Seketika semua orang yang ada di dalam ruang tamu itu mengalihkan pandanganya pada pintu masuk, dimana ada Renata yang sedang berdiri sambil menggendong Alif.
"Assalamualaikum!" ucapnya sopan. Karena bagaimana pun ternyata yang sedang berkunjung itu adalah Mbah kakung dari Fahmi.
"Waallaikumsalam," sahut Mbah kakung datar. Ia langsung mengalihkan pandangannya pada anak perempuannya. Entah apa maksudnya.
Renata yang masih menghargai Mbah Kakung, gegas duduk di kursi yang masih kosong. Sebenarnya ia juga sempat bingung mau langsung masuk ke dalam kamar atau ikut basa-basi sebentar.
Mbah Kakung yang tau Renata sudah ikut duduk di ruang tamu, menyesap kopinya yang tinggal sedikit lagi. Lalu kembali meletakkan cangkirnya dan menatap Renata.
"Dari mana, Nduk? Kok malah kelayapan? Suamimu kan lagi kerja jauh, alangkah lebih baik kalau kamu berdiam diri di rumah. Apalagi kamu kan punya anak bayi. Jangan malah hura-hura di luar. Mbah tau kalau kamu juga punya uang sendiri dari hasil kerjamu. Tapi ya uang itu mending di tabung buat masa depan Alif, buyutku." cecarnya tanpa jeda sedikitpun.
Padahal usia Mbah Kakung sudah hampir kepala sembilan, tapi cara bicaranya masih lancar tanpa hambatan seperti jalan tol.
Netra Renata membeliak. "Kelayapan?" hanya satu kata itu yang keluar dari mulutnya. Namun terdengar getir saat mengucapkannya.
Bu Parti yang sedari tadi buang muka, kini ikut menatap Renata tajam. "Lantas kemana kamu seharian ini kalau bukan kelayapan? Rumah juga masih berantakan saat saya pulang tadi!" omelnya sinis.
Menghela nafas berulang kali demi menjaga emosinya agar tak meledak. Renata meremas ujung kain jarik yang ia gunakan untuk menggendong Alif.
"Maaf, Mbah, Bu. Saya keluar rumah bukan mau kelayapan atau hura-hura seperti yang Mbah bilang tadi. Tapi saya keluar karena mau membawa Alif untuk periksa ke rumah sakit. Tadi pagi Alif muntah-muntah lagi sampai lemas. Ini aja saya sampai bolos kerja demi bisa membawa Alif berobat." jelas Renata seraya mengeluarkan obat yang ia dapat dari rumah sakit tadi sebagai bukti jika ia tak berbohong seperti yang telah di tuduhkan.
"Ya Alif sakit kan itu juga gara-gara kamu!" sela Pak Seno yang memang memiliki mulut sedikit lemes.
"Astagfirullah, Yah. Terus apa saya harus bawa Alif ke tempat kerja juga?"
Pak Seno tak serta merta menjawab pertanyaan balik dari menantunya itu. Justru ia menatap ke arah istrinya.
"Kamu sebaiknya ndak usah kerja lagi, Nduk. Cukup kamu jadi ibu rumah tangga saja dan fokus sama tumbuh kembang Alif. Toh Fahmi kan sudah mencukupi kebutuhan kalian? Jangan terlalu rakus, Nduk. Berapapun yang Fahmi kasih, kamu harus bersyukur. Setidaknya kamu saat ini tak perlu memikirkan uang sewa kos, bayar air, bayar listrik, dan lain lain. Kamu cukup membantu ibu mertuamu untuk beres-beres rumah saja. Ndak berat toh, Nduk?"
"Seandainya bisa begitu, Mbah..." Renata menjeda kalimatnya. Ia menghela nafas seraya menatap langit-langit ruang tamu. Berharap air mata tak luruh saat ini. Bagaimanapun juga terlalu sakit hatinya saat mendengar ucapan Mbah Kakung yang menuduhnya terlalu rakus.
"Lalu?"
Mungkin ini memang saatnya Renata membuka semua keburukan Fahmi di hadapan Mbah Kakung.
"Mbah, saya ini bukan tipe seorang ibu yang tega menitipkan anak pada orang lain. Saya juga inginnya setiap saat bisa selalu sama Alif. Tapi keadaan yang tidak pernah mendukung saya, Mbah.
Dan saya juga bukan tipe istri yang tidak bisa bersyukur atas berapapun pemberian suami. Karena memang pada kenyataannya, sampai detik ini Fahmi tak pernah memberi saya uang nafkah seratus perakpun. Lantas apa yang harus saya syukuri kalau saya tidak pernah menerima hak saya sebagai istri?" ucap Renata cukup santai, namun berhasil membuat Mbah Kakung terkejut.
"Apa maksudmu bilang kalau Fahmi nggak pernah kasih kamu nafkah?" sinis Bu Parti.
"Saya hanya mengatakan apa adanya saja, Bu. Bahkan selama ini juga saya yang sudah membayarkan uang tagihan listrik dan air di rumah ini."
"Hahaha! Memangnya sebanyak apa gajimu sebagai SPG? Mana bisa kamu ikut membayar ini itu, belum lagi di tambah biaya penititipan Alif di daycare. Pasti itu semua uang dari Fahmi yang kamu aku-akuin kan? Saya ini ibunya, Fahmi. Saya yang melahirkan dan merawat dia, jadi saya tau bagaimana anak saya. Tolong jangan menfitnah suamimu sendiri demi kamu membela diri!" hardiknya dengan mata melotot.
"Mbah percaya sama saya, alhamdulillah. Tidak percaya juga tidak masalah kok, Mbah. Biar nanti waktu yang akan kasih tau kebenarannya. Tapi kalau bisa sih sekarang juga Fahmi di hadirkan di sini. Biar semua jelas dan tak ada fitnah lagi."
"Fahmi lagi kerja! Mana bisa dia datang kesini sekarang? Apalagi hanya untuk membahas soal nggak penting seperti ini." Pak Seno pun turut bersuara kembali.
Sedangkan Mbah Kakung hanya diam saja. Sesekali terlihat beliau mengusap wajahnya dan menghela nafas panjang. Kasihan memang, di usia senjanya masih harus memikirkan hal seperti ini.
"Baiklah, saya juga tidak memaksa. Tapi demi membuktikan semua ucapan saya, maka mulai bulan ini saya tidak akan mau membayar tagihan air dan tagihan listrik lagi."
"Wah.... wah... wah... sudah berani mulai menguasai semua uang Fahmi rupanya kamu!" lagi-lagi Bu Parti berbicara seolah memang dia dan anaknya itu yang benar.
"Bu, harus berapa kali saya bilang, kalau Fahmi tak pernah memberi saya uang! Lagipula dari mana Fahmi punya uang kalau kerja saja tidak?"
PLAK!
Satu tamparan mendarat begitu mulus di pipi kiri Renata. Untung saja tak sampai membuat Alif terbangun. Bayi mungil itu benar-benar tertidur pulas. Mungkin efek obat yang dia minum.
Renata memegang pipinya yang terasa panas. "Ibu mau saya membuktikan dengan cara apa agar ibu mau percaya dengan semua yang sudah saya ucapkan?"
"Nggak ada yang perlu di buktikan! Karena saya lebih percaya sama anak saya. Sekarang, bawa sini kartu ATM mu! Pasti tiap bulan gaji Fahmi masuknya ke ATM mu kan?"
Renata tersenyum miris. "Maaf, Bu. Kalau Ibu meminta kartu ATM milik saya, saya tak akan pernah memberikannya. Karena itu bukan hak Ibu sama sekali."
"Tapi di sana ada gaji Fahmi yang tiap bulannya kamu terima!"
"Parti!" Mbah Kakung akhirnya bersuara kembali. "Sudah cukup! Bapak datang kemari karena ingin mengujungimu. Bukan mendengar pertengkaran kalian."
"Maaf, Pak. Tapi saya harus mengambil uangnya Fahmi. Agar perempuan ini mau mengakui kalau memang selama ini Fahmi lah yang sudah banyak keluar uang, bukan dia! Dan saya juga mau membuktikan kalau Fahmi itu kerja, bukan pengangguran!"
"Gampang kok, Bu. Kalau memang Ibu mau membuktikan itu semua. Ibu tinggal telpon Fahmi sekarang, lalu minta padanya untuk mengubah nomor rekening yang sudah terdaftar di tempat kerjanya saat menerima gaji, menjadi di alihkan ke nomor rekening Ibu sekalian. Bagaimana?" tantang Renata.
"Oke, jangan nyesel kamu setelah ini!"
"Tidak akan, Bu. Karena sekarang saya juga mau pamit, saya mau keluar dari rumah ini malam ini juga. Permisi!"
"APA?" pekik Bu Parti dan Pak Seno hampir bersamaan. Namun Renata sudah tak mau menanggapi mereka lagi. Ia terus melangkah menuju kamarnya.
Meletakkan Alif di tempat tidur, lalu ia mulai memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Begitupun dengan baju-baju Alif. Semua mulai ia rapikan. Untung saja Renata tak sampai membeli barang elektronik apapun. Jadi saat ia pergi seperti ini hanya tinggal membawa baju serta surat-surat penting saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Adelia Rahma
bagus bagus bagus tinggal kan saja benalu seperti mereka
2024-12-02
0
Ds Phone
bagus tinggal kan aja biar meraka rasa
2024-10-30
1
Sulfia Nuriawati
bgs, hrs tegas dg nertua benalu suami g pny otak, cinta tp perut lapar apa bs kenyang mkan cinta? hidup hrs realustis apa lg zaman skrg
2024-02-08
0