Rena berusaha menenangkan diri sebelum masuk ke kamar Daffa. Dia tidak ingin terlihat ketakutan oleh Rana. Bagaimanapun bangunan ini adalah rumah baru kakaknya. Tidak lucu jika dia menceritakan hal-hal seram tentang tempat itu pada yang punya rumah.
Dia mengambil napas dalam dan mengembuskannya dengan pelan. Terus begitu sampai detak jantungnya yang semula cepat, perlahan berangsur normal. Ditepuknya wajah dengan pelan, seolah ingin mengusir pucat yang entah kenapa Rena yakin sempat menghiasi wajahnya.
Setelah yakin kalau ciri-ciri orang yang habis melihat setan pada dirinya menghilang, Rena beranjak mendekati pintu di depannya. Pintu itu baru saja ingin dia buka, ketika lagi-lagi terbuka dari dalam. Rana berdiri sambil memandangnya, sedikit terkejut mendapati Rena sudah berdiri di sana.
“Baru mau kubuka,” kata Rena, tersenyum. Berusaha terlihat sesantai mungkin.
Rana balas menyunggingkan senyum dan berkata, “Kakak mau panasin makanan dulu. Tadi pagi udah masak, tapi pasti sekarang udah dingin. Kamu belum makan, ‘kan?”
“Udah tadi. Waktu Kak Rana nelepon itu aku baru aja selesai makan,” Rena menjawab, “tapi perjalanan dua jam ke sini bikin laper lagi. Gak tahu kenapa.”
Rana tertawa kecil. “Ya udah, kakak juga laper, belum sempat makan tadi. Nanti kalau udah kita makan sama-sama, yah.”
Rena mengangguk, kemudian Rana melangkah pergi.
“Titip Daffa,” pesan Rana lagi sebelum menuruni anak tangga.
“Siap. Kak Rana tenang aja.”
Rena masuk setelah Rana sudah tidak terlihat lagi. Hal pertama yang dia rasakan saat melihat bocah tujuh tahun terbaring dengan keadaan kepala diperban dan kaki digips itu adalah sesak. Segera dia mendekati Daffa, mengelus pelan kepala anak itu.
Dia sebenarnya tidak bermaksud untuk mengganggu Daffa, hanya saja Rena tidak bisa menahan kerinduannya lagi, tidak bisa menahan untuk tidak menyentuh keponakannya. Ditambah melihat kondisi Daffa, rasanya ingin sekali memeluk anak itu. Tanpa sadar matanya mulai berair, pandangannya buram. Rena menyeka air mata yang muncul di sudut mata dengan punggung tangan. Lalu duduk di pinggiran kasur.
Anak itu entah karena memang mengantuk atau lelah, tapi jelas tidurnya pulas sekali. Sampai tidak terganggu dengan gerakan-gerakan yang dibuat Rena. Beberapa saat Rena habiskan untuk memandangi keponakannya. Wajah bocah itu terlihat damai sekali ketika tidur. Perasaan sedih kembali merayapi hatinya, tapi langsung ditepis. Setidaknya Daffa baik-baik saja sekarang. Kepalanya memang diperban, tapi tidak ada luka serius. Meski butuh
waktu, kakinya yang patah pada akhirnya akan sembuh juga. Tidak ada alasan untuk merasa sedih berkepanjangan.
Rena mengalihkan pandangan, menjelajahi setiap sudut ruangan dengan netranya. Kamar Daffa dan kamarnya hampir sama. Ada jendela besar yang menjadi akses untuk melihat pemandangan di halaman samping rumah dan kamar mandi sendiri dalam kamar.
Menyadari hal itu, Rena kembali teringat akan kejadian yang sempat dia alami di kamarnya. Air mengalir sendiri dari keran dan ada sosok yang berdiri di belakangnya, berada di dalam kamar mandi.
“Gak, gak.” Rena menggeleng dengan kuat, berusaha mengusir gambaran itu dari kepalanya. “Aku ke sini buat jagain Daffa, gak boleh ketakutan gini. Setiap rumah emang pasti ada penunggunya. Berhubung aku orang baru, mungkin dia cuma pengen nunjukin diri aja buat nyapa. Gak boleh takut pokoknya.”
Sugesti-sugesti itu nyatanya berhasil membuat Rena tidak lagi merasa takut ketika melihat pintu kamar mandi atau cermin di lemari Daffa. Setidaknya untuk saat itu. Matanya kembali menelusuri kamar. Ada satu dinding, tepat di sisi bagian pintu masuk, dihiasi tali-tali yang dipasang secara melintang. Gambaran-gambaran Daffa digantung di sana.
Rena tersenyum melihat hal itu. Daffa memang sangat senang menggambar. Bahkan ketika teman-temannya di Taman Kanak-kanak bercita-cita jadi dokter, guru, astronaut atau artis, Daffa memilih menjadi pelukis. Karena itu Rena biasa membawa Daffa ke pameran-pameran lukisan di kota atau bertemu dengan teman-teman kampusnya yang suka melukis.
Pandangannya berlanjut ke meja penuh laci yang ada di samping tempat tidur. Di sana terdapat dua pigura, foto Daffa bersama kedua orangtuanya dan foto Daffa ketika bersama Rena. Juga sebuah kertas kosong—tidak, Rena baru sadar kalau kertas itu bukanlah kosong, melainkan terbalik.
Karena penasaran, Rena mengambil kertas itu, kemudian membaliknya. Di bagian yang tersembunyi tadi ada gambaran sosok laki-laki bertopi fedora. Digambar menggunakan krayon hitam. Meski tidak terlalu jelas dan terkesan seperti coret-coretan, tapi Rena tahu betul kalau itu adalah siluet seseorang. Daffa yang menggambarnya, jelas sekali. Namun siapa?
Daffa memang suka menggambar, tapi lebih sering menggambar hal yang dia lihat atau dia alami. Jarang sekali Daffa menggambar apa yang dia khayalkan. Tidak lebih dari tiga gambaran Daffa yang murni berdasarkan imajinasi bocah kecil itu.
Siapa sosok pria bertopi di gambaran itu? Apa dia pernah bertemu dengan Daffa? Kalau benar, di mana? Jika yang di gambaran itu bukanlah orang sungguhan, kenapa Daffa tiba-tiba memikirkan sosok seperti itu? Semua pertanyaan langsung menyerang Rena dalam waktu yang bersamaan. Membuatnya tenggelam dalam pikiran yang berpusat pada pria bertopi fedora dalam gambaran Daffa.
Pintu kamar terbuka, Rana masuk dengan rambut yang sudah terkuncir.
“Makanan udah siap. Ayo, makan,” katanya.
Rena sedikit terkejut, tapi dengan cepat mendapatkan dirinya kembali.
“Eh, iya. Oke-oke.”
Disimpannya kembali gambaran itu di atas meja, lalu berdiri. Rena masih sempat melihat Daffa sebelum mengikuti Rana keluar kamar, menuruni tangga dan menuju dapur.
“Kak Rana udah kasih tahu Kak Yudha?” tanya Rena setelah mereka duduk di meja makan. Dia tidak enak makan dalam diam, seperti membuat suasana menjadi canggung saja. Dia butuh pembicaraan, apalagi sudah lama tidak makan berdua dengan kakaknya seperti ini.
Rana menatap adiknya sebentar, kemudian mengangguk. “Iya, tadi kakak udah ngasih kabar lewat telepon. Tentu aja pas Daffa udah sadar, biar papanya bisa fokus dan gak terlalu khawatir. Papanya sekarang udah naik jabatan, jadi kerjanya lebih berat, tanggung jawabnya lebih besar. Takutnya pas denger Daffa jatuh dari tangga dia bakal kepikiran dan fokusnya keganggu.”
“Emang pas udah dikabarin Kak Yudha gak khawatir lagi?” Rena kembali bertanya setelah menelan makanan dari suapan pertamanya.
“Dia pasti khawatir, tapi kalau tahu Daffa udah gak apa-apa, dia bisa tenang. Paling nanti cuma nanya-nanya kenapa Daffa bisa jatuh.”
“Emangnya kenapa Daffa bisa jatuh?” Rena memang belum tahu. Saat menelepon tadi, Rana hanya mengatakan kalau anak itu jatuh, tapi tidak menjelaskan apa penyebabnya.
Rana terdiam sebentar, kemudian menjawab, “Kakak juga gak tahu kenapa Daffa bisa jatuh. Tadi kakak lagi bersih-bersih, pas udah selesai baru sadar kalau rumah terlalu sepi, gak ada suara Daffa. Pas kakak cari keluar, Daffa teriak dari dalam rumah. Kakak langsung lari, tahu-tahu Daffa udah jatuh dan gak sadar.”
“Syukur Daffa sekarang baik-baik aja.”
“Iya, syukur banget. Tadi kakak udah ketakutan, takut Daffa lebih parah dari patah kaki. Bisa-bisa Yudha beneran nyuruh kakak berhenti kerja.”
“Lho, emangnya Kak Yudha ada nyuruh gitu?”
“Iya, kemarin dia sempat ngebahas.”
“Bukannya sebelum nikah udah dibicarain, yah? Kok ada ngebahas lagi?”
“Gak tahu, Yudha ngerasa kalau Daffa butuh perhatian lebih aja. Oh iya, kuliah kamu gimana, lancar?” Rana sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Dia senang bicara dengan Rena, tapi tidak mau membahas tentang masalah rumah tangganya lebih lanjut.
Rena mengangguk kecil. “Sejauh ini sih lancar-lancar aja, belum ada nilai yang rendah atau sampai eror.”
“Ya bagus, jangan sampai eror pokoknya. Kalau bisa nanti lulus dengan IPK tertinggi.”
“Kalau itu sih gak janji,” sahut Rena, disusul tawa kemudian.
Rana juga ikut tertawa.
“Oh iya, Kak,” lanjut Rena lagi. “Tadi aku ngelihat gambar Daffa yang di atas meja.”
“Gambar yang mana?”
“Yang pakai krayon hitam, gambar laki-laki pakai topi fedora gitu.”
“Emang Daffa ada ngegambar gitu?”
“Lho, kakak belum lihat?”
Mereka berdua sama-sama bingung. Rana menggeleng. “Gak, kakak gak pernah lihat. Berarti itu gambar baru. Belum digantung juga, ‘kan?”
“Gambarnya sih ada di atas meja, tapi aku emang gak ngelihat bekas jepitan di bagian atasnya, jadi gambarannya
emang belum digantung kayaknya.”
“Berarti emang gambar baru,” ulang Rana. “Emangnya kenapa?”
“Aku cuma nanya-nanya aja, emang Daffa belakangan ini pernah ketemu sama laki-laki yang pakai topi fedora gitu?”
“Setahu kakak sih gak pernah, yah. Dia juga gak pernah nonton film yang pemerannya kayak gitu, deh. Gak tahu kalau misalnya dia ada ngelihat di jalan atau gimana, tapi rasanya gak mungkin. Daffa jarang keluar rumah.”
“Jadi yang di gambar itu siapa?”
“Kakak gak tahu, coba nanti tanya sama Daffa aja.”
“Apa mungkin dari imajinasinya dia, yah?”
“Bisa jadi, tapi tentu aja ada hal yang ngebuat dia tiba-tiba mikir kayak gitu. Nanti aja kita tanya Daffa kalau dia udah bangun.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
🐰Rere Kim:v
kayanya kalo di buat film keren nih
2020-06-24
5
senja
apakah si Cwo itu bakal deket ma Rena?
2020-04-09
3