Bab 4

"Aku cuma minta tolong sama Mas Irfan untuk merestui dan jadi wali nikah di pernikahan aku nanti. Tolong restui adikmu ini yang akan membina rumah tangga. Meskipun Mas Irgan ragu sama Fahmi, tapi aku yakin kalau Fahmi adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Aku akan buktikan itu.

Di sisi lain, biar Mas Irfan juga nggak kepikiran terus sama aku. Apalagi Mbak Tia kan juga nggak suka kalau lihat aku tinggal di sini. Padahal ini juga rumah almarhum orang tua kita." ucapnya sedikit berbisik di akhir kalimat. Namun meski begitu, Irfan masih tetap bisa mendengarnya.

"Atau.... Apa Mas mau aku ngekos di luar, terus nanti bakal ada yang niat jahat sama aku? Kalau aku sudah nikah kan, bakal ada yang jagain aku, Mas!" sambung Renata lagi terlihat masih kukuh dengan keinginannya tanpa memikirkan baik buruknya. Bebal pokoknya.

Irfan terdiam beberapa saat. Memang Tia istrinya itu tak pernah suka dengan Renata. Ada aja perdebatan di antara mereka hampir setiap hari. Mulai dari hal sepele sampai hal yang sebenarnya tidak harus di permasalahkan. Tapi dengan membiarkan Renata untuk kos sendiri di luar sana juga bukan solusi yang tepat. Apalagi dengan membiarkannya menikah dengan Fahmi. Sosok laki-laki yang sudah sangat ia curigai sejak lama. Tapi bagaimana caranya agar ia bisa menyadarkan adiknya yang begitu bebal ini?

"Okeh, Mas akan ijinin kamu nikah sama Fahmi. Tapi dengan syarat!"

"Apa? Tapi jangan aneh-aneh pokoknya syaratnya." sahut Renata antusias.

Irfan mengangguk-anggukan kepalanya.

"Uang yang Mas bilang awalnya 400 juta, sekarang Mas kurangin jadi 200 juta aja? Gimana? Kalau kamu nggak setuju, maka Mas nggak akan restui kamu!"

Tanpa pikir panjang pun Renata mengiyakan ucapan sang kakak. Toh uang itu juga nggak bakal ia utak-atik dulu pikir Renata.

"Mas juga akan lepas tanggung jawab setelah kamu menikah dengan pilihanmu. Karena kamu sudah Mas nasehati, tapi nggak mau dengar! Jadi mau ada masalah apapun kamu sama Fahmi nanti, jangan ngadu sama Mas." ancam Irfan yang sebenarnya hanya gertakan saja. Mana mungkin Irfan akan lepas tanggung jawab begitu saja pada adik bngsunya itu? Tapi ternyata ancaman itu Renata anggap serius.

"Okeh! Aku nggak bakal datang ke rumah ini lagi setelah memutuskan menikah dengan orang yang aku pilih."

Setelah pembahasan yang begitu alot, Renata pergi meninggalkan Irfan yang masih duduk termanggu di sofa. Tatapan nanar masih tertuju pada adiknya yang kini menghilang dari pandangannya.

"Maafkan, Mas. Uang sisa hak kamu akan Mas simpan guna kamu pakai di saat kamu sudah sadar akan tipu muslihat Fahmi. Mas Janji!" gumam Irfan.

Namun karena kesibukan yang luar biasa, akhirnya Irfan sudah tak ada waktu lagi untuk mengawasi Renata sesuai dengan harapannya. Bahkan hingga hari pernikahan Renata pun, Irfan hanya bisa datang di saat acara ijab kabul saja. Setelahnya ia langsung pamit undur diri. Begitupun dengan Deon dan istrinya.

Itulah yang membuat Renata menganggap jika ucapan Irfan kala itu bukan hanya sekedar gertakan semata. Tapi memang dari dalam hati jika Irfan memang sudah tak mau tau lagi soal Renata dan kehidupannya.

"Ahh, ya sudahlah! Semua memang salahku yang terlalu bodoh. Bisa-bisanya aku menaruh harapan setinggi langit pada laki-laki seperti Fahmi. Nyesel aku, kenapa juga dulu nggak mau dengerin omongannya Mas Irfan. Andai dulu aku mau denger, pasti aku nggak bakal kesusahan seperti sekarang ini. Sekarang mau curhat sama Mas Irfan juga aku malu. Mbak Tia pasti bakal semakin tertawa puas kalau tau aku menderita sekarang ini. Emang agak beda iparku satu ini. Apa emang rata-rata ipar cewek itu seperti itu ya?" rutuknya kesal sembari kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Karena Alif masih tertidur pulas di dalam dekapannya, akhirnya membuat Renata kembali menyusun rencananya ulang.

"Mas Deon juga kenapa sih susah banget di hubunginnya? Mau telpon ke Mbak Dita juga sungkan aku nya. Uuhh! Aku harus bagaimana dong? Apa iya aku undur aja rencana pergiku dari rumah itu? Terus aku selesain dulu urusanku di tempat kerja? Siapa tau nggak sampai 2 hari sudah kelar urusannya. Toh, Fahmi pasti nggak bakal secepatnya pulang juga."

Kembali Renata mengambil ponselnya. Ia berencana menghubungi Ana, untuk memberi tau rencananya besok yang akan melakukan stock opname barang di gudang.

(Assalamualaikum, Mbak. Aku cuma mau info aja kalau besok aku siap untuk melakukan stock opname. Terima kasih.)

Pesan terkirim dan langsung centang dua biru. Tak lama kemudian, di pojok kanan atas terlihat tulisan sedang mengetik. Dengan perasaan harap-harap cemas Renata menanti jawaban dari partner kerjanya selama dua setengah tahun terakhir.

(Terserah kamu mau stock opname kapan! Suka-sukamu aja. Aku sudah nggak peduli lagi. Karena aku juga sudah resign per hari ini juga!)

Netra Renata seketika membeliak. Bagaimana mungkin dalam waktu bersamaan ia dan Ana mengajukan resign? Lalu bagaimana dengan counter? Siapa yang bakal jaga selagi belum ada pengganti mereka berdua?

(Loh, kok bisa Mbak juga mengajukan resign? Terus bagaimana dengan counter Mbak? Siapa yang jaga nanti?)

(Bisa lah! Kamu aja bisa resign sesuka hatimu. Kenapa aku nggak bisa? Dan kalau saat ini kamu menghawatirkan counter siapa yang bakal jaga nanti, kenapa nggak kamu aja yang jaga tuh counter? Simpel kan?)

Menghela nafas berulang kali, mencoba menenangkan hati dan pikirannya. Untuk masalah Ana, mungkin ia akan abaikan. Toh dia juga tak bisa melarangnya untuk ikutan resign juga.

"Ya sudah lah, besok aku akan tetap datang ke counter buat stock opname. Sekalian ngomong sama Bu Lady. Semoga besok semuanya berjalan lancar." gumam Renata cukup yakin.

Seusai menghabiskan pesanannya, Renata gegas memesan ojek online. Apalagi hari juga sudah semakin sore. Ya, ia terpaksa memakai jasa ojek online tiap akan pergi kemanapun. Karena motor yang ia beli sebelum menikah sedang di pakai oleh Fahmi. Boros memang jika selalu pakai ojek online, tapi mau bagaimana lagi? Tak mungkin ia beli motor baru lagi.

Cuma anehnya itu Fahmi sudah membawa motornya selama hampir sebulan tanpa STNK dan SIM. Karena kebetulan waktu Fahmi akan pergi saat itu, dompet kartu-kartunya tertinggal di meja ruang tamu. Tapi bagaimana bisa dia tetap aman membawa motor itu selama ini? Atau jangan-jangan itu motor sebenarnya sudah di jual di pasar gelap? Makanya Fahmi tak berani pulang? Ahh, entahlah!

Beberapa menit kemudian, sampailah ojek online yang mengantar Renata di depan rumah sang mertua. Dari luar terlihat seperti ada yang sedang bertamu. Karena lampu ruang tamu yang biasanya belum menyala di jam 4 sore, sekarang sudah di nyalakan. Bahkan pintu juga terbuka lebar. Kalau acara arisan ibu-ibu PKK sepertinya tidak mungkin. Atau jangan-jangan Fahmi sudah pulang?

Melebarkan langkah kakinya, Renata melanglah cepat menuju pintu masuk. Namun...

Terpopuler

Comments

Adelia Rahma

Adelia Rahma

namun apa yang terjadi

2024-12-02

0

Ds Phone

Ds Phone

apa yang jadi

2024-10-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!