Hari itu sudah sore. Bayangan pohon-pohon mulai memanjang dan angin berembus dengan kencang. Rena dan Daffa sedang duduk di beranda depan, bermain ular tangga ketika sebuah bola basket terpantul-pantul masuk ke pekarangan rumah kakaknya, berhenti di pinggir tangga beranda.
Rena dan Daffa sontak menoleh, mendapati dua pemuda yang berdiri di depan rumah dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Salah satu dari mereka terlihat terkejut, tapi hanya sebentar. Pemuda yang satu lagi berjalan sungkan ke arah Rena sambil tersenyum canggung.
“Sorry, Marvin tadi gak sengaja ngelempar bolanya terlalu jauh, jadi masuk ke sini,” kata pemuda itu.
Rena memandangi pemuda itu sebentar. Wajahnya cukup tegas, dengan rahang keras yang terbentuk jelas. Sorot matanya tajam, seperti mengintimidasi, berbanding terbalik dengan nada suaranya yang ramah ketika bicara. Hidungnya besar dan mancung, serasi dengan bibir tebalnya yang kini tersenyum, cukup memesona.
Kaos merah tanpa lengan dengan garis-garis hitamnya tampak baru, menampilkan lengan putihnya yang cukup berotot. Celana pendek hitam dan sepatu kets merah. Jelas dia sedang berolahraga. Basket, pasti basket, pikir Rena setelah melihat bola basket yang sudah berada di tangan pemuda itu.
Ketika dia melihat ada kerutan bingung di kening si pemuda, Rena segera sadar kalau dia sudah terlalu kentara mengamati pemuda itu. Cepat-cepat dia membalas tersenyum dan berkata, “Eh, iya, gak apa-apa. Tapi siapa Marvin?”
Pemuda yang ada di depannya memang tampan, dan jujur saja, keren. Namun, bukan itu yang membuat Rena berusaha membuat pemuda itu tidak segera pergi dari hadapannya. Sebenarnya Rena bukan tipe gadis yang suka mencuri-curi kesempatan seperti ini. Dia tidak bodoh. Dia bisa menebak kalau pemuda satunyalah yang bernama Marvin. Jelas, siapa lagi? Mereka hanya datang berdua.
Rena merasa ada sesuatu pada reaksi Marvin tadi yang sedikit mengganggunya. Pemuda itu terlihat terkejut saat melihat Rena dan Daffa, seperti melihat hal yang langka saja. Kenapa? Itu yang ingin Rena tahu. Mungkin jawabannya nanti akan sepele, meski begitu Rena tetap akan mencari tahu. Sifat alaminya dari dulu.
“Gue Marvin,” jawab pemuda yang satunya sambil tersenyum lebar, sampai giginya kelihatan. Dia menyeka keringat di dahi dengan punggung tangan, lalu mengibas-ngibaskan tangannya.
“Lo baru pindah ke sini?” tanyanya kemudian. “Kapan?”
“Bukan aku, tapi kakakku. Baru pindah kemarin, sih.”
Rena diam-diam juga memerhatikan Marvin, tapi tidak sejelas tadi. Tampang Marvin memang tidak begitu tampan, tapi tipe wajah yang disukai orang, yang kalau dipandang lama tidak membuat bosan. Selain dengan bibir, Marvin juga bisa tersenyum dengan matanya. Ketika tidak tersenyum, matanya menyiratkan sorot jahil. Singkatnya, Marvin ini tipe orang yang menyenangkan menurut Rena. Ada nada ramah dalam suaranya.
“Jadi yang punya rumah ini kakak lo? Kalian tinggal bareng?” Marvin mengipasi badan dengan kaos tanpa lengan warna putih garis-garis hitam yang dikenakannya. Dia terlihat kepanasan.
Rena mengangguk sebentar, kemudian menggeleng. “Ini emang rumah kakakku, tapi aku gak tinggal bareng.”
Marvin mengangguk-angguk kecil, mengerti. “Oh, iya. Nama lo siapa?”
“Panggil aja Rena.”
“Gak ada nama lengkapnya, yah?”
“Ada, kok. Mau tahu juga?”
“Kalau boleh, sih. Biar nanti gak ketukar sama Rena-Rena yang lain.” Marvin memainkan alis dengan jahil, membuat Rena tertawa geli.
“Ada-ada aja. Ya kali ketukar.”
“Ya bisa aja, ‘kan?”
“Emang ada Rena yang lain?”
Marvin mengusap-usap dagu, berpose seperti berpikir. Ekspresi seriusnya terlihat lucu bagi Rena. Kemudian beberapa saat setelahnya, Marvin berkata, “Gak ada, sih. Cuma lo doang.”
“Dih.” Rena tertawa. Marvin benar-benar konyol, tapi menyenangkan.
“Jadi nama lengkapnya siapa, nih?” tanya Marvin lagi, bersikeras ingin tahu.
“Rena Triyuliandari.”
“Oke, gue panggil Rena aja.”
“Lha. ‘Kan tadi aku emang bilang panggil Rena aja.”
“Maaf motong pembicaraan kalian,” kata pemuda yang satunya sebelum Marvin angkat bicara. Pandangannya saat itu terarah pada Daffa yang dari tadi hanya diam saja, tapi terus melihat ke arah bola basket dengan mata berbinar. “Adik kamu kenapa?”
Rena dan Marvin sontak ikut menoleh ke arah Daffa. Marvin terkejut, matanya membesar dan mulutnya sedikit menganga. Sepertinya dia baru sadar akan perban di kepala dan gips di kaki Daffa. Rena tersenyum kecil,
tapi ada sendu di matanya.
“Ini Daffa, dia bukan adik aku, tapi keponakan. Dia tadi … baru aja jatuh dari tangga. Jadi aku ke sini buat ngejaga dia. Mumpung lagi libur semester.”
“Jatuh dari tangga?”
Rena mengangguk. Pemuda itu mendekat dan menaiki tiga anak tangga sebelum menapak di beranda. Kemudian berjongkok di samping Daffa dan mengelus pelan kepala anak itu.
“Hei, Daffa. Aku lihat tadi kamu ngelihat terus bola ini. Kamu suka main basket?” Pemuda itu tersenyum lebar, tidak secanggung sebelumnya.
Daffa tersenyum lebar, kemudian menjawab, “Daffa suka ngelihat orang main basket, tapi belum pernah main basket.”
“Mau aku ajarin?”
Mata Daffa melebar dan senyumnya semakin cerah. “Boleh?”
Pemuda itu mengangguk mantap.
“Tapi kaki Daffa lagi sakit. Kata Dokter butuh waktu sebulan baru bisa sembuh, Kak. Jadi Daffa bisa main basketnya sebulan lagi. Emang gak apa-apa?”
“Gak apa-apa, kok. Nanti kalau sudah sembuh, baru aku ajarin main basket, yah.”
“Asyik!” seru Daffa gembira.
Rena menatap serius, tidak menyangka jika pemuda itu melakukan hal-hal seperti ini untuk menyenangkan keponakannya. Dia tidak tahu apa alasan pemuda itu melakukannya, tapi dari situ Rena tahu kalau pemuda
ini baik.
“Oh, iya. Nama kakak siapa?” tanya Daffa.
“Nama kakak Arsya.”
“Lengkapnya Arsya Natalawinata,” sahut Marvin, kemudian dia melihat ke arah Rena. “Sempat ada yang mau tahu.”
Rena hanya menanggapi dengan senyuman kecil.
“Daffa, besok kakak boleh ke sini?” tanya Arsya lagi.
Daffa mengangguk mantap. “Boleh!”
“Tapi kaki Daffa ‘kan belum sembuh,” balas Rena. Alisnya menaut, bingung.
“Cuma mau main aja, sih. Gak boleh, yah?” Arsya menatap Rena, air mukanya kembali berubah canggung.
Melihat itu Rena mendadak merasa bersalah. “Maksudku bukan gitu. Boleh, kok. Datang aja. Daffa senang banget itu kamu mau datang.”
“Gue juga boleh datang, yah?” Marvin ikut-ikutan.
“Datang aja. Rumah ini terbuka lebar buat kalian berdua.”
“Gini enak, nih. Mau nyuri ‘kan jadi gampang. Udah dikasih akses sama yang punya rumah.”
Rena terkejut. “Maksud kamu?”
Melihat ekspresi Rena yang kaget begitu, Marvin tertawa keras. Dia hanya bercanda, tapi ternyata ditanggapi begitu serius oleh Rena.
“Santai-santai,” Marvin menyeringai geli, “gue cuma becanda, kok. Kalau emang mau nyuri, gue gak bakal ngomong dulu. Nanti lo keburu tahu kalau gue mau nyuri.”
Entah kenapa Rena mengembus napas lega. Sedetik kemudian dia menyadari kebodohannya. Dari tadi Marvin sudah mencandainya, tentu saja pemuda itu suka melakukan lelucon. Termasuk soal mencuri tadi.
“Kamu ada-ada aja.”
“Jadi emang boleh, nih?”
“Apanya?”
“Nyurinya.”
“Ya gak boleh, lah!”
“Cuma boleh datang doang berarti.”
Marvin berpura-pura kecewa dan Rena lagi-lagi tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Phyrra Victorya
Syukur ada part yg gak tegang2 amat..😤😤😤
Udah lama bgt pengen baca ceritanya,,
Tp baru stngah part awal udar parno aja..
Apalagi sering di rumah sendirian sampai malam,,🥺🥺🥺
2020-10-28
4
Song Hyun In
Marvi luv deh
2020-07-27
2