"Sudah hampir sebulan kamu nggak pulang. Apa kamu sudah lupa dengan tugas dan kewajibanmu sebagai seorang suami dan Ayah, Fahmi Adrian Putra?" ucap Renata dengan penuh penekanan di akhir kalimatnya. Rasa kesalnya sudah semakin membuncah.
Bagaimana tidak kesal, laki-laki yang telah menikahinya satu setengah tahun silam tak kunjung juga merubah perangai buruknya. Padahal Renata selalu berharap jika Fahmi bisa berubah apalagi setelah anak mereka lahir, namun faktanya justru semakin menjadi jadi saja perangai buruknya itu.
Dulu sebelum menikah, Fahmi adalah sosok yang rajin bekerja serta berperilaku sopan. Namun, sehari setelah menikah Fahmi langsung menunjukkan bagaimana perangai aslinya dia di depan Renata. Bak membeli kucing dalam karung, Renata merasa di permainkan dan di tipu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, mau menolak tapi nyatanya dia sudah sah menjadi istri seorang Fahmi. Terpaksa Renata mencoba menerima takdir yang sudah Tuhan gariskan untuknya.
"Sudahlah, Ren! Kalau kamu menghubungiku hanya untuk berceloteh nggak penting seperti ini lagi, lebih baik aku blokir sekalian saja nomormu ini! Bosen aku tiap hari kamu telpon tapi ujung-ujungnya hanya ngomel nggak jelas!
Lagi pula meskipun aku nggak pulang, kamu nggak bakal kelaparan, kehujanan, serta kepanasan kan? Ada orang tuaku yang masih mau menampung kalian berdua di sana. Jadi diamlah seperti biasanya! Kalau nggak,..."
"APA?" sela Renata, dia sudah tidak bisa lagi menahan segala rasa yang terasa sangat menghimpit di dalam dadanya.
"Kalau aku nggak mau diam lagi kamu mau apa? Sudah cukup sabar dan diamku selama ini buat menghadapi kamu! Kamu nggak mau kerja lagi di tempat itu, dengan alasan gaji terlalu kecil, aku masih bisa sabar. Meskipun pada akhirnya harus aku juga yang menopang semua kebutuhan rumah tangga kita termasuk uang jajanmu!
Kamu sering nongkrong sampai lupa waktu, aku juga masih bisa sabar. Karena alasanmu selalu bilangnya sambil cari info kerja! Tapi nyatanya sampai sekarang pun kamu masih menganggur." ungkap Renata dengan dada yang semakin sesak. Terlintas semua hal bodoh yang sudah ia lakukan selama ini ternyata hanya sia-sia saja.
"Halah, baru aja nanggung pengeluaran yang nggak seberapa aja udah sombong."
"Nggak seberapa kamu bilang? Hebat ya, nggak seberapa tapi nyatanya dari gajiku lah kamu masih bisa foya-foya sampai sekarang! Bahkan dari uang tabunganku lah orang tuamu bisa merenovasi rumah ini."
"Kamu nggak ikhlas? Mau kamu mati membawa dosa karna sudah perhitungan sama suami dan mertua?" ucap Fahmi terdengar sinis.
"Jangan ingetin aku soal dosa. Toh kamu sendiri sebagai imam juga nggak pernah ngasih contoh yang baik buat aku! Justru kamulah yang membawaku ke kubang dosa ini!"
Telak! Fahmi tak mampu lagi membalas omongan dari Renata. Fahmi sebenarnya tau yang ia lakukan selama menikah dengan Renata itu salah. Tapi kenikmatan duniawi sudah membuatnya semakin lupa diri. Apalagi dulu Fahmi menikahi Renata itu hanya untuk memenangkan sebuah taruhan yang di tawarkan oleh temannya. Dengan menikahi Renata, Fahmi mendapat banyak keuntungan. Selain mendapat uang dari hadiah taruhan, Fahmi juga bisa memakan semua gaji Renata.
"Jadi sekarang aku minta kamu pulang! Aku kasih kamu waktu sampai nanti malam. Karena Alif sudah 2 minggu ini sakit. Kalau sampai kamu nggak pulang juga, jangan salahkan aku kalau kamu nggak bakal bisa bertemu lagi sama aku dan Alif!" ancam Renata akhirnya. Meskipun Renata sendiri belum yakin dengan ucapannya yang terakhir. Tapi Renata berharap Fahmi mau mendengarkannya.
Bukan karena Renata tak bisa hidup tanpa suami. Tapi fakta di lapangan yang membuatnya takut dengan menyandang status sebagai seorang janda muda.
Maklum orang-orang di kampungnya selalu menganggap kalau seseorang menjadi janda itu berarti kesalahan berada pada istri yang tak becus mengurus suami. Mereka tak akan mau percaya jika ada yang mengatakan kalau pihak suamilah yang salah.
"Hahahaaha!" tiba-tiba Fahmi tertawa besar. "Kamu mau pergi kemana, Ren? Memangnya kamu siap saat kamu nanti pergi dari rumah Ibu, lalu di jalan di caci maki sama warga yang berpapasan sama kamu?
Lagian aku yakin kalau kakakmu pun akan menolak jika kamu mau pulang ke rumah almarhum orang tuamu! Secara kakakmu kan sudah nggak peduli lagi sama kamu! Dan dia benar-benar nggak mau kamu tinggal lagi di sana semenjak kamu memutuskan menikah sama aku. Hahaha!"
Tanpa menjawab ocehan Fahmi, Renata memutuskan untuk mengakhiri panggilan itu. Sebuah dilema besar kini merasuki pikirannya. Dengan sekuat tenaga ia meremas ponselnya. Kedua netranya sudah terasa panas. Tapi air mata sepertinya sudah mulai bosan untuk mengalir.
Renata memindai setiap sudut kamar yang sudah satu setengah tahun ini ia tempati. Kamar yang hanya berukuran 2X2,5M itu sudah menjadi saksi bisu. Dimana setiap malam Renata selalu merasa kesepian. Fahmi hanya akan ada di kamar itu saat ia meminta haknya saja. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, maka Fahmi akan segera pergi lagi entah kemana.
"Kurang apa aku sama kamu, Fahmi? Dulu hidupku sangat di manja oleh kedua almarhum orang tuaku. Bahkan kamar tidurku ukurannya hampir 3 kali lipat kamar ini. Aku rela meninggalkan semua kemewahan itu demi bisa hidup bersama denganmu sesuai janjimu. Tapi ternyata semua janjimu itu hanya khayalan belaka. Kedua orang tuamu pun selalu membela setiap perilakumu dan selalu mengatakan jika akulah penyebab kamu berbuat seperti itu."
Menepis kenangan buruk, Renata beralih menatap wajah mungil bayinya yang baru nenginjak usia 6 bulan itu. Dengan lembut ia membelai pipi gembilnya. "Maafkan Mama ya, Nak. Kalau sampai Ayahmu nggak pulang juga malam ini, terpaksa Mama akan membawamu pergi jauh. Kita akan mulai hidup baru tanpa Ayahmu. Tolong doakan Mama ya, Nak. Doakan semoga Mama bisa lebih kuat dan tegar saat orang-orang nanti menyalahkan Mama. Karena Mama tak akan melakukan pembelaan diri di depan mereka saat kita pergi. Biarlah keadaan yang akan bercerita pada mereka nantinya. Karena Mama yakin, sebaik apapun bangkai tersimpan, pasti akan ketahuan juga akhirnya."
Perlahan ia mulai merbahkan diri di samping Alif. Ia menatapa langit-langit kamar. Memikirkan akan kemana ia jika harus pergi nanti? Karena jika ia pulang kerumah almarhum orang tuanya, maka Fahmi akan mudah menemukannya. Dan pasti nanti ia akan membuat drama seolah-olah Renata adalah istri yang sudah membangkang terhadap suami.
"Ah, iya! Sebaiknya aku minta tolong di jemput sama Mas Deon saja. Apalagi Mas Deon kan tinggalnya di luar pulau. Pasti Fahmi tak akan bisa menemukan aku dan Alif."
Gegas Renata meraih kembali ponselnya, dengan lincah ia mencari nomor ponsel kakak keduanya itu.
Tut.... tut... tut....
Cukup lama Renata menunggu panggilannya di jawab. Bahkan ia harus mengulang hingga beberapa kali. Tapi tetap saja panggilannya terabaikan.
"Apa Mas Deon lagi sibuk ya? Padahal biasanya ia cepet nerima paggilan dariku." gumam Renata kembali sedih.
Belum sempat ia meletakkan ponselnya, tiba-tiba saja Alif kembali muntah-muntah.
"Astaga! Kenapa kamu masih muntah-muntah begini, Nak? Padahal obat yang dari rumah sakit kemarin baru saja habis. Apa perlu kita ke dokter lagi?" Renata meraih tubuh mungil Alif, agar bayi itu bisa duduk.
Renata melihat jam di ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang. Berarti dia hanya punya waktu 3 jam saja untuk membawa Alif ke rumah sakit sebelum ia berangkat kerja.
Ya, Renata bekerja sebgai SPG di salah satu mall ternama di kota S. Saat ia bekerja, ia akan menitipkan Alif pada daycare. Karena kedua mertuanya pun juga masih aktif bekerja. Mereka baru pulang kerja sekitar pukul 19.00 malam.
"Tapi apa cukup dengan waktu 3 jam saja? Bagaimana kalau nanti di rumah sakit antri? Aku juga nggak tega meninggalkan Alif dalam keadaan begini. Apa aku ajukan resign dari sekarang aja ya? Toh sudah pasti aku bakal pergi besok pagi meninggalkan kota ini." monolog Renata sembari membersihkan tubuh Alif dan mengganti pakaiannya.
Saat akan memesan ojek online, indera pendegaran Renata menangkap suara kendaraan roda dua milik Pak Seno, Ayah mertuanya yang berhenti di depan rumah.
"Tumben jam segini sudah pulang?" batin Renata seraya kembali memperhatikan jam dinding yang mengantung di ruang tamu.
Klak!
Tatapan Pak Seno langsung mengarah pada Renata yang sudah terlihat siap akan berangkat. Namun tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia terlihat tak peduli akan kemana menantu dan cucunya itu. Pak Seno berlalu begitu saja saat melewati Renata.
Pun dengan Renata yang hanya diam saja saat sang Ayah mertua mengabaikannya. Rasanya dia juga sudah mulai malas meski hanya untuk berpamitan dengan sang Ayah mertua yang selalu terkesan membela Fahmi meskipun Fahmi yang sudah salah.
"Makanya jangan membiasakan anak untuk di titipin di daycare! Kalau sudah sakit begini kan kamu sendiri yang susah. Di daycare itu ada berbagai macam anak yang berbeda-beda latar belakangnya. Belum tentu mereka yang di titip di sana itu, semua dalam kondisi sehat! Siapa tau ada yang sakit, tapi tetep di titip di sana?" hardik Pak Seno.
"Tapi kalau saya nggak titipin Alif di daycare, Alif siapa yang jaga, Yah? Fahmi selalu aja kelayapan nggak jelas. Coba kalau Fahmi mau di ajak kerja sama, pasti saya juga nggak bakal titipin Alif di daycare." sahut Renata sedikit ketus kala itu.
"Kelayapan nggak jelas gimana maksud kamu? Anak saya itu sibuk kerja! Bahkan dia rela kerja sampai nggak pulang-pulang begini. Kamu sebagai istri bukannya ngedukung, ini malah ngefitnah aja kerjaannya!
Lagi pula tugas ngerawat anak itu ya tugas istri! Suami nggak ada kewajiban sama sekali. Saya saja sewaktu Fahmi masih kecil, saya juga yang rawat. Padahal saya juga kerja seperti kamu, tapi nggak ada tuh niat sedikitpun buat nitipin anak ke daycare! Yang ada justru boros dan sombong." sela Bu Parti, Ibu mertua Renata di sertai tatapan sinis.
"Iya, kerja ngabisin duit tabungan saya! Sampai-sampai lupa sama kewajibannya sebagai Ayah dan suami! Kalau memang Fahmi kerja selama ini, mana hasilnya Bu, Yah?" Renata menatap bergantian kedua mertuanya.
Netra Bu Parti melotot, "Apa kamu bilang? Ngabisin duit kamu? Hahaha, jangan ngayal deh, Ren. Iya sih saya tau kamu itu anak orang kaya. Tapi apa iya, uangmu sebanyak itu? Dan satu lagi, kamu tanya apa hasil dari kerja Fahmi kan? Sini biar saya kasih tau," Bu Parti beralih duduk di samping Renata.
"Kamu bisa bedakan rumah saya sekarang sama yang dulu kan? Kalau bisa bedakan, berarti kamu sudah tau jawabannya apa hasil dari kerja Fahmi selama ini!" pongahnya tanpa merasa malu sedikitpun.
Andai Bu Parti tau, jika uang yang ia pakai untuk merenovasi rumahnya itu adalah uang tabungan Renata, akankah ia bisa sesombong itu? Ah, entahlah!
"Ibu yakin? Apa ibu nggak curiga gitu Fahmi bisa punya uang sebanyak itu tiba-tiba? Kalau itu uang hasil curian gimana, Bu?" celetuk Renata santai sambil melipat tangannya.
"Oh, kamu sekarang mau nuduh anak saya kerjanya maling gitu? Bener-bener nyesel saya dulu ngijinin Fahmi buat nikahin perempuan seperti kamu ini! Sudah sombong, kalau ngomong nggak punya etika pula!" Sungutnya lalu membuang muka.
Sedangkan Pak Seno sendiri sudah mulai mengepalkan tangannya. Terlihat sekali jika ia pun ingin memaki Renata saat itu.
Mudah saja sebenarnya bagi Renata untuk mengatakan jika uang itu adalah uang dari tabungannya. Tapi bicara dengan manusia seperti Bu Parti dan Pak Seno harus di sertai bukti. Dan sialnya saat ini Renata belum punya bukti soal itu.
"Ya sudah terserah Ibu sama Ayah saja! Saya sudah capek, mau istirahat dulu. Permisi!" Renata bangkit dari duduknya meninggalkan kedua mertuanya yang masih di selimuti emosi karena tak bisa membuat menantunya itu hormat pada anak tercintanya.
Tin... Tin...
Suara klakson motor ojek online, membuat Renata tersadar dari lamunan percakapan mereka seminggu yang lalu. Dan ternyata itu menjadi percakapan terakhir di antara mereka bertiga. Karena setelahnya, mereka saling diam satu sama lain.
Gegas Renata membuka pintu dan berjalan keluar.
"Tujuannya ke rumah sakit yang di jalan subur itu ya, Mbak?" tanya pengemudi ojol untuk memastikan tujuannya customernya.
"Iya, Pak. Tolong pelan-pelan saja ya bawa motornya. Soalnya anak saya lagi sakit ini," pinta Renata seraya memakai helm yang telah di sodorkan padanya.
"Siap, Mbak! Ayok naik,"
Namun, baru saja Renata akan memakai helmnya, terdengar selentingan dari tetangga sebelah rumah.
"Enak ya jadi Renata, suaminya pekerja keras. Bahkan kata Bu Parti si Fahmi sekarang kerja di kapal pesiar. Makanya sudah lama nggak pernah kelihatan."
"Wah, enak ya. Pasti banyak tuh gajinya. Makanya sekarang rumah Bu Parti jadi bagus. Terus itu si Renata sepertinya sudah nggak kerja lagi ya."
Renata enggan menanggapi selentingan miring itu. Karena lagi-lagi percuma, hanya akan buang-buang waktu dan tenaga saja. Toh sebentar lagi juga ia memilih untuk pergi jauh. Biarlah nanti ibu-ibu itu akan menyadari faktanya setelah Renata tak ada di rumah itu lagi. Terutama sih kedua mertuanya.
###
Sepulang dari rumah sakit, ternyata hari sudah cukup sore. Maklum tadi di rumah sakit antriannya juga lumayan panjang. Dan Alif juga harus di nebulizer, agar pernapasannya kembali lancar seperti sedia kala.
"Tolong, sirkulasi udara di dalam kamarnya di perbaiki ya, Bu. Kasihan anaknya kalau sirkulasi udaranya buruk."
Pesan dari dokter itu hanya mampu Renaya iyakan saja. Karena memang benar, sirkulasi udara di kamar yang ia tempati memang buruk. Jendela atau fentilasi aja tidak ada sama sekali.
Renovasi rumah, tapi hanya fokus pada ruangan yang lain saja. Khusus untuk kamar yang Renata tempati, tak pernah ada perubahan.
Kenapa tak ada perubahan? Ya karena Fahmi sendiri jarang pulang unjuk tidur dirumah.
Memindai wajah mungil bayinya, "Sabar ya, Nak. Sebentar lagi Alif nggak bakal sakit begini lagi. Meskipun uang tabungan Mama tinggal sedikit, tapi Mama akan usahakan agar kita nanti bisa dapat tempat tinggal yang nyaman."
Tring.. Tring...
Terdengar suara ponsel Renata yang kembali berteriak minta untuk di respon. Memang sedari tadi itu ponsel sudah berdering. Namun Renata abaikan, karena masih fokus pada pengobatan Alif.
Netranya membulat sempurna. "Astaga, Mbak Ana telpon. Duh, aku kok sampai lupa buat ngabarin dia kalau hari ini aku mau ajukan resign."
Dengan perasaan gundah, Renata menggeser tanda hijau yang tertera di layar ponselnya.
"Halo, Mbak. Maaf ya, aku baru sempat angkat telponnya. Soalnya tadi lagi fokus sama pengobatannya Alif."
"Bagus ya, Ren! Makin hari kamu makin seenaknya aja kalau kerja! Kamu pikir ini toko nenek moyangmu, yang kamu bisa masuk dan bolos sesuka hatimu? Jangan gitu lah, Ren! Hargai partner kerjamu ini. Dan harusnya kamu itu sungkan sama aku, karena akulah yang bantuin kamu biar kamu bisa jadi pegawai tetap di sini. Lah ini kok malah seenaknya begini!" amuk Ana tanpa mau mendengarkan lagi alasan yang Renata berikan.
"Iya, Mbak. Aku tau aku salah, aku minta maaf ya. Makasih karena selama ini Mbak Ana sudah banyak membantu aku."
"Aku nggak butuh permintaan maafmu, Ren. Yang aku mau sekarang juga kamu datang kesini. Karena aku nggak mau lembur hari ini!"
"Maaf, Mbak. Aku nggak bisa, Alif sakit, dia butuh aku. Dan sebenarnya, hari ini aku mau ajukan surat resign." tutur Renata hati-hati.
"APA?" terdengar jelas keterkejutan dari Ana di seberang sana. "Nggak bisa gitu dong, Ren! Mana ada resign dadakan begini! Kamu harus stock opname dulu! Pastikan dulu jika semua barang sesuai sebelum kamu resign. Kalau caramu resign seperti ini, jangan salahkan kalau gajimu bulan ini nggak bisa turun." panggilan pun segera Ana akhiri. Ia tak habis pikir dengan perubahan dari partner kerjanya itu. Semenjak punya anak, sering sekali ia ijin secara tiba-tiba.
Sedangkan Renata setelah mengetahui panggilan telah berakhir, hanya mampu menggigit bibir bawahnya. Uang gaji bulan ini sebenarnya lumayan jika buat tambah-tambahan uang tabungannya. Tapi bagaimana caranya agar ia bisa stock opname, sedangkan kondisi Alif masih belum memungkinkan jika harus ia titip di daycare. Apakah iya, Renata harus mengikhlaskan gaji terakhirnya yang akan cair 4 hari lagi itu?
Berjalan menuju kantin rumah sakit. Renata perlu mengisi perutnya yang memang sedari pagi belum terisi apa-apa. Sedangkan Alif juga perlu air hangat untuk menyeduh susu formulanya.
Renata sebenarnya ingin memberikan Alif ASI ekslusif setidaknya sampai sang buah hati berusia 6 bulan. Tapi apalah daya, karena dia terlalu sibuk kerja plus di tambah tekanan dari mertua dan sang suami, membuat ASI nya tiba-tiba tak mau keluar sedikitpun.
Sambil menunggu pesanannya datang, Renata mengecek sisa uang tabungannya. Uang yang dulu ia dapat dari Irfan, kakak pertamanya.
"Astaga, uang dari 200 juta, sekarang hanya tersisa 20 juta saja dalam tempo waktu satu setengah tahun. Tapi belum ada wujud apapun yang aku dapatkan. Bodoh memang aku selama ini!" rutuk Renata sembari memukul perkali-kali keningnya.
Dulu setelah kedua almarhum orang tuanya meninggal, Irfan memutuskan untuk memberi masing-masing uang tunai sebesar 400 juta kepada kedua adiknya. Yakni Deon dan Renata. Tapi dengan syarat, rumah itu akan menjadi hak milik Irfan sepenuhnya.
Awalnya Renata tak setuju, tapi apalah daya saat itu juga Deon kakak keduanya sedang terlilit hutang. Jadi mau tak mau, Renata pun ikut menyetujuinya.
Bodohnya, Renata yang saat itu terlalu percaya pada Fahmi, meskipun status mereka masih pacaran. Renata menceritakan masalah itu juga pada Fahmi. Hingga membuat Fahmi semakin semangat untuk mengikat hati Renata.
"Astaga, kasian sekali kamu, Sayang. Berarti setelah ini Mas Irfan sudah nggak ngijinin kamu untuk tinggal di sana dong?" ujar Fahmi setelah baru mendengar cerita dari Renata.
"Nggak juga sih. Mas Irfan masih ijinin aku buat tinggal di sana kok. Tapi ya gitu, uang itu belum bisa aku pegang. Kecuali kalau aku sudah nikah atau mau keluar suka rela dari sana. Baru Mas Irfan mau ngasih uang itu ke aku." sahut Renata terdengar sedih.
"Bagaimana kalau rencana nikah kita di percepat saja? Aku nggak tega sama kamu soalnya. Takutnya tiba-tiba Mas Irfan berubah pikiran, dan dia ngusir kamu gitu aja. Secara Mbak Tia kan nggak suka sama kamu. Aku khawatir kalau tiba-tiba dia fitnah kamu, terus Mas Irfan percaya? Sedangkan kalau kamu sudah nikah sama aku kan, aku bisa jagain dan jadi pelindungmu. Lagipula umur kita kan memang sudah pas untuk nikah." rayu Fahmi. Terdengar sangat perhatian bukan?
"Me-nikah?" Renata menatap ragu Fahmi. Mencoba mencari keseriusan dari sorot matanya.
Memang Renata sangat mencintai Fahmi, apalagi perlakuan kedua calon mertuanya juga begitu ramah padanya. Tak ada alasan untuk menolak pikirnya.
"Iya, kita menikah. Kamu tenang aja, aku ajak kamu menikah, bukan karena warisan yang kamu terima itu. Tapi melainkan karena aku mau jagain kamu dan menghalalkan hubungan kita. Kamu nggak mau kan kalau sampai hubungan kita ini malah jadi sumber dosa?" lagi-lagi Fahmi bersikap sok bijak di depan mangsanya yang begitu rapuh.
Renata selalu terlihat rapuh setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Jadi begitu ada yang menawarkan sebuah hubungan keluarga yang akan menyanyanginya, maka ia akan mudah tergoyahkan.
Karena Renata masih diam membisu, Fahmi kembali melancarkan aksi rayunya. Dengan lembut, ia genggam telapak tangan Renata. "Kamu mau kita menikah di gedung mana nanti, Sayang? Semua biaya akan aku tanggung." senyum mengembang di akhir kalimatnya.
Netra Reanata seketika berkaca-kaca. "Aku mau nikah secara sederhana aja. Karena biaya hidup setelah menikah itu jauh lebih penting. Jangan sampai kita nikah mewah, tapi setelahnya banyak hutang di mana-mana. Dan rencanaku, uang bagianku nanti akan aku belikan rumah minimalis. Agar kita bisa hidup mandiri setelah menikah."
Fahmi susah payah enelan salivanya setelah mendengar keputusan Renata yang ingin membeli rumah. Padahal bukan itu yang Fahmi mau. Dia harus kembali memutar otaknya.
"Astaga, Sayang. Beli rumah itu kan nggak gampang. Beli rumah itu jodoh-jodohan. Kalau nggak jodoh, rumah itu bakal jadi sumber malapetaka buat kita. Jadi sebaiknya setelah menikah, kita tinggal sementara waktu dulu di rumah orang tuaku. Kamu nggak masalah kan? Atau jangan-jangan kamu alergi ya tinggal di rumah orang tuaku yang sempit itu?" Fahmi memasang wajah sedih.
Secepat kilat Renata menggelengkan kepalanya. "Nggak sama sekali kok. Tapi..."
Belum sempat Renata menyelesaikan kalimatnya, Fahmi sudah memotongnya begitu saja. "Ya sudah berarti deal ya! Secepatnya kita nikah secara sederhana saja. Setelahnya kita tinggal dulu di rumah orang tuaku, sampai kita nemu rumah yang cocok buat kita." Fahmi memeluk erat Renata. Dalam hati ia bersorak-sorai.
####
Keesokan harinya, Renata memutuskan untuk berbicara hal ini pada Irfan. Karena bagaimanapun, nanti yang akan jadi wali nikahnya adalah kakak pertamanya itu.
"Mas, aku mau bicara, bisakah?"
Irfan yang memang sedang libur kerjapun, mengiyakan permintaan adik bungsunya itu. Adik yang sangat ia sayang. Tapi ia tak mau terlalu memperlihatkan. Gengsi mungkin.
"Mau bicara apa? Sepertinya serius." Irfan meletakkan koran yang sedang ia baca tadi, lalu menatap Renata yang sudah duduk di sofa dekatnya.
"Aku... aku mau nikah, Mas." ucap Renata seraya meremas ujung kaos yang ia kenakan. Tatapanya ke arah lantai, sama sekali ia tak ada keberanian menatap Irfan saat mengucapkan kalimat itu.
Kedua netra Irfan terbeliak seketika. Bahkan hampir juga tersedak. "Menikah? Sama siapa? Apa sama si Fahmi itu?"
Renata mengangguk ragu.
"Ck! Apa nggak ada pria lain, Ren? Mas kurang yakin kalau kamu menikah dengannya. Sebaiknya kamu menikah sama seseorang yang punya bibit bebet bobot yang sepadan sama almarhum orang tua kita. Bukan Mas mau menghina ekonomi seseorang. Tapi Mas cuma mau bicara fakta saja. Kalau kamu menikah sama orang yang sepadan, kamu akan bahagia. Tapi kalau kamu menikah sama orang yang ada di bawah kita. Maka kamu harus siap kalau mereka akan memanfaatkan kita. Jarang sekarang ini ada orang yang mencintai dengan tulus tanpa embel-embel duit.
Lagipula, apa kamu sudah siap hidup sederhana setelah menikah dengan Fahmi? Kamu yang terbiasa tidur dengan AC, apa bisa nanti tidur pakai kipas angin. Apalagi kamu kan alergi debu? Kecuali kamu beli rumah sendiri. Cuma, Mas tetap nggak yakin kalau Fahmi setuju. Dia pasti hanya mengincar sesuatu darimu." Setiap ucapan Irfan seolah peluru yang tertembak tepat pada sasarannya.
Renata terkejut dengan pernyataan dari sang kakak. "Bagaimana bisa Mas bicara seperti itu? Nggak semua orang itu gila harta, Mas! Termasuk Fahmi dan keluarganya. Mereka meskipun hidup sederhana, tapi sekalipun Fahmi nggak pernah mau kalau aku yang keluar uang selama kita pacaran. Lagipula aku juga sudah mulai belajar hidup sederhana. Buktinya aku mau kerja di luar dengan gaji UMR. Padahal kalau aku mau, aku kan bisa jadi pengawas di toko perhiasan punya Mas Irfan? Dan gaji yang aku terima tentunya bisa 2 kali lipat lebih banyak."
"Huh!" Irfan kembali menghembuskan nafasnya secara kasar. Dalam hati Irfan yakin sekali kalau adiknya itu sudah di butakan sama yang namanya cinta. Sifat keras kepalanya susah sekali untuk dinbengkokan.
"Kamu yakin itu bukan sekedar topeng? Mas ini juga laki-laki, Ren. Jadi Mas tau apa yang ada di pikiran Fahmi. Tapi tunggu-tunggu..." Irfan menjeda kalimatnya beberapa detik.
"Kenapa kalian tiba-tiba saja mau nikah? Apa kamu sudah hamil? Atau jangan-jangan kamu sudah cerita sama Fahmi kalau kamu bakal dapat uang ratusan juta dari Mas?" tebak Irfan yang memang tepat pada sasarannya.
Renata yang merasa tersudut, akhirnya membuang muka. Agar sang kakak tak bisa melihat kebohongan yang akan ia sembunyikan.
"Aku nggak hamil, Mas! Kalau nggak percaya ayo kita priksa ke rumah sakit. Dan aku juga nggak pernah cerita apa-apa sama Fahmi soal uang itu. Buat apa juga aku cerita ke dia? Toh dia juga nggak bakal tergiur." elaknya.
"Jadi?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!