan pura pura kamu!"
"Oh, baju kotor. Tuuuuh, di halaman belakang sana."
Wanita itu tampak kesal dan segera menuju tempat yang aku usulkan. Mas Damar pun menatap ku kesal karena sepertinya mereka akan bertengkar lagi soal baju. Ia pasti marah baju mahalnya rusak di rendam seminggu. Biar saja, ditambah lagi mereka pasti mabuk mencium aroma baju rendaman yang baunya sudah mirip bangkai tikus.
Dan dengar saja. Derap langkah mereka pun kembali terdengar.
"Ganti baju-baju ku!!!"
"Sayang sudah."
"Dia merusak baju-baju yang aku beli di Paris!!"
"Nanti aku ganti."
Napas wanita itu yang memburu bagai banteng berangsur-angsur tenang. Oleh ucapan satu kalimat dari Mas Damar. Mas Damar pun perlahan merangkul tubuh isterinya berjalan menuju kamar mereka.
***
Aku duduk di meja makan sambil memainkan gawaiku. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.30, Namun Mas Damar belum juga keluar dari kamarnya. Tapi aku tidak menyerah begitu saja, ku hangatkan kembali makanan yang sudah dingin hingga aromanya menyeruak ke seluruh ruangan.
Ku sajikan lagi makanan yang masih mengepul asapnya. Kembali aku duduk di kursiku menunggu Mas Damar untuk makan malam bersama.
Lima belas menit berlalu akhirnya Mas Damar keluar kamar. Ia terlihat mengusap perutnya yang mungkin terasa lapar. Aku tersenyum dalam hati. Sepertinya kami bisa makan malam bersama malam ini. Namun senyum lama-lama memudar karena di belakang Mas Damar ada wanita itu yang ikut keluar kamar.
Mas Damar menatapku datar, aku tidak peduli. Ku isi piring mas Damar dengan nasi putih dan menuangkan air minum untuknya.
Ku lirik wanita itu yang menatap ku, dengan tatapan kesal. Biar saja, aku semakin suka dengan peran ku sebagai pelakor dalam rumah tanggaku sendiri.
"Kenapa hanya Damar saja yang kamu ambilkan?! Punyaku mana?!" Kata wanita itu.
"Ambil saja sendiri, kamu bukan suamiku!" Kataku menjawab dengan santai.
Bisa di lihat wajahnya semakin merah menahan amarah.
"Biar aku ambilkan sayang." Ujar Mas Damar.
Lagi-lagi Mas Damar mengalah pada isterinya yang manja itu. Ah, aku kesal jadinya.
"Dasar manja!"
Gumamku sangat pelan yang mungkin hanya Mas Damar saja yang mendengar karena berpapasan dengan dirinya yang ingin mengambilkan peralatan makan untuk wanita manja itu.
"Jangan mentang-mentang kamu di sayang Ibu lalu bersikap seenaknya di rumah ini!" Kata wanita itu menyindirku.
"Loh, siapa yang seenaknya? Aku hanya menjalankan tugas ku sebagai seorang isteri juga aku ingin di perlakukan sebagai layaknya seorang isteri, apa salah?!" Jawabku tidak mau kalah.
"Kamu bukan isteri Mas Damar yang sebenarnya. Kalian menikah tidak di dasari cinta."
Lagi-lagi alasan itu yang membuatnya besar kepala. Memangnya salah menikah tanpa ada rasa cinta di awal? Bagaimana dengan orang yang ta'aruf?
"Tapi tetap saja kami menikah. Toh cinta bisa saja tumbuh dengan sendirinya, ia kan Mas?"
Mas Damar langsung menoleh ketika namanya aku sebut. Ia menatap kesal padaku dengan tatapan seolah-olah aku terus membuatnya bertengkar dengan wanita itu. Namun tatapannya aku balas dengan kedipan sebelah mata yang justru membuatnya sedikit terkejut.
"Ehem! Sudah, kalian jangan bertengkar. Sayang ini piringmu. Ayo, kita makan." Ujar Mas Damar.
Dengan wajah masam isteri Mas Damar mengambil piring dan mulai mengisinya dengan makanan. Tidak ku pedulikan bagaimana dia menatapku tajam. Yang pasti, hatinya sakit melihat aku yang melayani Mas Damar mengambilkan lauk. Meski Mas Damar menolaknya, namun lauk itu tetap di makan. Makan malam pun berubah menjadi makan hati bagi wanita itu.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Soraya
yakali🙄🙄
2025-03-23
0
Ayanih
lanjutkan rani jangan diam aja kalo di tindas lawan terus 😅😅
2024-07-01
0
Dina⏤͟͟͞R
🤣🤣🤣makan hati terus. emang enak laaura. makanya jangn ganjen dan maaterialistis. bisa2 damaar diambil rani nanti
2024-04-26
1