Bagian 8

“Kak Arsya!”

Rena baru saja dari dapur membuatkan Daffa susu, sekaligus membawakannya camilan ketika dia mendengar suara keponakannya memanggil Arsya. Dia mempercepat langkah, untuk memastikan kalau pemuda yang dikenalnya kemarin itu benar-benar datang.

Dan benar saja, Arsya sudah berdiri di depan pintu masuk. Marvin ada di samping kanannya, tersenyum lebar sambil menggerak-gerakkan alis naik turun. Di samping kiri Arsya berdiri seorang gadis berpenampilan nyentrik yang Rena tidak tahu siapa.

“Hai,” sapa Marvin. “Boleh masuk gak, nih?”

Rena mengangguk sambil tersenyum. “Boleh, kok. Silakan,” katanya, kemudian menyimpan nampan berisi segelas susu dan sepiring biskuit di atas meja kaca. Mereka saat itu berada di ruang tamu.

“Sorry nih, kita ngeganggu pagi-pagi begini,” kata Arsya setelah duduk di sofa hitam metalik. Marvin dan gadis yang bersamanya juga ikut duduk.

“Jangan salahin gue, yah. Salahin noh si Dara. Dia pas tahu rumah ini udah ada yang tinggalin dan tahu kalau salah satu penghuninya seusia kita, dia langsung maksa buat ke sini. Padahal ‘kan agak siangan atau sorean juga bisa.”

Marvin melirik sebal pada gadis yang ternyata bernama Dara, sedangkan yang dilirik hanya diam saja. Tidak peduli dengan ocehan-ocehan teman laki-lakinya.

“Jadi lo yang namanya Rena?” tanya Dara langsung. “Kenalin, gue Dara Purnama.” Tangannya diulurkan untuk bersalaman.

Rena memandang gadis itu, gadis yang dari tadi cukup mencuri perhatiannya. Dara Purnama, dari namanya saja sudah unik, seunik penampilannya. Rambutnya pendek sebahu dan dicat warna ungu di ujungnya. Eyeliner Dara cukup tebal, dan lipstiknya hitam, warna yang tidak mungkin digunakan gadis lain atau perempuan mana pun yang mengagungkan kecantikan.

Penampilan yang cukup berani. Bukannya gaun atau baju feminim lain, Dara memakai kaos hitam bergambar tengkorak dan celana jeans yang robek-robek di bagian pahanya.

Dara tidak mengatakan apa pun lagi setelahnya, hanya menyunggingkan seringai yang terlihat kejam. Rena mengingatkan dirinya untuk tidak cari masalah dengan gadis itu. Karenanya, dia dengan cepat membalas uluran tangan Dara yang mengajak bersalaman.

“Gak usah canggung gitu sama gue, santai aja,” ucap Dara lagi setelah jabat tangannya dilepas.

Rena tidak tahu harus mengatakan apa, tapi juga dia tidak ingin mengabaikan si gadis begitu saja. Saat dia sudah

menemukan kalimat yang pas sebagai balasan, Marvin duluan angkat bicara.

“Ya gimana dia gak takut, lo aja udah nyeremin gitu. Gue aja pertama ketemu sama lo juga gak nyantai, Ra.”

“Itu sih lo-nya aja yang penakut.”

“Malah nyalahin gue. Lo tuh ibaratnya kayak pribahasa tahu, gak. Dia yang buruk rupa tapi cermin yang dibelah.”

“Jadi maksud lo gue buruk rupa?” Dara melotot, yang terlihat mengerikan karena eyeliner hitam di matanya.

“Ya gue sih gak menjurus ke arah situ sebenarnya. Yang gue maksud tuh lain, tapi kalau lo emang ngerasa gitu yah mau gimana lagi. Mungkin emang benar.”

“Hei, udah! Kalian berdua malah berantem. Bukannya tadi gue udah bilang kalau udah nyampe sini jangan ada yang berantem? Mau gue suruh Rena ngusir kalian?” Arsya melirik kesal pada Marvin dan Dara. Rena cukup terkejut mendengar Arsya ber-elo-gue dengan Marvin dan Dara, sedang ketika berbicara dengannya malah ber-aku-kamu.

“Halah, itu cuma akal-akalan lo, Sya. Biar kalau gue sama Marvin diusir, lo bisa berduaan sama Rena. Lo kalau modus yah modus aja, gak usah bawa-bawa gue sama Marvin. Pakai dijadiin alasan biar bisa berduaan segala lagi. Dasar!”

Rena terkejut, tidak menyangka Dara akan mengatakan hal semacam itu, terlebih lagi di depan Rena langsung. Rena menatap Arsya, melihat kalau pemuda itu juga sama terkejutnya. Saat tatapan mereka bertemu, Arsya tersenyum canggung dan menggaruk bagian belakang kepala.

“Sorry, Dara kalau ngomong emang gak bisa direm. Mulutnya kadang minta dilakban. Maklum aja ya, Ren.”

Dara ingin protes, tapi langsung dibungkam oleh Arsya dengan tatapan tajam. Rena baru kali itu melihat Arsya menatap setajam itu. Seperti sosok yang lain. Kemudian dia mengembus napas dengan keras, dia memang tidak tahu apa pun tentang Arsya dan dua orang lain yang ada di depannya.

“Btw, rumah kok sepi banget. Kakak kamu ke mana?” Marvin celingukan, mencari-cari sosok yang mungkin saja terlihat di matanya.

“Papa sama mama kerja, Kak. Jadi Daffa cuma berdua sama Tante Rena,” Daffa menjawab, setelah dari tadi hanya diam memerhatikan pertengkaran Marvin dan Dara, juga Arsya yang terlihat lucu di matanya. Dia kira hanya anak seumurannya yang bisa bertengkar karena hal konyol seperti tadi, ternyata orang dewasa juga bisa.

Marvin mengangguk, kemudian berpindah tempat duduk ke sofa yang diduduki Daffa. Sofa itu memang muat dua orang, tidak seperti yang ditempati Rena, hanya muat satu orang saja. Di atas meja kaca, di samping nampan tadi ada gambaran Daffa yang dari tadi dia warnai. Marvin mengangkat gambaran itu dan memerhatikannya sebentar.

“Daffa suka ngegambar?”

“Suka, Kak. Ini Daffa gambar kemarin. Bagus, gak?”

Marvin mengangguk, tapi keningnya berkerut. “Gambarnya sih bagus, tapi ini siapa? Pacarnya Tante Rena, yah?”

Marvin sengaja menekankan kata Tante Rena di akhir kalimatnya, bermaksud menggoda. Rena hanya mencibir kesal, sengaja, tapi dia tidak benar-benar kesal.

“Bukan. Tante Rena gak punya pacar, Kak. Ini tuh paman yang Daffa lihat di belakang rumah dua hari yang lalu, waktu Daffa baru pindah ke sini.”

Marvin diam, tidak mengatakan apa pun. Arsya dan Dara juga mendadak berhenti dari aksinya saling lempar tatapan tajam. Rena memerhatikan ekspresi tiga teman barunya dan dia sadar kalau mereka juga merasa ketakutan. Namun apa yang membuat mereka ketakutan? Apa mungkin mereka juga pernah melihat sosok itu?

Mendadak Rena ingin tahu tentang rumah ini, apa saja yang sudah terjadi di sini sampai-sampai saat pertama kali datang, dia sudah disapa oleh hantu yang berdiri di kamar mandi. Ngomong-ngomong soal kejadian itu, Rena tidak mengalaminya lagi. Meski dia sedikit merasa ngeri, tapi masuk ke kamar mandi bukan menjadi suatu masalah

lagi. Sekarang dia berani, selama hantu itu tidak menampakkan diri.

“Oh iya, kalian semua tinggal di daerah sini sejak kapan?” tanya Rena kemudian, berusaha mengusir hawa-hawa

mencekam yang berdenyar di sekitar mereka.

“Aku dari lahir udah di sini, tapi keluarga Marvin sama Dara yang lebih lama. Emang kenapa?” Arsya menjawab. Wajahnya kembali normal seperti biasa, tidak ada lagi sisa-sisa ketakutan di sana.

“Gak apa-apa, kok. Cuma nanya aja. Aku ‘kan baru di sini, jadi cuma mau tahu-tahu aja.”

“Kalau lo pengen tahu daerah sekitar sini sih serahin ke gue aja. Ntar gue ajak keliling.”

“Lo jangan modus-modus ke Rena, yah. Awas aja.” Dara memukul kepala Marvin. Memang tidak terlalu keras, tapi pasti tetap ada sakitnya. Kemudian Dara berpaling ke arah Rena. “Gak usah ke Marvin, ke gue aja. Lagian kita ‘kan sama-sama perempuan, jadi pasti lebih enak akrabnya.”

“Jadi lo masih nyadar kalau lo itu perempuan? Gue kira udah lupa. Secara dandanan kayak te—”

“Marvin, udah!” Arsya menutup mulut Marvin dengan biskuit Daffa.

Seketika Rena teringat. Tadi dia ingin menawari tiga tamunya minum, tapi Marvin dan Dara terlalu asyik berdebat sampai Rena lupa akan tujuannya. Sekarang dia merasa seperti tuan rumah yang tidak baik.

“Oh iya, maaf kelupaan. Kalian mau minum apa?”

“Gak usah repot-repot.”

“Orange juice juga boleh tuh, tapi kalau gak ada air putih aja gak apa-apa.”

Marvin dan Arsya bicara bersamaan. Dara memandangi mereka dengan tatapan geli, sedangkan Rena tertawa. “Oke, tunggu kubuatin dulu, yah.”

“Rena, aku bantu, yah.”

Rena tidak sempat memberi penolakan, karena Dara sudah berdiri di sampingnya, mengapit lengannya kemudian menyeretnya masuk ke dapur. Sesampainya di sana, Dara langsung bicara.

“Gue tahu sebenarnya ada yang ngeganggu pikiran lo, ‘kan? Makanya lo nanya ke kita tadi udah berapa lama tinggal di daerah sini. Mungkin tadi lo sungkan karena ada Arsya, Marvin sama Daffa, tapi sekarang cuma kita berdua. Lo kalau mau nanya sesuatu tanya aja.”

“Kamu tahu dari mana?”

“Kelihatan banget dari muka lo. Gue ini meski tampilannya begini tapi kalau soal urusan ngebaca orang nomor satu. Gak usah ditanya lagi, deh.”

Rena diam sebentar, lalu dengan ragu-ragu bertanya, “Kamu tahu tentang sejarah rumah ini?”

“‘Kan bener, lo pasti udah ngerasa ada yang aneh sama tempat ini. Gak mungkin kalau gak ngerasa apa-apa. Wajar, sih.”

“Emangnya apa yang udah terjadi di sini. Tadi juga waktu Daffa bilang tentang sosok yang di gambarannya itu, muka kamu, Arsya sama Marvin juga berubah. Aku mungkin gak sehebat kamu ngebaca orang, tapi aku tahu kalau kalian juga sama takutnya kayak aku.”

“Gue sih lebih ke kaget daripada takut sebenarnya,” sanggah Dara. “Tapi kami emang udah gak asing lagi sama cerita itu, pria bertopi fedora. Tapi sebelum sampai ke sana, lo harus tahu tentang rumah ini dulu. Beneran mau denger, gak? Gue kasih peringatan di awal, yah. Cerita ini beneran bikin merinding satu badan. Asli. Masih mau denger?”

“Kalau dengan begitu semuanya jadi jelas, gak apa-apa. Aku mau denger.”

“Jadi, rumah ini dulunya ….”

Terpopuler

Comments

Tazkia Meilana Nugraha

Tazkia Meilana Nugraha

mna dirumh sendri baca ini lg biar siang jg

2021-04-02

1

☠ᵏᵋᶜᶟRoss"kita" 𝕱𝖘🏚ᵉᶜ✿

☠ᵏᵋᶜᶟRoss"kita" 𝕱𝖘🏚ᵉᶜ✿

pada zaman dahuluuuuu.... kepala nya langsung agak dongak ke atas.... menghayal wkwkwk

2021-02-03

1

Song Hyun In

Song Hyun In

Thorrr gantung😭

2020-07-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!