Bab 2. Telepon Dari Ibu Mertua
POV Rani
Satu koper berisi pakaian kotor milik kekasih Mas Damar di berikan padaku untuk di cuci. Sedangkan mereka menikmati makanan yang tadi aku beli.
Aku tahu Mas Damar tidak mencintai ku, tapi tidak kah ada, rasa menghargai dalam dirinya padaku yang merupakan isteri sah nya?
"Triiing....! Triiing...!"
Handphone ku berdering.
Aku mengelap tangan ku yang basah karena meredam baju kekasih Mas Damar dengan daster yang sedang aku kenakan. Segera aku melihat siapa yang menelepon. Ternyata Ibu mertua yang dulunya adalah majikan orang tuaku.
"Assalamualaikum Bu..." Salam ku.
"Waalaikumsalam, Rani. Kemana suami mu Rani? Apa dia pulang ke rumah? Ibu tanya sekretarisnya di kantor katanya tadi Damar buru-buru pergi."
"Mas Damar..." Aku menghentikan ucapan ku sambil melihat ke arah ruang makan meski tidak kelihatan. Bingung apakah aku harus berkata jujur atau bohong pada Ibu mertuaku.
"Damar ada di rumah?!"
Desak Ibu mertua. Aku pun mendesah pelan.
"Iya Bu." Jawab ku ragu-ragu.
"Mana? Ibu mau bicara!"
Bagaimana ini? Aku ragu memberikan handphone ini pada Mas Damar. Apalagi dia sedang bersama kekasihnya, pasti dia marah besar padaku nantinya. Aku sedang menghadapi bagai buah simalakama.
"Ran, Rani?!"
"I.. Iya Bu. Sebentar..."
Bergegas aku berjalan ke arah dimana Mas Damar berada. Dari kejauhan sudah terlihat kemesraan mereka yang saling tersenyum dan berbicara santai satu sama lainnya. Hatiku pilu melihat kemesraan itu.
"Mas, ada telepon dari Ibu." Kataku sambil mengulurkan handphone ku pada Mas Damar.
KLENTANG!!!
Ya Tuhan..., aku lupa!
Kekasih Mas Damar tiba-tiba membanting sendok makannya di piring. Dan mata Mas Damar pun melotot nyaris keluar dari tempatnya.
Aku takut dan langsung menunduk.
"Ma.. Maaf Pak..." Ujar ku lirih dan sangat pelan.
"Ran, Rani?! Suara apa tadi itu Ran?!"
Suara Ibu mertua yang cukup nyaring dapat di dengar oleh kami semua. Apalagi tanpa sengaja aku memencet loudspeaker tanpa sengaja.
Mas Damar segera berdiri dan merampas handphone yang ada di tangan ku. Ia segera berbicara kepada Ibu mertua sambil menjauh dari kami semua.
Tidak ada pembicaraan antara Ibu mertua dan Mas Damar yang bisa terdengar. Dalam kepala tertunduk sesekali aku melirik kekasih Mas Damar yang membuang muka terhadap ku. Ia terlihat sangat marah dan melipat tangan di depan dada.
Tak...
Tak...
Tak...
Deru pantofel yang mengetuk lantai semakin dekat. Aku memberanikan diri melihat ke arah pemilik sepatu. Dan dengan cepat Mas Damar menarik dengan kasar tangan ku hingga aku yang tidak siap nyaris limbung karena terseret.
"Sini kamu!!"
Aku di dorong paksa masuk ke kamar ku. Handphone ku di lempar di atas tempat tidurku. Sakit sekali hati ini di perlakukan kasar oleh suami sendiri.
"!Ngapain kamu ngadu ke Ibu, hah?!" Bentak Mas Damar. "Otak mu kemana?! Kan sudah aku bilang jangan panggil Mas!!" Murka Mas Damar sambil menunjuk-nunjuk kepalaku.
Mataku mengembun, dan aku tidak berani menjawab sedikitpun. Kalau aku menjawab, Mas Damar pasti lebih murka lagi dari ini.
"Haaah!!"
Mas Damar membuang napas kasar. Dan aku semakin tertunduk dalam tangis tanpa suara. Hanya lelehan bening yang mulai jatuh ke pipi. Namun cepat aku tepis agar Mas Damar tidak melihatnya.
"Damaaaar!"
"Iya sayang, aku segera kesana!"
Teriakan wanita itu begitu ampuh sampai-sampai Mas Damar langsung meninggalkan ku dan menemui dirinya. Tubuhku melorot ke lantai. Terduduk lemas dengan pipi yang kembali basah oleh air mata.
Tuhan, apa aku sanggup hidup menjadi bayang-bayang Mas Damar?
Ku remas baju bagian dada bentuk protes ku akan sakit hati yang kurasakan. Aku tak berdaya, menghadapi ini semua seorang diri. Sebagai anak dari seorang supir di keluarga mereka, aku cukup tahu diri tidak menuntut banyak hal. Biar lah sakit ini aku tahan sampai semampunya aku bertahan. Karena tidak ada orang lain yang aku kenal selain mereka, mertuaku dan Mas Damar.
Ibu ku pergi lebih dulu, di susul oleh Ayahku setelah dua hari pernikahanku. Selain itu, aku tidak tahu siapa keluarga Ibuku dan Ayahku. Karena sejak aku kecil, seingat ku kami terus berada di sebuah rumah kecil di belakang rumah besar orang tua Mas Damar. Bapak memang mulai sakit sejak lama. Dan tidak pernah mau memeriksakan sakitnya hingga meregang nyawa.
Aku pun bingung, kenapa aku yang hanya anak supir ini bisa di jodohkan dengan anak majikan orang tuaku. Padahal masih banyak wanita lain yang lebih sederajat dan berpendidikan jauh melebihi diriku. Tapi Ibunya Mas Damar ngotot ingin aku menjadi menantunya. Sedang Papa Mas Damar lebih dulu meninggalkan kami semua sebelum Ibuku dan Ayahku tiada.
"Triiing...! Triiing...!"
Lagi-lagi handphone ku berdering. Segera aku beranjak untuk mengangkatnya sebelum Mas Damar mendengar dan kembali berteriak.
Deg, napas ku rasanya terhenti begitu melihat siapa yang menelpon. Ternyata Ibu mertua yang menelpon lagi. Rasanya susah untuk menelan saliva ini. Apa yang harus aku katakan jika Ibu mertua bertanya sesuatu yang tidak mampu aku berikan jawabannya.
"Ha..halo, Assalamualaikum Bu..."
"Waalaikumsalam, Rani. Ibu akan kesana. Jangan bilang pada Damar!"
Telpon langsung di tutup.
Haaah?! Gawat!! Aduh bagaimana ini?!
Medadak aku berasa kena serangan jantung ketika mendengar Ibu mertua akan datang ke rumah ini. Pasalnya sekarang sedang ada Mas Damar dengan kekasihnya. Aku takut Mas Damar murka karena membiarkan Ibu datang tanpa seijinnya.
"Ranii!!"
Jantungku tersentak. Di saat aku sedang panik-paniknya, suara Mas Damar menggelegar memanggil namaku.
Segera aku mengelap wajahku, lalu setengah berlari mendatangi Mas Damar.
"Ya Pak..."
Jawabku sambil tertunduk.
"Bereskan! Dan siapkan jus buah untuk Laura!"
Aku tidak menjawab, tetap menunduk dalam diamku menunggu mereka beranjak berpindah tempat.
Makanan yang tadi aku beli bersih tak bersisa. Rupanya selera makanan kekasih Mas Damar masih lidah lokal juga.
Dengan perasaan getir aku membersihkan meja makan. Sedangkan mereka duduk berdua menonton televisi sambil duduk berdekatan dengan mesra.
Teriris lagi hati ini. Dengan cepat aku segera melakukan apa yang sudah di perintahkan agar tidak lebih lama melihat kemesraan mereka. Jus buah yang sudah siap pun ku antarkan pada kekasih Mas Damar seperti pembantu melayani tuannya.
Tertunduk dengan hati sakit, ku letakkan gelas jus di hadapan wanita itu. Ia pun segera mencicipi dan...
Byuurr...!
Air jus dalam mulutnya di semburkannya ke wajahku.
"Minuman apa ini?! Kamu mau meracuniku?!" Wanita itu marah sambil berkacak pinggang.
Mas Damar tidak kalah murkanya, ia pun mengambil gelas tadi dan menyiramkannya ke atas kepalaku.
Ahh, dinginnya air jus di kepala membuat sesak dada ini. Sakit hinggap aku ingin sekali kabur dari tempat ini. Lelehan air jus langsung bercampur air mata yang keluar tanpa sanggup aku tahan. Dengan berat hati dan mencoba untuk bersabar dalam luka hati yang begitu perih aku mencoba bangun dan memungut gelas serta sedikit membersihkan air jus yang tumpah jatuh ke lantai dengan serbet yang ada di bahuku.
"Buat lagi!!" Perintah Mas Damar.
Aku pun segera beranjak membawa gelas kotor yang sudah di buang isinya.
Tuhan, bolehkan aku meminta waktu berhenti sebentar agar aku bisa menangis sepuasnya sebelum menghadapi mereka lagi?
Jika tidak karena permintaan Ibu mertua yang ingin aku tetap bertahan dalam mahligai rumah tangga yang pahit ini, aku ingin memilih kabur dari sini. Biarlah aku bekerja sebagai karyawan biasa atau bahkan hanya sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran pun tak apa. Yang penting tidak ada luka hati karena rasa cemburu oleh karena status isteri yang aku sandangi ini.
"DAMAR!!"
Haaah?! Suara itu!! Aku hafal suara itu. Suara itu adalah suara ibu mertua. Gawat!!
Bersambung..
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Mbr Tarigan
bodo
2024-06-19
0
☆ Huj4n 1 ☆
jangan bilang sebenernya bkn anak sopir. wah Kelewtn damar
2024-05-26
1
Hanipah Fitri
mantab, seru nih
2024-04-26
1