Daffa terbaring di lantai dengan tidak sadarkan diri. Di samping anak itu duduk gadis kecil yang dia lihat dalam mimpinya. Rena diam di tempat, masih berpikir apa yang harus dia lakukan.
Bulu kuduknya berdiri dan jantungnya masih berdebar-debar di balik tulang rusuknya. Dia tahu betul kalau sosok si gadis kecil ini bukanlah manusia. Itu sudah jelas, buktinya sangat kuat. Meski begitu, Rena tidak tahu bagaimana harus menghadapi hantu. Belum pernah sekali pun dalam hidupnya untuk berhadapan langsung dengan makhluk tak kasat mata.
“Siapa kau?” tanya Rena tanpa sadar, yang langsung menyesali dirinya bertanya seperti itu.
Gadis kecil itu yang sedari tadi hanya memerhatikan Daffa, kini menoleh pada Rena. Pandangannya masih kosong, tapi tetap mengirimkan hawa kengerian yang langsung menjalar pada tubuh Rena. Dia memain-mainkan rambut kepang duanya sambil memiring-miringkan kepala. Melihat itu Rena semakin merasa takut.
“Mau main denganku?”
Kalimat yang sama seperti di mimpinya keluar dari mulut hantu gadis kecil itu, hanya saja sensasi kali ini lebih menakutkan. Suara si gadis kecil ini lebih halus dan pelan, juga lebih terdengar menyedihkan. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar seram, seperti sesuatu yang dipaksakan.
“Pergi kamu!”
Entah keberanian dari mana, Rena malah mengusir hantu itu. Terdengar tidak terlalu mengintimidasi karena diucapkan saat suaranya bergetar. Namun ternyata si hantu menuruti apa yang Rena katakan.
Dia mundur pelan-pelan. Rena baru menyadari kalau posisi jalan hantu gadis kecil itu sedikit aneh. Agak pincang. Setiap langkahnya, gadis itu meringis. Rena baru bisa mengembuskan napas lega ketika hantu itu menghilang menembus dinding. Dengan cepat Rena menghampiri Daffa.
Kekhawatirannya memudar saat melihat wajah damai Daffa dan napas anak itu yang teratur. Daffa sedang tertidur ternyata, Rena kira keponakannya itu pingsan.
Karena tidak ingin membangunkan Daffa, dengan sekuat tenaga yang dia punya Rena menggendongnya. Baru saja Rena mengangkat tangan Daffa, sebuah buku usang terjatuh dari dalam pelukannya.
Rena memandangi buku itu. Tidak terlalu besar seperti buku tulis lainnya, tapi agak tebal, seperti buku catatan kecil.
Sampulnya berwarna merah tua dan sudah sedikit terkelupas di mana-mana. Ada tulisan kecil dengan tinta berwarna emas yang tidak terlalu jelas kelihatan di bagian tengah sampul. Jelas itu bukan milik Daffa.
Diambilnya buku itu dan diamati sebentar. Dilihat dari keadaannya, buku itu pasti sudah sangat lama berada di tempat ini. Masih sedikit berselimut debu dan berbau apak. Rena jadi penasaran di mana dan bagaimana Daffa mendapatkannya. Kenapa juga keponakannya itu memeluk buku ini sambil tertidur. Dan pertanyaan lebih besar lainnya, apa yang sebenarnya Daffa lakukan.
Kantuk yang Rena rasakan memang sudah hilang ketika dia bangun tadi, dan sekarang dia yakin tidak bisa tidur dalam beberapa jam ke depan. Karena penasaran, Rena memutuskan untuk membuka buku itu.
Lembarannya berwarna kuning, khas buku lama. Tinta tulisannya juga terlihat menembus kertas, menunjukkan kalau itu ditulis sudah cukup lama. Rena tidak sempat membaca buku itu karena mendadak dia merasa kalau suhu udara di dalam loteng menjadi sedikit panas.
Dia kembali menutup buku itu, kemudian menggendong Daffa menuruni loteng, kembali ke kamar. Buku itu Rena bawa serta. Akan dia baca di kamar saja. Siapa tahu lewat buku ini, Rena bisa mendapat informasi penting tentang rumah ini, atau hal semacam itu.
Tidak terlalu sulit untuk menggendong Daffa. Anak itu baru berusia tujuh tahun dan tidak terlalu berat. Gadis sepertinya masih bisa mengangkat Daffa, karena itu dia tidak butuh waktu lama untuk sampai di kamar.
Daffa langsung dia baringkan di atas tempat tidur, lalu menyelimutinya. Sedangkan dia beralih ke meja kecil penuh laci di samping ranjang, kemudian menyalakan lampu meja. Rena duduk di pinggiran ranjang, membaca buku yang dia temukan tadi.
Begitu membuka buku, Rena terkejut dengan isinya. Dia tahu kalau buku itu adalah buku harian seseorang, terlihat dari bagaimana model tulisannya. Di bagian atas ada tulisan tanggal dan hari, kemudian tulisan-tulisan lain yang lebih banyak. Yang jadi masalah adalah tulisan itu tidak berbahasa Indonesia. Rena tidak tahu apa artinya.
“Ah, ini bahasa apa?” gumamnya pada diri sendiri.
Kemudian Rena mengambil ponsel, mengetik satu kata yang ada di buku itu untuk diterjemahkan dengan mesin penerjemah berbasis daring. Ternyata itu bahasa Belanda dan yang artinya adalah menulis.
“Menulis?”
Rena kembali mengetik paragraf pertama, kemudian menerjemahkannya lagi.
“Hari ini ayah memberiku sebuah buku sebagai hadiah. Ayah memang tahu kalau aku sangat suka menulis. Ini hadiah yang luar biasa, tapi aku tidak tahu harus menuliskan apa di lembar awal buku ini,” kata Rena membaca tulisan yang tertera di layar ponselnya.
Kemudian dia meletakkan ponsel dan membolak-balikkan halaman. Buku itu cukup tebal dan lembar yang ditulisi sudah hampir satu buku. Dia merasa tidak mungkin untuk menerjemahkan semua walaupun penasaran akan isinya.
“Bisa bengkok nih tangan kalau mau ngetik semuanya,” celetuknya disusul helaan napas berat.
Rena terus membolak-balik lembaran buku itu, melihat sekilas pada isi tulisannya. Siapa tahu ada yang menarik perhatiannya. Melewati pertengahan buku, Rena mendapati satu kata yang diketahuinya, yaitu Hindia Belanda. Dia kembali mengambil ponsel dan mengetikkan paragraf pertama buku itu dan menerjemahkannya.
“Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya aku sampai di Hindia Belanda. Sungguh melelahkan sekali, tapi cukup terbayar karena negeri ini memang indah seperti yang dikatakan ayah. Walau sebenarnya tetap saja aku merasa Netherland lebih indah.” Rena membaca kalimat yang tertera di layar ponselnya. “Ah, jadi ini pertama kalinya dia ke Indonesia.”
Rena mengetik lagi tulisan selanjutnya sampai selesai, menerjemahkan semua tulisan yang ada di lembaran itu.
“Saat ini aku berada di kediaman Tuan William. Sama seperti dugaanku, Kak Sophie sedang merajuk karena harus tinggal di negeri ini, padahal dia sangat mencintai Netherland. Bagiku tinggal di sini tidak terlalu buruk, terlebih lagi Kak Sophie diperlakukan sangat istimewa di sini. Banyak pesuruh yang melayani Kak Sophie dan Tuan William. Perlakuan Tuan William juga cukup baik. Dia suami dan kakak ipar yang baik. Kuharap Kak Sophie mulai merasa nyaman tinggal di sini.”
Tuan William dan Sophie disebut-sebut, membuat Rena terkejut. Saat itu jantungnya kembali berdetak kencang. Tidak salah lagi, ini pasti Tuan William dan Sophie yang memiliki rumah ini dulu dan juga buku harian ini pasti milik adik Sophie. Rena ingat Dara pernah menyebut tentang adik Sophie satu kali saat bercerita. Namanya Anna, ya benar, Anna.
Tulisan yang kehilangan beberapa huruf di sampul buku akhirnya menjadi sedikit jelas. A_n_ van D_ Beele\, pasti maksudnya Anna van De Beele. Ya\, tidak salah lagi pasti itu. Rena pernah mendengar nama van De Beele\, jadi kemungkinan besar itulah nama Anna. Mungkin juga bukan\, bisa saja Anna memiliki nama belakang lain. Namun itu bukan masalah besar\, yang penting sekarang dia tahu kalau buku harian ini milik Anna.
Rena bisa mencari informasi lewat buku itu. Anna pasti akan menuliskan apa yang terjadi di buku hariannya. Ah, ini mulai menarik, pikir Rena.
Kembali dia buka lembar berikutnya, tapi hanya ada satu kalimat saja. Dengan segera Rena menerjemahkannya.
“Aku tidak bisa hidup seperti ini,” baca Rena. “Eh, tadi perasaan senang-senang aja, kenapa sekarang malah begini?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Rani
serius ini novel horror yg bgs bgt, hidup bgt serasa nonton film horror
2020-08-12
3
Nur
tetap semangat thor😊😊😊
2020-02-24
1