Suami Tak Tau Diri
"Sudah hampir sebulan kamu nggak pulang. Apa kamu sudah lupa dengan tugas dan kewajibanmu sebagai seorang suami dan Ayah, Fahmi Adrian Putra?" ucap Renata dengan penuh penekanan di akhir kalimatnya. Rasa kesalnya sudah semakin membuncah.
Bagaimana tidak kesal, laki-laki yang telah menikahinya satu setengah tahun silam tak kunjung juga merubah perangai buruknya. Padahal Renata selalu berharap jika Fahmi bisa berubah apalagi setelah anak mereka lahir, namun faktanya justru semakin menjadi jadi saja perangai buruknya itu.
Dulu sebelum menikah, Fahmi adalah sosok yang rajin bekerja serta berperilaku sopan. Namun, sehari setelah menikah Fahmi langsung menunjukkan bagaimana perangai aslinya dia di depan Renata. Bak membeli kucing dalam karung, Renata merasa di permainkan dan di tipu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, mau menolak tapi nyatanya dia sudah sah menjadi istri seorang Fahmi. Terpaksa Renata mencoba menerima takdir yang sudah Tuhan gariskan untuknya.
"Sudahlah, Ren! Kalau kamu menghubungiku hanya untuk berceloteh nggak penting seperti ini lagi, lebih baik aku blokir sekalian saja nomormu ini! Bosen aku tiap hari kamu telpon tapi ujung-ujungnya hanya ngomel nggak jelas!
Lagi pula meskipun aku nggak pulang, kamu nggak bakal kelaparan, kehujanan, serta kepanasan kan? Ada orang tuaku yang masih mau menampung kalian berdua di sana. Jadi diamlah seperti biasanya! Kalau nggak,..."
"APA?" sela Renata, dia sudah tidak bisa lagi menahan segala rasa yang terasa sangat menghimpit di dalam dadanya.
"Kalau aku nggak mau diam lagi kamu mau apa? Sudah cukup sabar dan diamku selama ini buat menghadapi kamu! Kamu nggak mau kerja lagi di tempat itu, dengan alasan gaji terlalu kecil, aku masih bisa sabar. Meskipun pada akhirnya harus aku juga yang menopang semua kebutuhan rumah tangga kita termasuk uang jajanmu!
Kamu sering nongkrong sampai lupa waktu, aku juga masih bisa sabar. Karena alasanmu selalu bilangnya sambil cari info kerja! Tapi nyatanya sampai sekarang pun kamu masih menganggur." ungkap Renata dengan dada yang semakin sesak. Terlintas semua hal bodoh yang sudah ia lakukan selama ini ternyata hanya sia-sia saja.
"Halah, baru aja nanggung pengeluaran yang nggak seberapa aja udah sombong."
"Nggak seberapa kamu bilang? Hebat ya, nggak seberapa tapi nyatanya dari gajiku lah kamu masih bisa foya-foya sampai sekarang! Bahkan dari uang tabunganku lah orang tuamu bisa merenovasi rumah ini."
"Kamu nggak ikhlas? Mau kamu mati membawa dosa karna sudah perhitungan sama suami dan mertua?" ucap Fahmi terdengar sinis.
"Jangan ingetin aku soal dosa. Toh kamu sendiri sebagai imam juga nggak pernah ngasih contoh yang baik buat aku! Justru kamulah yang membawaku ke kubang dosa ini!"
Telak! Fahmi tak mampu lagi membalas omongan dari Renata. Fahmi sebenarnya tau yang ia lakukan selama menikah dengan Renata itu salah. Tapi kenikmatan duniawi sudah membuatnya semakin lupa diri. Apalagi dulu Fahmi menikahi Renata itu hanya untuk memenangkan sebuah taruhan yang di tawarkan oleh temannya. Dengan menikahi Renata, Fahmi mendapat banyak keuntungan. Selain mendapat uang dari hadiah taruhan, Fahmi juga bisa memakan semua gaji Renata.
"Jadi sekarang aku minta kamu pulang! Aku kasih kamu waktu sampai nanti malam. Karena Alif sudah 2 minggu ini sakit. Kalau sampai kamu nggak pulang juga, jangan salahkan aku kalau kamu nggak bakal bisa bertemu lagi sama aku dan Alif!" ancam Renata akhirnya. Meskipun Renata sendiri belum yakin dengan ucapannya yang terakhir. Tapi Renata berharap Fahmi mau mendengarkannya.
Bukan karena Renata tak bisa hidup tanpa suami. Tapi fakta di lapangan yang membuatnya takut dengan menyandang status sebagai seorang janda muda.
Maklum orang-orang di kampungnya selalu menganggap kalau seseorang menjadi janda itu berarti kesalahan berada pada istri yang tak becus mengurus suami. Mereka tak akan mau percaya jika ada yang mengatakan kalau pihak suamilah yang salah.
"Hahahaaha!" tiba-tiba Fahmi tertawa besar. "Kamu mau pergi kemana, Ren? Memangnya kamu siap saat kamu nanti pergi dari rumah Ibu, lalu di jalan di caci maki sama warga yang berpapasan sama kamu?
Lagian aku yakin kalau kakakmu pun akan menolak jika kamu mau pulang ke rumah almarhum orang tuamu! Secara kakakmu kan sudah nggak peduli lagi sama kamu! Dan dia benar-benar nggak mau kamu tinggal lagi di sana semenjak kamu memutuskan menikah sama aku. Hahaha!"
Tanpa menjawab ocehan Fahmi, Renata memutuskan untuk mengakhiri panggilan itu. Sebuah dilema besar kini merasuki pikirannya. Dengan sekuat tenaga ia meremas ponselnya. Kedua netranya sudah terasa panas. Tapi air mata sepertinya sudah mulai bosan untuk mengalir.
Renata memindai setiap sudut kamar yang sudah satu setengah tahun ini ia tempati. Kamar yang hanya berukuran 2X2,5M itu sudah menjadi saksi bisu. Dimana setiap malam Renata selalu merasa kesepian. Fahmi hanya akan ada di kamar itu saat ia meminta haknya saja. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, maka Fahmi akan segera pergi lagi entah kemana.
"Kurang apa aku sama kamu, Fahmi? Dulu hidupku sangat di manja oleh kedua almarhum orang tuaku. Bahkan kamar tidurku ukurannya hampir 3 kali lipat kamar ini. Aku rela meninggalkan semua kemewahan itu demi bisa hidup bersama denganmu sesuai janjimu. Tapi ternyata semua janjimu itu hanya khayalan belaka. Kedua orang tuamu pun selalu membela setiap perilakumu dan selalu mengatakan jika akulah penyebab kamu berbuat seperti itu."
Menepis kenangan buruk, Renata beralih menatap wajah mungil bayinya yang baru nenginjak usia 6 bulan itu. Dengan lembut ia membelai pipi gembilnya. "Maafkan Mama ya, Nak. Kalau sampai Ayahmu nggak pulang juga malam ini, terpaksa Mama akan membawamu pergi jauh. Kita akan mulai hidup baru tanpa Ayahmu. Tolong doakan Mama ya, Nak. Doakan semoga Mama bisa lebih kuat dan tegar saat orang-orang nanti menyalahkan Mama. Karena Mama tak akan melakukan pembelaan diri di depan mereka saat kita pergi. Biarlah keadaan yang akan bercerita pada mereka nantinya. Karena Mama yakin, sebaik apapun bangkai tersimpan, pasti akan ketahuan juga akhirnya."
Perlahan ia mulai merbahkan diri di samping Alif. Ia menatapa langit-langit kamar. Memikirkan akan kemana ia jika harus pergi nanti? Karena jika ia pulang kerumah almarhum orang tuanya, maka Fahmi akan mudah menemukannya. Dan pasti nanti ia akan membuat drama seolah-olah Renata adalah istri yang sudah membangkang terhadap suami.
"Ah, iya! Sebaiknya aku minta tolong di jemput sama Mas Deon saja. Apalagi Mas Deon kan tinggalnya di luar pulau. Pasti Fahmi tak akan bisa menemukan aku dan Alif."
Gegas Renata meraih kembali ponselnya, dengan lincah ia mencari nomor ponsel kakak keduanya itu.
Tut.... tut... tut....
Cukup lama Renata menunggu panggilannya di jawab. Bahkan ia harus mengulang hingga beberapa kali. Tapi tetap saja panggilannya terabaikan.
"Apa Mas Deon lagi sibuk ya? Padahal biasanya ia cepet nerima paggilan dariku." gumam Renata kembali sedih.
Belum sempat ia meletakkan ponselnya, tiba-tiba saja Alif kembali muntah-muntah.
"Astaga! Kenapa kamu masih muntah-muntah begini, Nak? Padahal obat yang dari rumah sakit kemarin baru saja habis. Apa perlu kita ke dokter lagi?" Renata meraih tubuh mungil Alif, agar bayi itu bisa duduk.
Renata melihat jam di ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang. Berarti dia hanya punya waktu 3 jam saja untuk membawa Alif ke rumah sakit sebelum ia berangkat kerja.
Ya, Renata bekerja sebgai SPG di salah satu mall ternama di kota S. Saat ia bekerja, ia akan menitipkan Alif pada daycare. Karena kedua mertuanya pun juga masih aktif bekerja. Mereka baru pulang kerja sekitar pukul 19.00 malam.
"Tapi apa cukup dengan waktu 3 jam saja? Bagaimana kalau nanti di rumah sakit antri? Aku juga nggak tega meninggalkan Alif dalam keadaan begini. Apa aku ajukan resign dari sekarang aja ya? Toh sudah pasti aku bakal pergi besok pagi meninggalkan kota ini." monolog Renata sembari membersihkan tubuh Alif dan mengganti pakaiannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Ds Phone
pergi aja biar lelaki tu merana
2024-10-30
0
Azumi Rahmat
Masih nyimak alurnya
2024-11-15
0
Anonymous
keren
2024-10-26
0