Bab 1. Menyambut Calon Madu
POV Rani
Aku menangis kala Mas Damar mangatakan akan membawa kekasihnya ke rumah kami. Kekasih yang sudah ia cintai sejak mereka sama-sama di luar negeri dulu. Walau ia tidak menginginkan ku, tapi setidaknya sedikit saja ia memikirkan perasaan ku yang sudah menjadi istrinya selama 6 bulan terakhir ini. Namun yang ada, mas Damar tidak peduli sedikit pun tentang apa yang aku rasakan.
Bilik di ujung lorong rumah besar ini adalah kamarku yang menjadi saksi bisu kepiluan hatiku.
Pernikahanku yang di landasi atas perjodohan ke dua orang tua membuatku merasakan nestapa dalam mahligai rumah tangga. Nyatanya Mas Damar hanya baik di depan orang tuanya dan begitu menyiksa batinku di belakang mereka.
Aku sadar aku hanya anak supir dalam keluarga mereka. Tapi bukan inginku menjadi isteri Mas Damar saat itu. Aku tidak berani berharap pada sosok lelaki yang sangat aku kagumi waktu kecil. Namun ia berubah drastis setelah pulang dari sekolah luar negerinya. Oleh karena permintaan terakhir Ayahku, serta permohonan dari Ibunya Mas Damar, aku menuruti perjodohan ini.
"Rani dimana kamu?!"
Suara Mas Damar memaksa ku segera menghapus bulir bening yang membasahi pipiku. Dengan cepat aku beranjak dan membuka pintu kamarku.
"Ada apa Mas?" Tanyaku dengan kepala tertunduk.
Bisa gawat kalau dia melihatku menangis. Bukan bujuk kan atau sekedar penghiburan yang aku dapatkan, melainkan hinaan yang pasti akan melukai hati ku lagi.
"Nih, masak yang enak! Laura akan datang siang ini. Dan ingat, jangan panggil aku Mas di depannya! Tapi panggil aku Pak Damar, mengerti kamu?!"
Nyut..., kembali hatiku sakit.
Aku mengangguk mengiyakan perintah mas Damar sembari mengambil uang 200 ribu dari tangannya.
Lagi-lagi aku meneteskan air mata dalam diam ku. Bukan kah jika Mas Damar meminta di panggil Bapak di depan kekasihnya, itu artinya aku hanya di anggap pembantu saja?!
Mas Damar pun langsung berlalu, ketukan pantofelnya pun semakin pelan terdengar.
Ku pandangi uang 200 ribu ditanganku. Uang terbesar selama pernikahan yang di berikan Mas Damar padaku. Karena hari-hari aku biasanya hanya di beri uang 50 ribu untuk makan ku. Karena Mas Damar sendiri tidak pernah makan di rumah.
"Aku harus belanja apa?" Tanyaku bingung pada angin.
Semua kebutuhan pokok di kota ini serba mahal. Aku juga tidak tahu selera makanan wanita itu. Haruskah aku masak selera ku saja?
Aku menghela napas berat. Kalau tidak cocok sudah pasti aku di marahi oleh Mas Damar nantinya.
Aku masuk kembali ke kamarku. Berganti pakaian yang layak untuk keluar rumah. Sehari-hari di rumah ini aku hanya menggunakan daster rumahan saja, karena hanya jenis pakaian itu yang aku punya beberapa.
Pintu rumah aku kunci dengan kunci cadangan yang berikan Mas Damar. Dengan berjalan kaki, aku menuju rumah makan khas padang untuk membeli lauk jadi saja. Ku dengar kekasih Mas Damar itu, lulusan luar negeri yang sama dengan Mas Damar. Apa aku harus menyiapkan makanan ala Barat? Atau makanan lokal saja? Sudah lah, kalau di marah pun mau gimana lagi. Repot harus memilih jenis makanan luar, sebaiknya aku memilih masakan padang saja. Dan makanan Indonesia pun sudah mulai mendunia terutama sate dan rendangnya.
Uang 50 ribu aku belikan rendang daging yang hanya dapat beberapa potong saja. Lalu gulai tunjang yang sejujurnya membuat ku menelan saliva karena begitu menggiurkan. Tidak lupa pula dua potong ayam goreng serta lalap dan juga sambalnya. Hanya tersisa 20 ribu saja uang yang Mas Damar berikan. Dan uang itu ku belikan sate ayam di pinggir jalan. Kurasa ini semua sudah cukup untuk mereka berdua. Aku pun pulang membawa semua makanan itu.
Bisa di bayangkan seorang isteri menyiapkan segalanya untuk menyambut calon madu yang tidak pernah di inginkan. Begitulah sakit hati yang aku rasakan saat menyiapkan semua makanan tadi tersusun rapi di atas meja makan.
Walau ini pernikahan yang di landasi perjodohan. Tapi aku sangat berharap ini adalah pernikahan pertama dan terakhir untukku. Belajar menerima dan mencintai suami yang di tetapkan untukku, meski sehari-hari ia menoreh luka di hatiku.
Mungkin aku wanita bodoh yang telah di sakiti tetapi masih tetap bertahan, itu benar. Karena orang tuaku mengajarkan ku untuk selalu bersabar dan belajar menerima apa yang sudah di gariskan. Orang tua ku dan aku sendiri pun percaya, di setiap kesulitan akan ada kemudahan. Di setiap penderitaan akan ada kebahagiaan di ujung jalan. Dan aku harus menjadi wanita kuat dan sabar, begitu lah pesan orang tuaku sebelum meninggalkan ku sendiri, sehari setelah pernikahan ku dengan Mas Damar.
Sudah mendekati jam makan siang. Makanan-makanan tadi aku tutup agar tidak dimasuki serangga. Dan aku pun membawa mie instan dengan wadah cup, yang ada di dalam lemari persediaan makanan.
Sudah sering aku makan sendiri di dalam kamarku. Bahkan ada mini rice cooker serta dispenser untuk penunjang kelangsungan hidupku. Mas Damar tidak suka melihatku makan di meja makan. Katanya anak supir tidak pantas berada semeja dengan tuannya.
Mie instan cup di tambah nasi dan abon sapi sudah cukup mengenyangi perutku. Bertepatan dengan itu, suara ketukan pantofel di lantai yang sudah sangat aku hafal terdengar kembali. Namun kali ini ada yang berbeda karena suara ketukan itu bersahut-sahutan.
Deg, sepertinya kekasih Mas Damar sudah datang. Hatiku berdebar bukan karena takut melainkan sedih dan bercampur kecewa karena Mas Damar benar-benar akan mempertemukan kami.
"Rani!!"
Dan dengar saja teriakan Mas Damar itu. Sudah pasti ia akan menurunkan perintahnya padaku. Segera aku beranjak agar Mas Damar tidak lebih murka dari ini.
"Ya, mmmma.. Pak!"
Hampir saja aku keceplosan memanggil Mas Damar dengan sebutan Mas. Namun terhenti ketika melihat mata Mas Damar yang melotot menatap ku.
"Nih cuci! Pakai pelembut dan jangan sampai rusak!"
Satu koper kecil Mas Damar sodorkan padaku. Dengan berat hati aku pun menerima koper itu sambil melirik sekilas kekasih Mas Damar yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Mata bulat besar dengan bulu mata tanam yang lebat dan lentik itu menatapku dengan tatapan tajam dan tidak suka. Aku segera menunduk agar mata kami tidak bertemu. Padahal hati ini begitu sakit melihat tangannya tidak lepas dari genggaman tangan Mas Damar.
"Ayo sayang, kamu pasti lapar. Kita makan dulu. Aku sudah menyiapkan makanan yang pasti kamu sukai."
Mataku mengembun dengan kepala tertunduk. Baru kali ini aku mendengar ucapan sayang dari mulut Mas Damar tapi bukan di tujukan padaku.
Padahal aku juga berharap sekali saja, kata-kata manis itu terucap dari bibir Mas Damar untukku. Namun lagi-lagi aku harus menelan pahit kenyataan, bahwa aku adalah isteri yang tidak di inginkan.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Bab 2. Telepon Dari Ibu Mertua
POV Rani
Satu koper berisi pakaian kotor milik kekasih Mas Damar di berikan padaku untuk di cuci. Sedangkan mereka menikmati makanan yang tadi aku beli.
Aku tahu Mas Damar tidak mencintai ku, tapi tidak kah ada, rasa menghargai dalam dirinya padaku yang merupakan isteri sah nya?
"Triiing....! Triiing...!"
Handphone ku berdering.
Aku mengelap tangan ku yang basah karena meredam baju kekasih Mas Damar dengan daster yang sedang aku kenakan. Segera aku melihat siapa yang menelepon. Ternyata Ibu mertua yang dulunya adalah majikan orang tuaku.
"Assalamualaikum Bu..." Salam ku.
"Waalaikumsalam, Rani. Kemana suami mu Rani? Apa dia pulang ke rumah? Ibu tanya sekretarisnya di kantor katanya tadi Damar buru-buru pergi."
"Mas Damar..." Aku menghentikan ucapan ku sambil melihat ke arah ruang makan meski tidak kelihatan. Bingung apakah aku harus berkata jujur atau bohong pada Ibu mertuaku.
"Damar ada di rumah?!"
Desak Ibu mertua. Aku pun mendesah pelan.
"Iya Bu." Jawab ku ragu-ragu.
"Mana? Ibu mau bicara!"
Bagaimana ini? Aku ragu memberikan handphone ini pada Mas Damar. Apalagi dia sedang bersama kekasihnya, pasti dia marah besar padaku nantinya. Aku sedang menghadapi bagai buah simalakama.
"Ran, Rani?!"
"I.. Iya Bu. Sebentar..."
Bergegas aku berjalan ke arah dimana Mas Damar berada. Dari kejauhan sudah terlihat kemesraan mereka yang saling tersenyum dan berbicara santai satu sama lainnya. Hatiku pilu melihat kemesraan itu.
"Mas, ada telepon dari Ibu." Kataku sambil mengulurkan handphone ku pada Mas Damar.
KLENTANG!!!
Ya Tuhan..., aku lupa!
Kekasih Mas Damar tiba-tiba membanting sendok makannya di piring. Dan mata Mas Damar pun melotot nyaris keluar dari tempatnya.
Aku takut dan langsung menunduk.
"Ma.. Maaf Pak..." Ujar ku lirih dan sangat pelan.
"Ran, Rani?! Suara apa tadi itu Ran?!"
Suara Ibu mertua yang cukup nyaring dapat di dengar oleh kami semua. Apalagi tanpa sengaja aku memencet loudspeaker tanpa sengaja.
Mas Damar segera berdiri dan merampas handphone yang ada di tangan ku. Ia segera berbicara kepada Ibu mertua sambil menjauh dari kami semua.
Tidak ada pembicaraan antara Ibu mertua dan Mas Damar yang bisa terdengar. Dalam kepala tertunduk sesekali aku melirik kekasih Mas Damar yang membuang muka terhadap ku. Ia terlihat sangat marah dan melipat tangan di depan dada.
Tak...
Tak...
Tak...
Deru pantofel yang mengetuk lantai semakin dekat. Aku memberanikan diri melihat ke arah pemilik sepatu. Dan dengan cepat Mas Damar menarik dengan kasar tangan ku hingga aku yang tidak siap nyaris limbung karena terseret.
"Sini kamu!!"
Aku di dorong paksa masuk ke kamar ku. Handphone ku di lempar di atas tempat tidurku. Sakit sekali hati ini di perlakukan kasar oleh suami sendiri.
"!Ngapain kamu ngadu ke Ibu, hah?!" Bentak Mas Damar. "Otak mu kemana?! Kan sudah aku bilang jangan panggil Mas!!" Murka Mas Damar sambil menunjuk-nunjuk kepalaku.
Mataku mengembun, dan aku tidak berani menjawab sedikitpun. Kalau aku menjawab, Mas Damar pasti lebih murka lagi dari ini.
"Haaah!!"
Mas Damar membuang napas kasar. Dan aku semakin tertunduk dalam tangis tanpa suara. Hanya lelehan bening yang mulai jatuh ke pipi. Namun cepat aku tepis agar Mas Damar tidak melihatnya.
"Damaaaar!"
"Iya sayang, aku segera kesana!"
Teriakan wanita itu begitu ampuh sampai-sampai Mas Damar langsung meninggalkan ku dan menemui dirinya. Tubuhku melorot ke lantai. Terduduk lemas dengan pipi yang kembali basah oleh air mata.
Tuhan, apa aku sanggup hidup menjadi bayang-bayang Mas Damar?
Ku remas baju bagian dada bentuk protes ku akan sakit hati yang kurasakan. Aku tak berdaya, menghadapi ini semua seorang diri. Sebagai anak dari seorang supir di keluarga mereka, aku cukup tahu diri tidak menuntut banyak hal. Biar lah sakit ini aku tahan sampai semampunya aku bertahan. Karena tidak ada orang lain yang aku kenal selain mereka, mertuaku dan Mas Damar.
Ibu ku pergi lebih dulu, di susul oleh Ayahku setelah dua hari pernikahanku. Selain itu, aku tidak tahu siapa keluarga Ibuku dan Ayahku. Karena sejak aku kecil, seingat ku kami terus berada di sebuah rumah kecil di belakang rumah besar orang tua Mas Damar. Bapak memang mulai sakit sejak lama. Dan tidak pernah mau memeriksakan sakitnya hingga meregang nyawa.
Aku pun bingung, kenapa aku yang hanya anak supir ini bisa di jodohkan dengan anak majikan orang tuaku. Padahal masih banyak wanita lain yang lebih sederajat dan berpendidikan jauh melebihi diriku. Tapi Ibunya Mas Damar ngotot ingin aku menjadi menantunya. Sedang Papa Mas Damar lebih dulu meninggalkan kami semua sebelum Ibuku dan Ayahku tiada.
"Triiing...! Triiing...!"
Lagi-lagi handphone ku berdering. Segera aku beranjak untuk mengangkatnya sebelum Mas Damar mendengar dan kembali berteriak.
Deg, napas ku rasanya terhenti begitu melihat siapa yang menelpon. Ternyata Ibu mertua yang menelpon lagi. Rasanya susah untuk menelan saliva ini. Apa yang harus aku katakan jika Ibu mertua bertanya sesuatu yang tidak mampu aku berikan jawabannya.
"Ha..halo, Assalamualaikum Bu..."
"Waalaikumsalam, Rani. Ibu akan kesana. Jangan bilang pada Damar!"
Telpon langsung di tutup.
Haaah?! Gawat!! Aduh bagaimana ini?!
Medadak aku berasa kena serangan jantung ketika mendengar Ibu mertua akan datang ke rumah ini. Pasalnya sekarang sedang ada Mas Damar dengan kekasihnya. Aku takut Mas Damar murka karena membiarkan Ibu datang tanpa seijinnya.
"Ranii!!"
Jantungku tersentak. Di saat aku sedang panik-paniknya, suara Mas Damar menggelegar memanggil namaku.
Segera aku mengelap wajahku, lalu setengah berlari mendatangi Mas Damar.
"Ya Pak..."
Jawabku sambil tertunduk.
"Bereskan! Dan siapkan jus buah untuk Laura!"
Aku tidak menjawab, tetap menunduk dalam diamku menunggu mereka beranjak berpindah tempat.
Makanan yang tadi aku beli bersih tak bersisa. Rupanya selera makanan kekasih Mas Damar masih lidah lokal juga.
Dengan perasaan getir aku membersihkan meja makan. Sedangkan mereka duduk berdua menonton televisi sambil duduk berdekatan dengan mesra.
Teriris lagi hati ini. Dengan cepat aku segera melakukan apa yang sudah di perintahkan agar tidak lebih lama melihat kemesraan mereka. Jus buah yang sudah siap pun ku antarkan pada kekasih Mas Damar seperti pembantu melayani tuannya.
Tertunduk dengan hati sakit, ku letakkan gelas jus di hadapan wanita itu. Ia pun segera mencicipi dan...
Byuurr...!
Air jus dalam mulutnya di semburkannya ke wajahku.
"Minuman apa ini?! Kamu mau meracuniku?!" Wanita itu marah sambil berkacak pinggang.
Mas Damar tidak kalah murkanya, ia pun mengambil gelas tadi dan menyiramkannya ke atas kepalaku.
Ahh, dinginnya air jus di kepala membuat sesak dada ini. Sakit hinggap aku ingin sekali kabur dari tempat ini. Lelehan air jus langsung bercampur air mata yang keluar tanpa sanggup aku tahan. Dengan berat hati dan mencoba untuk bersabar dalam luka hati yang begitu perih aku mencoba bangun dan memungut gelas serta sedikit membersihkan air jus yang tumpah jatuh ke lantai dengan serbet yang ada di bahuku.
"Buat lagi!!" Perintah Mas Damar.
Aku pun segera beranjak membawa gelas kotor yang sudah di buang isinya.
Tuhan, bolehkan aku meminta waktu berhenti sebentar agar aku bisa menangis sepuasnya sebelum menghadapi mereka lagi?
Jika tidak karena permintaan Ibu mertua yang ingin aku tetap bertahan dalam mahligai rumah tangga yang pahit ini, aku ingin memilih kabur dari sini. Biarlah aku bekerja sebagai karyawan biasa atau bahkan hanya sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran pun tak apa. Yang penting tidak ada luka hati karena rasa cemburu oleh karena status isteri yang aku sandangi ini.
"DAMAR!!"
Haaah?! Suara itu!! Aku hafal suara itu. Suara itu adalah suara ibu mertua. Gawat!!
Bersambung..
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Bab 3. Permohonan Yang Menyesakkan Dada
POV Rani
Gawat!! Ternyata Ibu mertua sudah sampai di rumah ini. Duh, aku harus gimana?!
Panik dan cemas melanda diri ini. Bukan takut kepada ibu mertua, tapi kemurkaan Mas Damar padaku yang tidak bisa mencegah kedatangan Ibu mertua.
Aku mengintip dari balik dinding. Jus baru yang di minta oleh Mas Damar aku tunda dulu.
"Bagus ya kamu, Damar!!"
Ibu mertua berkacak pinggang melihat Mas Damar dan kekasihnya duduk bermesraan berdua.
Melihat kedatangan Ibu mertua yang tiba-tiba, Mas Damar dan kekasihnya itu sontak berjauhan dan berpura-pura layaknya maling yang ketangkap basah.
"Bu, ini Laura yang pernah aku ceritakan pada Ibu." Ujar Mas Damar memperkenalkan kekasihnya.
Ibu mertua menatap tajam keduanya.
"Dimana Rani?! Raniiii...!!"
Deg, kembali jantungku berdebar-debar mendengar Ibu mertua meneriakkan nama ku. Dengan refleks dan tergesa-gesa, segera aku menghampiri Ibu mertua yang semakin mengabaikan kekasih Mas Damar.
"Ya, Bu..." Jawabku.
Ibu mertua terlihat terkejut melihat ku.
Oh Tuhan, aku lupa...
Penampilan ku yang habis di siram jus, pasti membuat Ibu mertua terkejut. Dan yang pasti lagi, aku semakin membuat Mas Damar murka.
"Kenapa penampilan mu seperti itu Rani?!"
Nah kan, benar kataku.
Aku langsung tertunduk dan curi-curi melirik Mas Damar yang menatap ku tajam. Juga kekasihnya yang melirik ku dengan tatapan sinis.
"Siapa yang melakukannya Rani?!" Tanya Ibu mertua sudah lagi.
Bagaimana aku harus menjawab siapa yang sudah berbuat tega padaku? Bila ku katakan sebenarnya maka Mas Damar sudah pasti marah padaku. Namun jika aku berbohong, bagaimana caranya aku harus berbohong?
"Apa kalian yang menyiksa menantuku?! Dan kamu? Apa tidak ada laki-laki lain? Apa harus sama pria yang sudah beristri?!"
"Bu....!" Seru Mas Damar.
Kekasih Mas Damar menatap benci padaku. Wajahnya memerah entah itu manahan amarah atau kah menahan malu aku tidak tahu. Yang jelas tangannya terkepal meremas rok span mini yang ia gunakan.
"Ayo Rani, ganti bajumu! Ikut Ibu belanja ke Mall. Kamu itu isteri, bukan pembantu disini!" Sindir Ibu mertua sambil melirik sinis kekasih Mas Damar. "Dan kamu Damar...,kembali ke kantor ,atau Ibu tarik kembali hak mu!" Ancam Ibu mertua. "Ayo Ran!"
Aku di gandeng Ibu mertua menuju kamar Utama. Ku lirik Mas Damar yang mengusap wajahnya dengan kasar. Juga kekasihnya yang melipat tangan di depan dada dengan tatapan jengah dan seperti tidak betah berada di rumah ini.
"Loh, kok....?!"
Ya Tuhan, aku lupa lagi harus mengarahkan Ibu mertua ke kamar di ujung lorong. Kamar utama di gunakan Mas Damar sendiri. Tetapi karena kekasihnya telah datang, sudah pasti kamar itu juga akan ia tempati. Tidak heran jika ibu mertua melihat pemandangan tidak biasa dalam kamar utama ini. Sepatu high heel, koper dan baju-baju seksi tergeletak di sana sini. Bahkan tidak ada figura besar yang menampilkan foto pernikahan ku dengan Mas Damar.
Sebelumnya, setiap Ibu ingin ke rumah, Mas Damar selalu berpura-pura menjadi suami yang baik untukku. Foto pernikahan terpampang jelas di kamar utama tiap kali Ibu datang, juga kehangatan Mas Damar yang tidak nyata ia berikan padaku jika ibu mertua berbicara pada kami.
Semua itu palsu. Itu hanya upaya Mas Damar untuk mengambil hati ibunya agar mau menerima wanita yang disebut Laura, sebagai kekasih dan calon isterinya.
Mas Damar sedang dalam uji coba. Ibu mertua ingin melihat perlakukan Mas Damar padaku, apakah anaknya nanti bisa adil ataukah akan berat sebelah seperti ini. Dan hari ini semua perkiraan Ibu mertua di pertontonkan langsung oleh Mas Damar dan kekasihnya.
"Bu, kamar ku bukan disini..." Ujar ku pelan.
Sudah kepalang tanggung ketahuan, ya sudah aku jujur saja. Toh mau membela diri bagaimana pun nantinya, Mas Damar sudah pasti marah besar padaku. Kembali kata-kata terakhir Ayah menjadi kekuatan ku, kalau aku harus menjadi wanita kuat dan penyabar.
"Lalu kamarmu dimana Rani?"
"Tapi, Ibu jangan marah ya?"
"Kenapa, kamu takut di marahi Damar? Iya?!"
Ibu mertua sangat peka. Dan aku pun mengangguk pelan.
"Cepat tunjukkan dimana kamarmu? Benar-benar si Damar ini! Isteri sendiri di jadikan pembantu!" Kata Ibu mertua, marah.
"Lewat sini Bu..." Ujar ku.
"Bu, mau kemana?" Tanya Damar.
Langkah kami terhenti sesaat dan melihat Mas Damar menyusul kami.
Ibu mertua hanya menoleh, namun tidak menjawab pertanyaan Mas Damar.
"Ayo Ran!" Ujar Ibu mertua.
Kami pun melangkah menuju kamarku.
"Bu! Bukan disana kamar Rani. Tapi disini, kami tidur bersama." Ujar Mas Damar berbohong.
"Ibu tidak percaya lagi kata-kata mu!"
"Bu, Laura hanya beristirahat sebentar. Dia malam nanti mulai menginap di Hotel." Ujar Mas Damar menjelaskan.
"Kalau pun hanya sedetik, seharusnya bukan dikamar utama dia beristirahat! Kan ada kamar tamu! Wanita tak punya etika seperti itu mau kamu jadikan isteri? Sampai kapan pun, Rani lah menantu Ibu satu-satunya!" Kata Ibu mertua.
Ibu mertua menarik lenganku menuju kamar yang hendak aku tunjukan. Aku menoleh pada Mas Damar. Mata tajam Mas Damar memerah, dan tangannya terkepal. Ia segera masuk ke dalam kamar utama, tidak tahu apa yang ia kerjakan.
"Ini Bu..., sebentar, Saya membersihkan diri dulu."
Pamit ku kepada Ibu mertua. Lalu mengambil pakaian bersih serta handuk, kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar.
Biarlah Ibu mertua melihat-lihat sepuasnya kamar yang Mas Damar berikan padaku. Apapun kemarahannya nanti, mudah-mudahan aku sanggup bersabar.
Setelah bersih dan terasa segar, aku berdandan sedikit karena tadi ibu mengatakan minta di temani berbelanja.
"Bu...! Tolong mengerti perasaanku Bu! Aku sudah menuruti keinginan Ibu. Aku juga ingin bahagia dengan pilihan ku Bu!"
Samar-samar aku mendengar suara Mas Damar yang sepertinya berada di dalam kamarku dan sedang berbicara dengan Ibu mertua. Aku pun menghentikan kegiatan ku dan menguping pembicaraan mereka.
"Maafkan kalau tadi saya kurang sopan Bu, tapi seperti kata Damar. Ijin kan kami untuk bahagia. Saya dan Damar sudah lama saling mencinta sejak kami masih kuliah di luar negeri. Namun Saya harus menerima rasa sakit hati ketika mendengar pacar Saya menikahi wanita yang sama sekali tidak ia cintai."
Deg, bahkan kekasih Mas Damar pun ada di kamarku. Tapi kenapa pengakuannya membuat hatiku begitu sakit? Rasanya aku yang salah dalam hal ini. Padahal aku tidak sepenuhnya menginginkan pernikahan ini. Dan hanya ingin mencoba menerima saja, takdir yang sudah terjadi.
"Bu, aku mohon..."
Pilu hati ini mendengar permohonan Mas Damar kepada ibu mertua. Permohonan ingin menikah lagi, yang sudah pasti tidak semua wanita mau di madu.
"Bukan persetujuan Ibu yang harus kamu minta. Tapi persetujuan isterimu. Dan ingat Damar, apabila kamu sampai menyakiti Rani, sama saja kamu telah menyakiti Ibumu sendiri!"
Aku tersandar pada dinding kamar mandi mendengar ucapan Ibu mertua yang menyerahkan segala keputusan kepada ku. Keputusan berat yang harus aku ambil dengan segala resiko yang menunggu.
Tuhan, aku harus bagaimana? Apakah aku pantas untuk menolak? Kalau pun pantas, apa aku bisa? Aku harus bagaimana?
Kecemasan dan kekhawatiran melanda hatiku. Jika aku ijinkan, maka semakin berat pastikan rasa sakit hati ini melihat mereka bersama. Tapi bila aku menolak, entah kemarahan seperti apa kelak Mas Damar tunjukkan padaku.
Bersambung...
Minta likenya ya, karena novel ini sedang ikut lomba. Jadi minta dukungannya ya, terima kasih 🙏😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!