Bab 14

Keesokan paginya, usai Renata memesan makan pagi, ada yang mengetuk pintu kamarnya.

Tok... Tok...

"Loh, kok cepet banget makanannya di anter? Padahal baru aja aku nutup telponnya." gumam Renata seraya berjalan menuju pintu.

Tok... Tok...

"Ya, tunggu sebentar."

"Kejutan!" pekik Via dan Zafir bersamaan saat pintu sudah terbuka.

Untuk sekian detik Renata hanya terdiam. Dia benar-benar di buat terkejut. Sampai-sampai Dita harus menepuk bahunya agar Renata kembali tersadar dari bengongnya.

"Kok, Mbak Dita, Via, sama Zafir juga ikut?" tanya Renata sambil menatap mereka satu persatu.

Bukannya menjawab, Dita justru berkacak pinggang.

"Astaga, bisa nggak sih tanyanya nanti aja? Minimal persilahkan kita masuk dulu lah! Capek tau abis perjalan jauh." protes Dita.

"Ah, iya Mbak. Ayo masuk dulu." Renata beringsut dari depan pintu guna memberikan jalan pada kakak dan keponakannya untuk masuk ke dalam.

"Ma, Via lapar.... Via mau makan," rengek Via cukup kencang hingga membuat Alif terbangun dan menangis.

"Sssts... Via kalau ngomong pelan-pelan ya. Kasihan ini adeknya jadi bangun." tegurku pelan.

"Hadeh! Kalau mau sepi mah tinggal di hutan aja. Lagian namanya juga anak kecil. Maklumin aja kalau ngomong suka heboh."

Renata hanya geleng kepala saja. Renata tak ingin pagi-pagi sudah adu mulut. Apalagi dengan kakak ipar sendiri. Ditambah, Deon sebagai suami Dita juga tak menegur istri dan anaknya.

"Ya sudah tunggu dulu, biar aku pesenin makanannya."

Terpaksa Renata mengalah.

"Sambil nunggu makanannya dateng, Via sama Zafir mandi dulu ya. Biar enak nanti kalau makan." tawar Renata.

Namun kedua bocah itu sama-sama menolak.

"Sudah nanti aja mandinya." sahut Dita sembari membuatkan Deon kopi yang sudah di siapkan pihak hotel sebelumnya.

"Kasihan loh Mbak kalau nggak di mandiin. Pasti nggak nyaman."

"Aduh, mereka tuh tadi sudah aku mandiin di pom bensin!"

Kening Renata berkerut. "Pom bensin? Kok bisa? Kalian nggak naik pesawat memangnya?"

"Ya nggak lah. Mana cukup duitnya buat naik pesawat kalau aku sama anak-anak ikut?" ketus Dita sembari memutar bola matanya.

"Astagfirullah," kali ini Renata menatap Deon. "Kok bisa sih, Mas? Aku pikir, dengan Mbak Dita dan anak-anak ikut itu, tetep naik pesawat loh, Mas."

Deon terlihat menghela nafas panjang.

"Sudahlah! Mau naik apapun kita ke sini, yang penting kan kita jadi buat jemput kamu."

"Memangnya kalian naik apa sih? Naik bus?" tebak Renata.

"Naik mobil! Kita sengaja sewa mobil biar kamu sama Alif nanti nyaman waktu perjalanan kesana. Kalau naik mobil kita bisa berhenti sewaktu-waktu. Apalagi kalau tiba-tiba perut lapar."

"Ya sudahlah. Sudah terjadi juga kan?"

Dita tersenyum miring saat Renata akhirnya pasrah.

"Kita berangkat jam berapa hari ini, Mas?"

"Berangkat?" sela Dita terkejut.

Renata menganggukan kepalanya. "Iya, berangkat ke Kota D jam berapa?" kembali Renata mengulang kalimatnya.

"Astaga, Renata! Tega sekali kamu sama Mas mu. Capek loh kita perjalanan dari kota D ke Kota S ini! Perlu waktu hampir seharian. Masak iya, kita baru aja sampai, sudah harus balik lagi ke kota D? Minimal kasih lah kita istirahat sehari atau dua hari gitu! Mas mu nyetir itu nggak ada yang gantiin. Mau kamu kalau ada apa-apa di jalan gara-gara Mas mu kecapean tapi kamu paksa buat jalan?" cerocos Dita tanpa jeda.

Bahkan Renata yang mendengarnya aja sampai pusing.

"Ya Allah, Mbak. Kalau ngomong jangan sembarangan. Aku nggak bermaksud begitu. Ya sudahlah, ayok aku sewain lagi aja kamar buat sehari semalam."

"Nah, gitu dong!"

"Makanya kan dari awal dah aku bilang, cukup Mas Deon aja yang jemput naik pesawat biar nggak capek! Ini malah sekeluarga ikut semua. Huh, bukannya semakin berkurang, tapi justru bertambah sekarang bebanku!" gumam Renata dalam hati.

Ingin berkata langsung, tapi ia tak enak hati dengan Deon. Bagaimanapun juga, saat ini hanya Deon satu-satunya saudara yang masih mau menjalin komunikasi dengan Renata. Yang lainnya sudah tak mau lagi, semenjak Renata menikah dengan Fahmi.

"Itu sudah aku pesenin kamar satu lagi. Kebetulan ada di lantai ini juga. Nanti di anter sama staffnya ke sana."

"Oh, iya Ren. Ada lagi nih yang mau aku sampaikan." ucap Dita, lalu duduk di samping Renata.

"Apa lagi, Mbak?"

Firasat Renata sudah mulai tak enak.

"Aku pinjam uang buat bayar kos sama modal buat bikin usaha ya? Kamu pasti masih ada uang sisa warisan kemarin kan?"

"Memangnya bagian Mas Deon udah abis?" tanya Renata balik. Pasalnya uanh warisan yang di terima oleh Deon kan jumlahnya dua kali lipat punya Renata.

"Kalau masih ada, kita juga nggak bakal pinjam sama kamu!"

Renata kembali menatap Deon. Berharap Deon mau memberi sedikit penjelasan. Alih-alih menjawab, Deon justru semakin membuat Renata tak bisa berkata-kata.

"Kamu modalin usaha kita itu juga nggak bakal rugi kok, Ren. Toh kamu juga nanti bakal dapat bagi hasil 30% tiap harinya.

Apalagi sekarang kamu kan juga harus besarin Alif seorang diri. Nyari kerja di kota D itu agak susah. Jadi kalau punya modal ya bagusnya buka usaha sendiri aja. Sekali dayung 2 pulau terlampaui lah peribahasanya. Hasil dapet, ngurus anak juga dapet."

"Kasih aku waktu buat berpikir ya, Mas. Aku juga sebenarnya ingin punya usaha sendiri, tapi aku bingung mau usaha apa."

"Duh, kelamaan kamu ini! Sudah di bilang kita aja yang buka usaha, kamu cukup join modalnya doang! Gampang kan? Kamu nggak perlu capek-capek tiap harinya." sungut Dita yang lagi-lagi keinginannya harus selalu terpenuhi.

"Memangnya mau buka usaha apa sih? Beneran tiap harinya aku bakal dapet 30%?"

"Kamu nggak percaya sama Mas mu sendiri, Ren?" Dita memasang wajah sesedih mungkin.

"Padahal kita mah bisa aja kerja di tempat lain seperti sebelumnya. Tapi karena kita berdua terlalu mikirin kamu dan Alif, makanya kita rela buat buka usaha warung makan. Cuma saat ini modal yang kita punya masih di pinjam sama orangtuaku." lanjutnya kemudian.

"Bikin usaha warung makan kan butuh modal yang lumayan plus tenaga yang banyak, Mbak?"

"Nanti kamu kan juga bisa ikut bantuin?"

"Okelah, kamu pikirkan baik-baik." sela Deon sebelum keduanya kembali berdebat.

Kemudian Deon mengajak Dita, serta kedua anaknya menuju kamar yang sudah Renata sewakan.

Renata hanya mengantar sampai pintu saja, karena hati dan pikirannya masih bingung. Ingin membatalkan ikut Deon ke kota D, tapi dia sudah terlanjur keluar uang yang lumayan banyak.

"Ya Allah, begini banget nasibku." ratapnya sembari berbaring di samping Alif.

Terpopuler

Comments

Wijiyanti Solo

Wijiyanti Solo

y menurut qu dbatal aja soal uang iklaskan aj n buka usah sendri n pergi kota lain jgn ngadalin saudara atau sapa gtu

2024-11-26

0

Azumi Rahmat

Azumi Rahmat

Ini mah sudah jatuh ketimpa tangga pula.. nasib nasib

2024-11-15

0

Adelia Rahma

Adelia Rahma

duh ren jgn mau deh di manfaatkan terus

2024-12-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!