Bab 7.

Usai menerima telpon, Fahmi merasa kesal bukan main. Botol minuman keras yang ada di dekatnya ia lempar begitu saja. Untungnya saat ia melempar botol kaca itu tak sampai mengenai orang lain.

"Hei! Lu ngapain sih lempar-lempar botol kaca? Untung aja gua sempet ngehindar! Coba kalau sampai kena kepala gua, bisa-bisa gua tuntut Lu!" amuk Mahdi, teman yang selama ini selalu memberi tantangan pada Fahmi.

Fahmi hanya mendengus kesal seraya mengacak rambutnya. "Sorry, Bro! Gua lagi stress ini."

Mahdi yang awalnya sempat emosi, kini berjalan menghampiri Fahmi yang memang terlihat kusut. Bak baju yang tak pernah di strika.

"Masalah apaan lagi sih? Memangnya sudah abis duit lu? Kan lu masih punya istri yang bisa lu manfaatin dan bodoh-bodohin?"

"Itu dia masalahnya. Istri gua dah mulai bisa ngadu sekarang. Malah ngadunya langsung ke Mbah Gua." adu Fahmi sambil menyandarkan punggungnya. Menatap langit-langit ruangan yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama hampir sebulan terakhir.

"Duh, Fahmi... Fahmi...! Lu kan bisa ngelak kayak sebelum-sebelumnya. Bukannya Lu sudah ahli dalam hal itu?" ledek Mahdi lalu menepuk bahu Fahmi berulang kali.

"Ya semoga aja Mbah nggak percaya sama Renata."

"Terus rencana Lu apaan?"

"Gua mau pulang aja dulu besok. Tapi Gua butuh duit. Lu bisa nggak pinjemin Gua 5 juta? Paling lambat bulan depan bakal Gua ganti 2 kali lipat deh," pinta Fahmi tanpa menatap lawan bicaranya.

"Bener nih bakal di ganti 2 kali lipat?" Mahdi nampak tergiur.

Lagipula siapa sih yang tak akan tergiur jika bisa menggandakan uang hanya dalam waktu kurang dari sebulan?

"Yakin! Lu kan tau kalau Gua masih punya tambang duit. Ntar tinggal Gua ambil lagi aja perhiasan Renata."

"Tapi, Lu butuh duit ini buat apaan?" tanya Mahdi penasaran.

"Ah, elah! Ya buat ngeyakinin Mbah Gua lah! Biar ada bukti kalau Gua beneran kerja selama ini. Gua sengaja cuma bawa 5 juta, karena nanti Gua bakal bilang kalau sebagian gaji, sudah Gua transfer ke Renata sebesar 10 juta. Dengan begitu kan Gua kelihatan kerja keras banget, Bro!" Fahmi tersenyum puas dengan hasil pemikirannya sendiri.

"Terserah deh! Yang penting kurang dari sebulan duit Gua, Lu balikin 2 kali lipat!" ucap Mahdi.

"Terus besok Lu pulang naik apa? Kan motor Lu..." sambung Mahdi yang penasaran.

"Santai, Gua dah nyiapin berbagai macam alasan kalau sampai Renata tanya-tanya soal motor itu. Lagipula kalau sampai dia marah-marah, Gua ancam aja bakal ceraiin dia. Pasti bakal diem dah tuh orang setelahnya."

Mahdi yang sudah tak ada urusan lagi, berlalu keluar begitu saja. Rencana awal yang ingin mengajak Fahmi main judi, dia batalkan. Ia yakin jika Fahmi sudah tak ada uang lagi. Buktinya tadi ingin pinjam uang.

"Jangan lupa buruan transfer ya duitnya!" teriak Fahmi ketika Mahdi sudah hilang dari balik pintu. Entah Mahdi masih bisa mendengar atau tidak, Fahmi tidak peduli.

##

Dalam perjalan menuju hotel, Renata terus saja memeriksa ponselnya. Takut-takut jika ada notif penting masuk tapi ia tak dengar lantaran suasana jalanan yang begitu ramai.

Namun hingga sampai di dalam kamar, ponselnya tetap dalam keadaan tenang. Tak ada yang menghubunginya.

Renata meletakkan Alif di tengah-tengah tempat tidur. Lalu mulai mengganti pakaian Alif dengan baju bersih. Agar bayi mungil itu tidur dengan nyenyak malam ini. Tak lupa ia juga mengatur suhu ruangan agar tak terlalu dingin tapi tak terlalu panas juga.

Usai semua urusannya dengan sang buah hati, Renata gegas masuk ke dalam toilet untuk membersihkan dirinya. Karena dari rumah sakit tadi ia belum sempat mandi dan ganti baju. Badannya terasa gatal dan lengket sekali.

Namun, di tengah-tengah ritual mandinya, ponsel Renata terus saja berdering. Mau tak mau, akhirnya Renata menyudahi mandinya dengan cepat. Padahal baru saja ia ingin mencuci rambutnya.

"Duh, siapa sih ini yang telpon?" gumamnya berjalan mendekati meja rias.

Di layar ponsel yang masih terus menyala itu tertera nama Mas Deon. Secepatnya Renata menggeser tombol warna hijau.

"Assalamualaikum, Mas. Akhirnya Mas telpon aku balik." sapa Renata cukup lega. Lantaran yang ia tunggu-tunggu dari tadi pagi telpon juga.

"Waalaikumsalam. Iya maaf tadi ponsel Mas ketinggalan di kos. Ada apa, Ren? Kok tumben telpon Mas sampai berkali-kali?"

"Ehm, gini Mas. Apa Mas Deon bisa jemput aku? Aku mau ikut merantau ke sana." ungkap Renata cukup lirih.

"Loh? Memangnya Fahmi sudah mau di ajak keluar dari rumah orang tuanya?"

"Aku nggak sama Fahmi, Mas. Aku sekarang cuma sama Alif aja. Ceritanya panjang, nanti deh kalau kita sudah ketemu, aku bakal ceritain semua. Yang penting sekarang aku mau tanya, apa Mas Deon bisa jemput aku?" besar harapan Renata pada kakak keduanya itu.

Beberapa saat sempat hening. Sepertinya Deon juga masih menimbang-nimbang sesuatu.

"Gimana ya, Ren. Bukan Mas nggak mau jemput kamu. Tapi Mas ini baru aja kerja. Masa iya Mas baru kerja tapi udah minta ijin?"

Renata menghela nafas, benar juga yang di katakan kakaknya itu. Tapi hanya dia harapan Renata yang bisa menolongnya saat ini.

"Apa aku naik travel aja ya, Mas? Mas kirim aja deh alamatnya Mas disana. Biar aku berangkat sendiri." putus Renata, meskipun ia tak yakin akan berani nantinya. Pasalnya ia tak pernah pergi jauh selama ini. Apalagi ini pergi dengan membawa anak bayi yang belum genap 1 tahun.

"Aduh, jangan. Mas Khawatir sama kamu kalau naik travel sendiri. Apalagi kamu sama Alif aja. Atau gini aja deh... Ya udah, Mas yang akan jemput kamu. Tapi untuk biaya transportasinya dari kamu ya. Soalnya Mas kan belum gajian."

Tanpa pikir panjang, Renata pun setuju.

"Berapa Mas harga tiketnya? Kabarin ya, nanti biar aku transfer."

"Kalau naik pesawat ya skitar 750.000 per orang. Tinggal kamu kalikan 4 aja. Tapi kalau sewa mobil dari sini, seharinya sekitar 300.000. Itu belum uang bensin, tol, makan, dan lain-lain ya." tuturnya cukup rinci.

Renata membekap mulutnya. Benar-benar terkejut dengan biaya yang di minta oleh sang kakak.

"Bentar-bentar, Mas. Kok di kalikan 4? Memangnya Mbak Dita, Via, dan Zafir mau ikut?"

"Lah ya pastinya dong, Ren. Masa iya aku tinggalin anak istriku di sini? Mas nggak mungkin tega."

"Ya Allah, Mas. Kan jemput aku juga nggak sampai seminggu? Katakanlah 3 hari kita udah sampai sana lagi kan kalau pakai jalur darat? Apalagi kalau kita naik pesawat. Nggak sampai sehari kita dah sampai sana lagi." protes Renata.

"Ya terserah kamu aja sih sekarang. Kalau mau Mas jemput, ya itu tadi syaratnya. Kalau nggak mau juga nggak apa-apa. Bukan Mas yang rugi kalau nggak jemput kamu. Malah Mas rugi tuh kalau jemput kamu. Karena Mas harus resign dari tempat kerja. Jadi sekarang kamu pikir-pikir dulu aja deh!" tegas Deon, lalu panggilan berakhir begitu saja.

Renata menatap nanar layar ponselnya yang sudah menghitam kembali. "Ya Allah, begini amat nasibku? Apa dosaku sampai harus mengalami hal yang tak enak bertubi-tubi begini?" pandangannya beralih menatap Alif yang sudaj terbangun. "Hanya kamu yang bisa buat Mama kuat, Nak."

Terpopuler

Comments

Heny

Heny

Renata duit jng dibuang cuma2 pergi yg jauh hdp berdua sm alif gk saudara suami sm tak ye

2024-11-18

0

Adelia Rahma

Adelia Rahma

ya ampun gak ada yg bener keluarga mu ren.. predator semua

2024-12-02

0

Wijiyanti Solo

Wijiyanti Solo

y klau bisa jgn hbgi saudramu prgi sendri aja yg jauh

2024-11-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!