“Kenalin, Kak. Ini Dara, teman aku. Dia tinggal di perumahan ini juga,” kata Rena memperkenalkan gadis itu pada Rana dan Yudha, kemudian beralih pada Dara. “Ra, ini Kak Rana sama Kak Yudha.”
Dara berusaha menampilkan senyum seramah mungkin ketika Yudha menatapnya dengan pandangan yang dalam dan alis berkerut. Dia maklum, dandanannya memang masih nyentrik seperti biasa. Dengan eyeliner tebal dan lipstik ungu tua, serasi dengan warna cat di ujung rambut sebahunya. Tidak heran jika Yudha menatapnya seperti itu. Yang membuatnya heran adalah respon Rana, wanita itu malah menyambutnya dengan senyum cerah. Sama sekali tidak kelihatan mempermasalahkan penampilan Dara.
“Jadi ini yang namanya Dara?” tanya Rana sambil menyalami gadis itu. Dara langsung menyambut uluran tangan Rana. “Kemarin Daffa banyak cerita tentang kakak-kakak yang datang ke sini buat ngajakin dia main katanya. Daffa senang banget rumah jadi ramai. Makasih yah, Dara.”
Dara hanya mengangguk kecil sambil tersenyum.
“Oh iya, Kak. Dara mau nginap di sini malam ini, boleh?” tanya Rena kemudian.
Setelah pembicaraan mereka terpotong oleh Marvin, Dara memutuskan untuk menginap di rumah Rena, ingin membicarakan lebih jauh tentang buku itu. Dan jujur saja, sebenarnya Dara juga ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana keadaan rumah itu.
Dari dulu dia beberapa kali mendatangi bangunan ini saat kosong, tapi dia tidak pernah sampai bermalam di dalamnya. Hanya datang sebentar, mengecek, kemudian pergi lagi setelah tidak menemukan apa pun. Kali ini dia sudah mengenal salah satu penghuni rumah ini, dan itu adalah kesempatan yang tidak boleh dia lewatkan.
Rena sudah bercerita kalau semalam dia mengalami kejadian yang cukup mengerikan. Dara bukannya mau menantang untuk merasakan kejadian yang sama, tapi dia ingin melihat apa saja yang mendiami rumah ini. Jika memang akan ada yang terjadi nantinya, toh dia bersama dengan Rena. Setidaknya mereka berdua, tidak sendirian ketika hal mengerikan itu terjadi.
“Menginap? Kenapa?” Yudha bertanya.
“Begini, Kak. Orangtua Dara ‘kan udah lama meninggal. Dia cuma tinggal sama kakeknya sekarang. Nah, kakeknya itu lagi pergi ke rumah salah satu saudaranya. Dara emang sengaja gak ikut. Jadi daripada dia sendirian di rumah, aku ajak dia buat nginap di sini. Gak apa-apa, ‘kan?” Rena dengan cepat menjawab. Dia tahu kalau Yudha merasa ragu pada Dara, mungkin karena penampilan Dara yang tidak seperti gadis pada umumnya. Namun Rena akan terus meyakinkan Yudha bahwa teman barunya itu memang baik. Tidak perlu dikhawatirkan.
“Gak apa-apa, kok.” Kali ini Rana yang bicara. “Kamu bisa tidur di kamar Rena.”
Yudha tidak mengatakan apa pun lagi, hanya mengangguk kecil lalu masuk ke dalam rumah. Rana juga ikut masuk. Mereka berdua memang baru pulang dari kantor saat Rena dan Dara duduk di beranda depan dengan Daffa yang bermain mobil-mobilan.
Hari sudah sore, angin berembus dengan kencang. Rena menarik tangan Dara untuk masuk. Setelah melewati ambang pintu, Dara merasa ada yang meniup tengkuknya. Sontak hal itu membuatnya berbalik, tapi tentu saja tidak ada apa pun yang terlihat di sana.
“Kenapa?” Rena menatap Dara dengan pandangan bertanya.
“Biasa,” jawab Dara singkat. “Gak apa-apa, kita masuk aja.”
***
“Mana tulisan yang lain, gue mau lihat.”
Saat itu mereka sudah selesai makan malam. Mendengar cerita Rena tentang lampu dapur yang mati, membuat Dara makan sambil menunggu-nunggu kejadian itu terjadi lagi. Namun sampai mereka selesai makan, tidak ada apa pun yang terjadi. Daffa sedang ingin bersama orang tuanya, jadi Rena dan Dara memutuskan untuk masuk ke kamar saja dan melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda.
Rena mengeluarkan ponsel dari saku celana, mencari tulisan yang Dara maksud lalu menunjukkannya.
“Nih, coba baca.”
Dara mengambil ponsel, dalam hati membaca tulisannya yang tertera di sana. Keningnya sempat berkerut, lalu dia menatap Rena dengan air muka minta penjelasan.
“Gue gak paham maksudnya. Lo paham?”
Rena menggeleng. “Aku udah beberapa kali baca tulisan itu, tapi tetap gak nemu apa maksudnya.”
“Aneh banget nih tulisan. Nih, gue baca ulang, yah.” Dara pun kembali membaca tulisan itu. “Darah. Aku melihatnya. Bagaimana kalau orang akan tahu hal ini? Apa yang harus kulakukan? Papa bilang kalau semua akan baik-baik saja, tapi nyatanya semua berjalan dengan buruk. Setiap harinya seperti nereka. Aku melihatnya berjalan. Darah. Api. Ya, mereka bermain-main dengan api. Sungguh aku takut sekali.”
“Aku sih nangkapnya beberapa aja,” timpal Rena. “Yang main api itu, kayaknya dia nulisin itu gak secara harfiah, deh. Mungkin maksudnya secara tersirat. Main api ‘kan biasanya sama dengan selingkuh. Menurutku, sih.”
Rena yang duduk di atas tempat tidur, menarik selimut sampai ke pinggang. Dara duduk di sampingnya, masih terus melihat tulisan yang ada di ponsel.
“Kayaknya emang gitu, sih. Tapi yang dia maksud dengan darah ini apa? Darah beneran? Kalau emang beneran, itu darah siapa? Atau darah apa? Tulisan selanjutnya udah kamu terjemahin?”
“Udah, tapi tetap aja gak ada penjelasan tentang darah itu. Soalnya gak disebut-sebut lagi. Baca aja, ada di tulisan berikutnya, kok.”
Mendadak jendela kamar terbuka, padahal sebelumnya Rena sudah menutupnya. Tirai-tirai bergerak tertiup angin, kencang sekali. Anehnya, Dara dan Rena malah merasa suhu di kamarnya meningkat drastis. Panas sekali.
“Wah, mulai nih kayaknya,” ujar Dara dengan nada datar. Dia berjalan ke arah jendela, berniat menutupnya. Gerakan tangannya terhenti ketika pandangannya terarah pada satu tempat di halaman samping rumah. “Rena, coba lo ke sini bentar, deh. Gue gak salah lihat ‘kan ini?”
Rena turun dari ranjang dan mendekati Dara yang memegangi tirai agar tidak bergerak-gerak.
“Apa?”
“Itu, di sana. Lo lihat gak ada laki-laki yang berdiri di samping rumah? Itu yang pakai topi. Perasaan gue aja atau itu emang sama dengan yang ada di gambaran Daffa.”
Rena melihat ke arah yang sama dengan Dara. Memang benar, ada seseorang yang berdiri di halaman samping rumahnya. Jelas seorang lelaki kalau dilihat dari pakaiannya. Jas, celana panjang dan topi fedora.
Sontak Rena terkejut. Jantungnya berdegup dengan kencang dan bulu kuduknya berdiri. Dia merinding. Pemandangan ini sama persis seperti yang ada di mimpinya dulu. Pria bertopi fedora yang ketika berbalik
akan lepas kepalanya.
“Udah, Ra. Tutup aja jendelanya. Aku ada perasaan gak enak. Soalnya aku pernah mimpi kayak gini.”
Dara menutup jendela dan menguncinya. “Maksud lo?”
“Aku pernah mimpi juga ngelihat sosok itu. Waktu dia noleh, kepalanya tiba-tiba lepas. Aku gak tahu apa yang udah terjadi sama dia, tapi kayaknya dia juga ada hubungannya dengan masa lalu kelam yang udah terjadi di rumah ini.”
Rena merasa aneh dengan dirinya sendiri. Pasalnya saat itu dia merasa merinding, tapi malah bercerita seolah-olah yang dia lihat itu adalah hal yang biasa. Keberadaan Dara membuatnya menjadi lebih berani dari sebelumnya.
Dara hanya diam, kembali memandangi sosok yang masih berdiri di halaman samping itu. Dia jadi penasaran, apakah sosok itu akan menoleh dan membuat kepalanya lepas seperti yang Rena ceritakan. Beberapa saat kemudian ada sesuatu yang terjadi. Hanya saja yang terjadi itu berbeda dengan yang Dara tunggu. Sosok yang dia lihat tadi masih berdiri di tempatnya dan kini Dara merasa ada sosok lain yang berdiri tidak jauh di belakangnya. Tentu saja bukan Rena.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Rani
keren bgt thor..... seru nih dara sm rena mulai diteror
2020-08-12
4
Melisa Anggi
jadi merinding nihh baca cerita ini
2020-04-25
2
Sastro
wasyu merinding enyonge kumpreeettt
2020-03-27
1