Fahmi mengabaikan omongan Pak Seno. Ia melangkahkan kakinya, cukup lebar menuju kamar, guna memastikan ucapan ibunya. Siapa tau Renata bukan kabur, melainkan hanya pergi beberapa saat. Fahmi masih ingin menyangkal jika Renata sudah mulai habis kesabaran dan ancamannya tempo hari hanyalah gertakan seperti sebelum-sebelumnya.
Hal pertama yang ia lakukan adalah membuka lemari pakaian. Dan hasilnya adalah lemari itu sudah kosong oleh pakaian Renata. Di sana hanya tersisa bajunya saja.
BRAK!
Lagi-lagi Fahmi meluapkan emosinya dengan memukul pintu lemari baju.
"Astagfirullah! Kamu kenapa, Nak?" pekik Bu Parti terkejut. Ia sedikit berlari meraih tangan anak kesayanganya yang terlihat memar itu.
"Kemana perginya, Bu? Apa dia nggak bilang apa-apa sama Ibu?"
Bu Parti menatap tak suka pada Fahmi. "Kamu ngapain lagi sih masih mikirin perempuan nggak guna itu? Kalau kamu mau ambil uang yang sudah terlanjur kamu transfer itu, tenang aja. Nanti bakal ibu bantu buat ambil lagi uang itu!"
"Dan kalau bisa, setelah itu kamu ceraikan saja dia! Pasti masih banyak yang mau sama kamu, Nak. Kamu tampan, punya kerjaan bagus, dan pendidikanmu juga tinggi. Apa perlu ibu dan ayahmu bantu untuk carikan pengganti Renata?" sambung Bu Parti.
Fahmi merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Matanya terpejam, "Andai perempuan itu juga bisa aku manfaatin seperti Renata sih nggak masalah, Bu. Masalahnya kebanyakan perempuan sekarang itu matre! Modal tampang aja nggak cukup! Dan lagipula saat ini aku juga nggak kerja apa-apa. Jadi sudah bisa di pastikan nggak bakal ada perempuan yang mau jadi istriku." Fahmi hanya berani berkata dalam hati.
"Baiklah, sepertinya kamu capek. Kamu istirahat aja dulu, nanti kalau mau makan itu sudah ibu siapin di meja makan. Sekarang ibu mau keluar dulu sama Ayah dan Mbah Kakungmu. Sekalian mau belanjain oleh-oleh," tuturnya lalu berlalu keluar kamar.
Fahmi enggan menanggapi, yang ada di pikirannya saat ini hanya bagaimana cara mengusai keuangan Renata kembali.
"Sialan! Kemana kamu, Ren! Jangan harap kamu bisa lepas gitu aja dariku! Kalau sampai aku bisa nemuin kamu, siap-siap aja kamu harus membayar mahal! Aku sudah terlanjur hutang sana-sini, eh... kamu malah minggat gitu aja!" omel Fahmi cukup pelan. Takut kalau sampai ada yang mendengarnya.
###
"Mas, gimana itu kelanjutannya adikmu? Apa dia sudah kasih keputusan?" tanya Dita, istri Deon saat mereka sedang sarapan.
Deon menghentikan aktifitas makannya. Di tatapnya lekat wajah sang istri. "Kalau menurutmu bagaimana? Renata sih belum kasih kabar lagi sampai sekarang."
"Ya nggak gimana-gimana, Mas! Yang jelas kalau kamu mau jemput dia, ya aku sama anak-anak harus ikut! Dan biaya transport harus dari adikmu itu. Aku nggak mau ya kalau kamu tinggal di sini. Apalagi kita juga belum ada uang buat bayar kos bulan depan. Bisa-bisa saat kamu jemput Renata, kita bertiga di usir sama Pak Kos. Kan nggak lucu, Mas," gerutu Dita tanpa jeda. Tak peduli jika kedua anaknya juga ikut mendengarkan.
Dilema, bingung antara mau membantu adiknya, tapi sang istri tak memberi ijin. Sebenarnya Deon juga tak tega jika harus menambah beban sang adik. Tapi yang dominan ada di pikirannya saat ini ya, prioritas utamanya itu adalah istri dan kedua anaknya.
"Ya sudahlah, semoga aja Renata setuju sama syarat yang aku kasih."
"Ya harus kamu desak juga dong, Mas. Kalau kamu nggak ngedesek dia, bagaimana dia bisa yakin kalau tujuan yang paling bagus itu ya ke kita. Takutnya dia malah dateng minta tolong ke Mas Irfan!" cebiknya sambil membuang muka.
"Mana mungkin, kamu tau sendiri kan kalau Mbak Tia juga nggak suka sama Renata? Pasti Mbak Tia bakal ngelakuin segala macam cara agar Mas Irfan tak membantu Renata."
"Maksudnya, sama kayak aku gitu?" protes Dita melotot. "Denger ya, Mas. Andai uang warisanmu itu masih ada dan kita nggak kelilit hutang, nggak bakal aku berlaku seperti ini! Aku ngelakuin semua ini demi kira juga. Aku yakin jika uang warisan Renata yang di kasih Mas Irfan pasti masih utuh. Secara selama ini kan dia nggak perlu bayar sewa apa-apa. Dia dan Fahmi juga sama-sama bekerja kan?"
"Ya sudah, coba nanti malam aku hubungi Renata lagi. Sekarang aku berangkat kerja dulu aja. Assalamuallaikum!" pamitnya lalu berjalan keluar di ikuti oleh Via dan Zafir.
"Pa, uang jajan buat Via mana?" pintanya sambil menegadahkan tangan.
Deon menatap Dita, "Via belum kamu kasih uang saku?"
"Belum lah. Uang dari mana coba?" sahut Dita ketus.
Terpaksa Deon harus merelakan uang yang seharusnya ia buat beli bahan bakar motor untuk uang jajan Via. "Biarlah, nanti kalau aku kehabisan bensin bisa aku dorong ini motor. Yang penting anakku nggak sampai kelaparan di sekolahnya." batin Deon tersenyum getir.
Selepas kepergian Deon, Dita mengajak Zafir untuk masuk ke dalam. Takut keburu ada pak kos yang datang menagih uang sewa.
####
Di kediaman Irfan, Tia sedang sibuk menyiapkan beberapa baju yang akan ia bawa menyusul sang suami yang saat ini sedang berada di luar kota. Apalagi ponsel Irfan juga tertinggal di rumah.
Sudah berulang kali Irfan memintanya segera menyusulnya guna memberikan ponsel yang banyak menyimpan nomor penting itu.
Akhirnya terpaksa Tia menuruti permintaan sang suami. Tapi sebelum ia berangkat, dengan sengaja ia menghapus pesan yang di kirim oleh Renata. Dan ia juga memblokirnya.
Setelahnya ia mencoba menghubungi Renata menggunakan ponselnya. Namun sayangnya sudah berulang kali mencoba, panggilannya tetap Renata abaikan.
"Sial! Sombong sekali adik iparku ini. Aku telpon nggak mau, tapi berani mengirim pesan ke kakaknya. Jangan harap aku akan membiarkan kalian menjalin komunikasi kembali. Sudah bagus selama ini kalian putus hubungan." murka Tia meremas ponselnya.
Tetapi, ketika ia hendak masuk ke dalam mobilnya, ponselnya tiba-tiba berdering. Muncul nama 'adik ipar penganggu'di layar ponselnya.
"Hmm... berani telpon balik juga ternyata dia," Tia tersenyum menyeringai.
"Assalammuallaikum, Mbak," sapa Renata ramah.
"Hem, ada apa?" balasnya tanpa mau menjawab salam terlebih dulu.
"Maaf, Mbak Tia tadi pagi ada apa ya telpon aku? Maaf nggak sempat terima panggilan, soalnya Alif lagi rewel."
"Oh! Nggak ada apa-apa sih, cuma mau kasih tau kamu sesuatu aja!"
"Sesuatu? Sesuatu apa, Mbak? Apa ini soal Mas Irfan? Soalnya dari kemarin aku kirim pesan ke Mas Irfan, tapi sampai sekarang pesanku belum di baca. Mas Irfan baik-baik aja kan, Mbak?" cecar Renata yang mulai khawatir dengan sang kakak.
"Tenang aja, Mas Irfan baik-baik saja kok. Justru Mas Irfan minta aku untuk menyampaikan pesan ini ke kamu, agar kamu jangan hubungin dia lagi! Apa kamu lupa jika dulu Mas Irfan sudah bilang nggak mau tau lagi tentang kehidupanmu?"
Bak di sambar petir, Renata seketika meneteskan air matanya. Ia tak mampu mengeluarkan satu katapun saat ini.
"Jadi aku harap, itu benar-benar pesan terakhirmu yang kamu kirim ke Mas Irfan. Silahkan lanjutkan hidupmu dengan pilihanmu saat itu!" panggilan pun terputus begitu saja.
Puas, Tia tertawa terbahak-bahak di dalam mobil. Sekarang ia sangat yakin, jika adik iparnya itu akan mendengarkan ucapannya. Apalagi di tambah dengan Irfan yang tak membalas pesannya. Itu akan semakin memperkuat perkataannya jika Irfan sudah tak peduli lagi dengan Renata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Adelia Rahma
terima saja karma kalian nantinya..
karena kalian sudah menyia nyiakan adek kalian
2024-12-02
0
Heny
Ipar jht klau abang nya tau kira2 apa y yg terjadi
2024-11-18
0
Ds Phone
jahat betul Kaka ipar nya kau akan susah nanti
2024-10-30
0