Bab 16

Berbeda dengan Deon, Irfan sebagai kakak tertua dari Renata, justru sangat merasa rindu pasa adik bungsunya itu.

"Kamu kenapa dari tadi melamun terus sih, Mas? Kan aku udah nyusul kamu kesini. Apa lagi ada masalah lain yang menganggu pikiranmu?" tanya Tia seraya meneguk teh hangat yang baru saja ia buat.

Irfan menyandarkan kepalanya pada sofa. "Aku kepikiran sama Renata. Gimana ya kabar dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Apa Fahmi tak menyakitinya? Sungguh aku menyesal telah mengatakan jika aku tak akan peduli lagi dengannya. Bagaimana bisa aku mengatakan hal sejahat itu, srdangkan akulah pengganti almarhum papa dan mama." desis Irfan.

"Uhuk!" teh hangat yang hampir tertelan kini tersembur begitu saja.

"Kamu kenapa, Ti? Hati-hati dong kalau minum. Kalau sampai kesedak kan bahaya." tegur Irfan dengan nada lembut.

"Maaf, Mas. Aku lupa kalau tehnya masih panas." ucap Tia beralasan.

"Ya sudah, kalau gitu aku mau ganti baju dulu." gegas Irfan beranjak sembari mengibas-ngibaskan bajunya yang terkena semburan Tia tadi.

Tia mengangguk.

"Duh, jangan sampai Mas Irfan menghubungi Renata setelah ini. Bisa-bisa besar kepala tuh anak kalau sampai Mas Irfan menghubunginya duluan. Dan sepertinya memblokir nomor Renata bukan solusi yang tepat." gumam Tia mulai cemas.

Sembari menunggu Irfan kembali menemaninya minum teh di balkon hotel, Tia berusaha keras mencari cara yang aman untuk menjauhkan Renata dari Irfan.

"Ah, aku punya ide!" Tia menjentikkan jarinya. Kemudian mengambil ponsel Irfan lalu mulai menjalankan idenya.

"Nah, kalau begini kan aman." celetukknya tanpa ia sadari jika Irfan sudah berdiri di belakangnya.

"Apanya yang aman, Ti?" tanya Irfan penasaran. Pasalnya Irfan tadi tak sempat melihat Tia yang mengutak-atik ponselnya.

"Ah... Itu..." Tia mengambil cangkir tehnya. "Ini tehnya udah aman, Mas. Sudah dingin maksudnya, hehe."

"Oalah, aku kira ada apa,"

Irfan mendaratkan tubuhnya duduk di samping Tia. Lalu mengambil ponselnya yang sudah Tia letakkan kembali persis sebelum Irfan masuk ganti baju tadi.

"Kamu lagi ngapain, Mas?" tanya Tia basa-basi.

"Aku mau kirim pesan ke Renata, sepulang dari sini aku ingin mengajaknya bertemu. Aku juga ingin bertemu dengan keponakanku." tutur Irfan.

"Kamu juga ikut ya nanti. Siapa tau kalau kamu sering dekat dengan anak bayi, itu bisa membuat kamu juga cepat hamil. Selain itu, biar kamu dan Renata bisa dekat juga." sambung Irfan dengan tatapan memohon pada Tia.

Tia bangkit berdiri seraya melipat tangannya di depan dada. Pandangannya melihat ke arah hiruk pikuk jalanan Ibu Kota.

"Nggak janji ya, Mas. Aku tuh kecewa berat sama Renata, karena dia lebih pilih menentang saranmu saat itu. Dan kalau soal anak, apa kamu sudah sebegitu inginnya punya anak, Mas? Jujur, aku sendiri belum siap untuk memiliki anak saat ini."

Tia menghela nafas panjang di akhir kalimatnya. Sebenarnya Tia sendiri juga sudah lama sangat menginginkan memiliki seorang anak. Tapi bagaimana bisa dia punya anak, sedangkan dia sudah lama di vonis mandul oleh Dokter. Dan Tia menyimpan rahasia itu dari Irfan. Ia takut jika Irfan tau, maka Irfan akan meninggalkannya.

Saat itu, diam-diam Tia memang sengaja tes kesuburan tanpa sepengetahuan Irfan. Namun, siapa sangka jika hasil yang dia dapat justru hal yang ia takuti selama ini.

Irfan bangkit berdiri, lalu memeluk Tia dari belakang. "Aku nggak tau umurku sampai kapan, Ti. Aku takut kalau sewaktu-waktu Tuhan memanggilku, tapi kita belum sempat punya keturunan." Irfan memutar badan Tia agar melihat ke arahnya. "Kalau kita sudah punya satu aja anak, setidaknya saat aku tiada nanti, ada yang meggantikan aku menemanimu. Selain itu akan ada yang mewarisi usaha yang sudah kita bangun sekarang ini." ujar Irfan lembut.

"Hush! Jangan ngomong aneh-aneh dong, Mas. Apalagi soal umur. Nggak siap aku tuh kalau nggak ada kamu," Tia membenamkan wajahnya di dada Irfan. Terdengar isak tangis yang mulai semakin sesak.

"Makanya, yuk kita mulai ikut program hamil. Aku harap kali ini kamu nggak akan menolak."

Tia masih belum berhenti terisak. Pikirannya semakin kacau. Ia ragu antara ingin berkata jujur dengan Irfan atau tidak.

...****************...

Fahmi semakin pusing sekarang. Selain karena Renata yang belum ia ketahui keberadaannya, Bu Parti juga setiap hari selalu minta uang terus kepadanya. Di tambah lagi dengan Mahdi yang ternyata meminta uangnya segera di kembalikan, lantaran orang tuanya sakit parah.

"Pokoknya gue minta lu balikin duit gue paling lambat besok! Gue dah nggak bisa kasih waktu panjang lagi. Misal sampai besok malem, lu belum juga balikin duit gue, jangan salahkan gue kalau sampai gue tagih ke orang tua lu!" ucap Mahdi saat berhasil menemui Fahmi di tempat tongkrongan barunya.

"Jangan sampai lu berani nagih utang ke orang tua gue! Karena mereka nggak ada sangkut pautnya sama sekali. Tapi kalau lu masih nekat, jangan salahkan gue kalau lu gue habisin!" ancam Fahmi dengan sedikit mencengkram kaos Mahdi.

"Silahkan! Kita ketemu di kantor polisi kalau begitu! Karena gue punya bukti saat lu pinjem duit ke gue waktu itu. Dan satu lagi bukti saat lu ngancem gue barusan!" Mahdi menunjuk ke arah temannya yang berdiri tak jauh darinya.

Malam itu suasana sangat sepi, jadi semua yang Fahmi ucapkan tentu bisa terekam dengan jelas.

Fahmi mendorong Mahdi cukup kuat. "Si al!"

"Ingat jangan lupa balikin duit gue sebesar yang lu janjiin kalau lu masih pengen menghirup udara bebas!" teriak Mahdi, lantaran Fahmi sudah pergi meninggalkannya.

##

"Arrrgghhhhh...! Awas aja kamu, Renata! Gara-gara kamu sekarang aku terancam akan di penjara!" Fahmi mengamuk seorang diri.

Ingin pulang, tapi dia sudah bingung menghadapi pertanyaan kedua orang tuanya. Tapi kalau tak pulang, kini ia sudah tak punya uang sepeserpun.

Duduk termenung di depan SPBU yang sudah tutup. Pandangannya tertuju pada jalan raya yang masih lumayan ramai dengan kendaraann berlalu lalang. Sesekali ia juga menatap ke arah SPBU.

Dan tiba-tiba Fahmi melihat ada tulisan 'LOWONGAN PEKERJAAN' yang menempel pada salah satu kaca.

"Ah, apa aku melamar kerja disini aja ya? Lumayan buat bertahan hidup sampai aku bisa menemukan Renata. Dan soal uang Mahdi, sepertinya aku harus cari cara cepat tapi aman deh!"

Fahmi kembali menyalakan mesin motornya, kali ini terpaksa dia nekat untuk pulang kerumah orang tuanya. Karena dia sangat membutuhkan berkas-berkasnya untuk melamar ke SPBU esok hari.

Sesampainya di rumah, ternyata rumah dalam keadaan kosong. Untungnya Fahmi punya kunci cadangan, jadi ia tetap bisa masuk meskipun sedang tidak ada orang di rumah.

"Tumben Ibu sama Ayah jam segini belum pada pulang dari pengajian? Tapi baguslah, berarti aku tak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan nggak penting dari mereka." gumamnya sembari membongkar isi lemarinya.

Di sela-sela kesibukannya, terlintas ide jahat di pikirannya apalagi saat melihat ke arah kamar orang tuanya yang pintunya sedang terbuka lebar.

Terpopuler

Comments

Azumi Rahmat

Azumi Rahmat

Bikin darah tinggi bacanya

2024-11-15

0

Ds Phone

Ds Phone

ni anak kurang ajar

2024-10-30

0

Athul Kuswatul Hasanah

Athul Kuswatul Hasanah

keluarga toxic menguras emosi bacanys 😡😡😡

2024-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!