Bagian 13

Derap langkah terdengar menggema di telinga Rena, berasal dari luar kamar. Suara itu mengganggunya, sampai membuatnya gadis itu terbangun dari tidur. Rena mengernyit bingung ketika tidak mendapati Daffa berada di sampingnya, padahal tadinya mereka tidur bersama.

Jam di dinding menunjukkan pukul dua belas lewat beberapa menit saat itu. Tirai jendelanya tertutup, tapi Rena bisa melihat dengan jelas kalau bulan bersinar dengan terang. Cahaya berusaha masuk lewat celah tirai di bagian bawah dan pinggiran jendela. Menjadi penerangan di kamar yang memang sengaja dimatikan lampunya.

“Daffa?” gumamnya pada diri sendiri, lalu turun dari ranjang.

Rena merasa merinding ketika kaki telanjangnya menyentuh lantai yang dingin. Hari itu tidak pernah turun hujan, tapi entah kenapa suhu udara di kamarnya sangat dingin, seperti saat baru selesai hujan deras. Jelas itu bukan ulah pendingin ruangan, karena Rena tidak menyalakannya. Gadis itu memang tidak pernah suka tidur dalam keadaan kedinginan.

Dalam keheningan itu Rena berjalan keluar kamar, ingin mengecek apakah memang Daffa yang menyebabkan suara langkah yang keras seperti itu dan kenapa dia melakukannya. Ketika pintu kamar terbuka, dia tidak mendapati siapa pun berada di sana. Rena segera berjalan ke arah tangga yang saat itu masih terdengar suara tapak orang yang seperti sengaja dikeras-keraskan.

Sampai di pinggiran tangga, Rena tercengang. Daffa tidak ada di sana, siapa pun tidak terlihat berjalan di tangga, tapi derap itu masih terdengar jelas. Bahkan semakin keras, mengarah padanya.

Rena yang tadinya belum benar-benar terbangun, menjadi sadar sepenuhnya. Matanya terbuka lebar dan mulutnya menganga. Dia terdiam, tubuhnya membeku untuk beberapa saat mencerna apa yang sedang terjadi saat itu.

Derap itu kemudian hilang, berganti dengan tarikan kecil di ujung bawah piyama yang Rena kenakan, membuatnya terkejut dan mengeluarkan teriakan tertahan. Di suasana yang benar-benar hening itu, Rena bisa mendengar suara detakan jantungnya sendiri. Tanpa sadar embusan napas lega keluar dari mulutnya ketika menyadari kalau yang menarik bajunya tadi adalah Daffa.

“Tante kenapa?” tanya anak itu dengan kening berkerut.

Rena sadar kalau saat itu wajahnya pasti pucat, jadi dengan cepat dia menggeleng pelan sambil menepuk-nepuk pipi. Bibirnya melengkung, membentuk sebuah senyum yang terkesan dipaksakan.

“Gak apa-apa, kok. Daffa kenapa bisa di sini?” tanya Rena setelah bisa mengendalikan dirinya.

Daffa tidak langsung menjawab, mendadak menunduk dan terdiam.

Rena heran, respon seperti itu cukup mencurigakan baginya. Apa yang sebenarnya sudah keponakannya lakukan? Pertanyaan itu memenuhi kepalanya.

“Daffa kenapa? Kok diam? Tadi Daffa ke mana?”

Pelan-pelan bocah itu mengangkat pandangan, menatap ragu pada Rena yang menunggu jawaban. Tepat ketika Daffa ingin membuka mulut, suara langkah di tangga terdengar lagi. Rena dan Daffa langsung menoleh. Bersamaan dengan terdengarnya suara itu, jantung Rena menjadi berdegup lebih kencang lagi.

Dia merasa Daffa menggenggamnya dengan tangan gemetar. Dengan cepat Rena membawa Daffa untuk lebih dekat dan memeluk keponakannya itu.

“Tenang, gak ada apa-apa, kok,” bujuk Rena dengan suara yang dibuat setenang mungkin.

Namun tentu saja anak itu tidak percaya. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan kalau tidak ada apa-apa yang terjadi, padahal tepat di depan mereka saat itu ada suara langkah kaki, tapi tidak ada seorang pun yang terlihat berjalan.

“Kita kembali tidur, yah. Ayo, ke kamar tante.”

Rena ingin membawa Daffa masuk kembali ke kamar, tapi Daffa bergeming di tempatnya. Sebelum Rena sembat bertanya kenapa, Daffa langsung menjawab pertanyaan itu dengan satu gerakan. Dia menjulurkan tangan ke depan dengan pelan, lalu menunjuk pada sesuatu di bawah sana.

Rena melihat ke arah yang ditunjuk Daffa dan kembali terkejut. Tepat di bawah sana, di anak tangga paling bawah, tempat Daffa terjatuh, sudah berdiri seorang gadis kecil dengan rambut yang dikepang dua. Wajahnya pucat dan tatapannya kosong. Pakaian gadis kecil itu sederhana sekali, berwarna putih gading dan lusuh. Rok cokelat yang dia kenakan panjang sampai mata kaki, memperlihatkan kaki mungilnya yang dari tadi naik-turun tangga.

Tanpa Rena duga, gadis kecil itu langsung berlari dengan cepat menaiki tangga. Sangat cepat sampai Rena tidak sempat menarik Daffa untuk kabur. Mereka hanya bisa terdiam di tempat dengan wajah sama pucatnya dengan gadis kecil itu. Ketakutan tersirat jelas di wajah Rena dan Daffa.

Gadis kecil itu mendadak memiringkan kepala dengan cara yang menakutkan. “Mau main denganku?” tanyanya lagi dengan suara halus dan pelan.

Rena merinding. Daffa ditarik oleh gadis kecil itu, membuat Rena tersentak dan langsung terbangun dari mimpinya. Lagi-lagi mimpi. Rena bahkan mengumpat saking kesalnya.

“Ini gila! Sebenarnya maunya apa, sih?”

Sadar suaranya terlalu keras, Rena langsung berhenti bicara. Takut membangunkan Daffa yang ada di sampingnya. Tunggu, Daffa tidak ada di sebelahnya. Dia ingat betul mereka tidur bersama setelah kejadian mati lampu di dapur yang membuat mereka melihat penampakan menyeramkan di sudut ruangan. Sekarang dia hanya sendirian di tempat tidur, sendirian di kamar. Ke mana Daffa?

Rena merasa takut lagi. Apa jangan-jangan dia akan mengalami apa yang dilihatnya di mimpi barusan? Dia menepuk pipi dengan keras untuk memastikan bahwa kali ini memang benar nyata, tidak sedang bermimpi lagi.

Sensasi ketika kakinya menyentuh lantai yang dingin membuat Rena merasa semakin ketakutan. Di mimpinya juga seperti itu, rasanya sama persis. Dia jadi ragu kalau sudah benar-benar bangun.

Memberanikan diri, Rena membuka pintu perlahan lalu berjalan keluar. Tidak ada suara langkah kaki seperti di mimpinya, atau suara lain. Saat itu hening meraja, hanya suara detak jantungnya yang terdengar jelas di telinga.

Dengan pelan dia membuka pintu kamar Daffa. Mungkin saja keponakannya itu kembali ke kamarnya, pikir Rena. Namun Daffa tidak ada di sana. Kasurnya kosong, tidak ada tanda-tanda sudah ditiduri.

“Ke mana Daffa?” gumamnya lagi.

Kakinya membawanya menuju kamar mandi. Lagi-lagi hasilnya sama saja, ruangan itu kosong. Rena keluar kamar, kali ini dengan langkah yang cepat. Dia berjalan menuju kamar Rana.

“Apa jangan-jangan Daffa pindah ke kamar Kak Rana, yah? Mungkin aja, sih. Dia masih takut dan milih tidur bareng orangtuanya. Jadi aku ngapain dong ini? Aku juga gak bisa masuk gitu aja ke kamar Kak Rana. Apa aku ketok pintunya aja, terus tanya apa Daffa ada di kamarnya apa gak. Tapi misalnya Daffa gak ada di sana itu pasti bakalan bikin Kak Rana sama Kak Yudha khawatir. Duh ini gimana? Kalau misalnya aku cari lagi dan ternyata Daffa ada

tidur bareng orangtuanya, aku cuma buang-buang tenaga aja, dong. Bikin capek-capek doang. Kok jadi musingin gini, sih? Daffa kamu di mana?!”

Tepat setelah kalimatnya berakhir, Rena merasa ada pergerakan di belakangnya. Refleks dia menoleh dan menangkap sesuatu menghilang di balik dinding ujung koridor. Dari posturnya Rena bisa melihat kalau yang baru saja lewat di sana adalah anak kecil. Mungkin Daffa, pikirnya.

Dengan cepat dia mengejar sosok itu. Benar saja, Daffa memang berjalan mendekati tangga menuju loteng.

“Daffa!” panggil Rena dengan suara yang tidak terlalu keras.

Daffa tidak menoleh, terus berjalan dengan langkah yang semakin lama semakin cepat.

“Dia kenapa?” Rena bingung melihat tingkah keponakannya, tapi tetap mengikuti.

Dia ikut menaiki loteng. Sesampainya di sana, gadis itu terkejut menyaksikan pemandangan yang ada di depan matanya.

Terpopuler

Comments

Yuan Dhinie

Yuan Dhinie

berasa nonton langsung....
tegang nya dapet😱

2022-02-12

0

Senandung Evy

Senandung Evy

asli tegang

2021-01-18

2

Mochammad Fachry

Mochammad Fachry

semangat thor

2020-01-15

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!