Setelah di rasa cukup puas bermain di dekat kolam renang, Renata memutuskan untuk kembali membawa Alif ke kamar hotel. Apalagi hari juga sudah sore. Kasihan jika bayi lucu itu harus sakit lantaran kena angin yang lumayan kencang.
Sepanjang perjalanan menuju kamar, ponsel Renata terus saja berdering. Bahkan nyaris tanpa jeda panggilan masuk itu ke ponselnya. Membuat orang-orang yang berada satu lift dengannya menatap risih.
Sedikit enggan, akhirnya Renata mengambil ponselnya dari dalam tas. Benar firasatnya jika yang menghubunginya saat ini adalah nomor dari orang yang tak penting, yaitu kedua orangtua Fahmi.
Cukup mengganti dengan mode hening, lalu Renata kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjingnya.
"Nah, kalau begini kan nggak berisik lagi. Ntar aja bakal aku respon kalau sudah di kamar. Lagian ada apa lagi sih mereka neror aku begini? Bukannya mereka harusnya lagi senang-senang atas kepergianku dari rumahnya ya? Atau mereka baru sadar kalau selama ini sudah di bohongi sama anaknya sendiri? Baguslah kalau memang begitu. Biar mereka rasain sekarang gimana pusingnya bayar tagihan ini itu, tanpa bantuan dari gajiku." Renata bermonolog dalam hati. Terlukis senyum tipis juga di wajahnya.
Padahal yang terjadi justru sebaliknya. mereka masih belum sadar atas kebohongan Fahmi.
Sesampainya di kamar, Renata gegas menidurkan Alif di tempat tidur. Karena ia ingin mengirimkan pesan ke Fahmi.
(Aku nggak peduli apapun alasanmu. Karena ketika aku sudah memutuskan keluar dari rumah orang tuamu, saat itu jugalah aku sudah nggak peduli lagi sama apapun yang terjadi sama kamu. Termasuk soal motor yang saat ini mungkin sudah kamu jual ke pasar gelap! Bahkan soal kalungku yang sudah berhasil kamu curi juga, sudah aku ikhlaskan! Oh iya, satu lagi tolong bilang sama kedua orangtuamu, stop untuk meneror aku. Karena aku sudah mati rasa sama kalian semua!)
Pesan terkirim dan tak perlu menunggu lama, pesan langsung terbaca. Tapi sebelum ada balasan masuk dari Fahmi ataupun teror lagi dari kedua mertuanya, Renata memutuskan memblokir semua nomor yang berhubungan dengan Fahmi tanpa terkecuali.
Kembali Renata meletakkan ponselnya. Berharap mereka berhenti meneror dengan menggunakan nomor baru. Kan biasanya orang kalau ngotot, segala macam cara bakal di lakuin.
Pukul 20.00 malam, Renata memesan makan malam untuk di antar ke kamarnya. Karena cukup lelah jika harus naik turun sambil mengendong Alif. Ya, walaupun naik turunnya menggunakan lift. Tapi tetap aja kerasa capeknya.
Di tengah-tengah waktu Renata sedang makan, ponselnya kembali berdering.
"Duh! Semoga bukan teror dari Fahmi lagi!" harapnya cemas sembari meraih ponselnya di nakas.
Seketika Renata bernafas lega tatkala melihat nama 'Mas Deon' yang menelponnya.
"Assalamualaikum, Mas,"
"Ren, ini Mbak Dita! Langsung aja ya aku ngomong ke intinya." balas Dita mengabaikan salam yang Renata ucapkan.
"Oh iya, Mbak. Ada apa ya? Kok sepertinya penting sekali? Sampai-sampai salam dariku aja nggak di jawab."
"Halah, gitu aja kamu permasalahin. Masih ada yang jauh lebih penting daripada jawab salammu itu." jawabnya terdengar ketus. Mungkin ia sakit hati lantaran di tegur oleh sang adik ipar.
"Ya sudah maaf, Mbak mau ngomong apa tadi?"
"Gini, kamu kemarin kan minta di jemput sama Mas Deon? Nah, setelah kami berunding, aku setuju Mas Deon jemput kamu sama Alif."
"Serius Mbak?" bak mendapat angin segar, Renata sangat antusias mendengar ucapan dari Dita. Itu artinya sebentar lagi dia bakalan bisa benar-benar lepas dari gangguan Fahmi. Begitulah yang ada di pikiran Renata saat ini.
"Serius lah! Mana pernah sih aku bohong sama kamu?"
"Hehe, iya maaf Mbak. Oh iya, Mas Deon mau jemput aku naik apa? Biar aku transfer biaya transportasinya."
"Satu juta dulu aja deh, soalnya Mas Deon belum liat harga penerbangan buat besok. Kalau misal kurang, biar Mas Deon talangin dulu."
"Oh, okeh deh kalau gitu, Mbak. Abis ini ya aku transfernya. Atau biar aku aja ya yang booking tiket pesawatnya?" tawar Renata.
"Eh... jangan dong! Biar Mas Deon beli langsung aja besok di bandara. Takutnya besok mendadak Mas Deon nggak bisa gimana? Kan bisa hangus itu tiket?" ada sedikit rasa panik, tapi karena memang dasarnya Dita pandai dalam hal bersilat lidah jadi ada saja alibinya agar lawan bicara tak curiga.
"Jadi belum pasti berangkat besok gitu ya, Mbak?" tanya Renata sekedar memastikan.
"Ya nggak juga. Sudahlah, yang penting abis ini kamu transfer aja uang yang aku bilang tadi. Sekalian alamat di mana kamu tinggal sekarang."
Belum sempat Renata memberi jawaban, panggilan sudah terputus begitu saja.
"Huh! Sabar, Ren. Mungkin Mbak Dita saat ini lagi PMS, makanya kalau ngomong ketus mulu. Dan semoga aja Mas Deon berangkatnya besok, jadi malam ini terakhir aku ada di kota kelahiranku ini." hibur Renata sembari menatap layar ponselnya.
Tanpa membuang waktu, Renata gegas mengirim sejumlah uang ke rekening Deon. Baginya, lebih cepat lebih baik. Tak ada sedikit pun rasa curiga pada sang kakak.
Tak lupa setelahnya, Renata mengirim bukti transfer serta alamat hotel dimana ia bermalam.
###
"Gimana? Renata mau kirim uangnya?" tanya Deon tatkala melihat sang istri telah mengakhiri panggilannya.
Bukannya menjawab pertanyaan sang suami, Dita justru masih fokus menatap layar ponselnya sambil senyum-senyum. Ya apalagi kalau bukan sedang membaca chat yang di kirim oleh Renata. Siapa sih yang tak bahagia jika rencananya berjalan dengan mulus? Walaupun itu rencana yang tak baik.
"Nih lihat!" Dita menyodorkan ponselnya ke arah Deon.
Dengan mata membulat Deon melihat isi chat itu. "Astaga, Renata sudah kirim uangnya? Bahkan di lebihkan dari yang kamu minta tadi. Mungkin dia memang benar-benar butuh bantuan buat di jemput. Kasihan juga adikku itu."
Tanpa Deon sadari kalimat yang ia ucapkan barusan itu membuat sang istri sewot.
"Oh... terus kalau kasihan kamu mau apa, Mas? Mau batalin rencana yang sudah aku buat? Iya?"
"Bu-bukan gitu, Dit. Aku... aku cuma kasihan aja. Bagaimanapun juga dia adik perempuanku satu-satunya."
"Sudahlah, buang jauh-jauh dulu rasa kasihanmu itu, Mas! Karena anak-anakmu jauh lebih kasihan jika kita nggak jadi ngejalanin rencanaku! Toh Renata juga nanti bakal tinggal deket sama kita kan? Apa yang harus di kasihani sih? Kalau soal dia yang di sakiti sama Fahmi, itu ya salah dia sendiri. Siapa suruh dulu maksa buat nikah sama laki-laki seperti itu?" omelnya panjang lebar.
Dan, jika Dita sudah dalam mode seperti itu, Deon hanya akan diam saja serta menuruti semua maunya.
"Sekarang lebih baik kamu bantuin aku buat packing beberapa pakaian deh, Mas. Jangan lupa pakaiannya Via sama Zafir juga. Biar besok kita bisa berangkat pagi-pagi sebelum Pak Kost datang."
"Kok aku yang packing sih? Memangnya kamu mau ngapain lagi?" tanya Deon penasaran. Padahal Dita sudah memberitahunya cukup jelas sebelumnya. Tapi mungkin karena Deon yang kurang fokus mendengarkan, jadinya ia lupa semua.
"Ya ampun, Mas! Aku kan musti telpon Pak Kumis buat mastiin lagi kalau kita jadi sewa mobilnya! Dan abis ini kita ambil sekalian. Kan uang DP sewanya juga sudah ada." sahut Dita geram.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Wijiyanti Solo
buka kurang peka y tu td dia terlalu bodoh n slalu prcya m omangan yg mnis2 jdinya gmpang dbhgi n ploriti uangnya
2024-11-26
0
Adelia Rahma
duh Renata peka dikit napa sih..udah tau para iparmu jahat ma kamu masih aja percaya..
2024-12-02
0
Ds Phone
jahat juga dia ni
2024-10-30
0