“Lo serius? Lo ngalamin hal kayak gitu semalam?”
Dara menatap Rena dengan mata membelalak. Terkejut mendengar kalau semalam Rena mengalami hal mengerikan. Sore itu dia memang memilih datang bersama Arsya dan Marvin. Setelah memberi tawaran untuk membantu, Dara memang memberi Rena kebebasan untuk memilih ingin menerima atau menolak bantuannya.
Jujur saja, sebelum ini Dara memang mengharapkan Rena tetap tinggal di rumah itu, tapi setelah mendengar cerita Rena, entah kenapa Dara menjadi kembali ragu dengan keputusannya.
Dara tahu rumah itu berhantu, tapi dia tidak pernah mengalami hal mengerikan seperti yang Rena alami di sana. Dan dia mendadak merasa kasihan sekaligus merasa bersalah. Rena mengalami semuanya sendiri, pasti terasa sangat menakutkan baginya.
“Jadi lo tetap mau tinggal di rumah ini?” tanya Dara lagi, volume suaranya memelan.
Rena mengangguk kecil. “Aku mau kakakku tetap tinggal di rumah ini,” jawab Rena. “Aku belum cerita ke mereka sih tentang semuanya, tapi kayaknya emang mereka gak bisa pindah. Kak Yudha sendiri yang bilang kayak gitu, dan Kak Rana udah terlanjur suka sama rumahnya. Jadi satu-satunya pilihan yah tetap tinggal.”
“Tapi tadi malam lo baru aja dikerjain sama salah satu penunggu nih rumah. Masih yakin?”
“Karena mereka udah ngelakuin sesuatu yang gak nyenengin sama sekali, aku jadi pengen kasih tahu mereka kalau aku gak selemah yang mereka pikir. Bohong kalau aku bilang gak takut, semalam itu aku takut banget. Itu kejadian yang paling parah yang terjadi sampai saat ini. Beruntung aku gak sampai trauma.”
Dara tidak mengatakan apa-apa lagi. Pandangannya lurus ke depan, ke arah Daffa, Arsya dan Marvin yang bermain bersama. Saat itu mereka berada di halaman samping rumah. Marvin dan Arsya melakukan beberapa
pertandingan kecil dari beberapa permainan dan hal-hal remeh lain, Daffa menjadi juri sekaligus wasit pertandingan itu. Mereka tertawa bersama-sama. Suasananya beda sekali dengan Dara dan Rena yang diselimuti perasaan tidak
wajar dan canggung.
“Gue gak nyangka kalau lo sekuat ini,” sahut Dara tiba-tiba, tanpa menoleh pada Rena. “Gue awalnya pikir lo ini tipe cewek yang sering gue temui, cewek-cewek yang sok tapi sebenarnya gak punya nyali. Sorry, gue salah soal itu. Soalnya lo kelewat imut sih, sama kayak mereka.”
Rena tertawa mendengar dirinya dibilang imut. Lucu saja mendengar kalimat itu keluar dari mulut Dara.
“Aku sebenarnya gak nyangka bakal seberani ini juga,” aku Rena jujur, “tapi aku gak pernah sok-sokan loh. Aku bukan tipe orang yang kayak gitu. Dan satu lagi, aku gak imut, tapi cantik.”
Rena sadar kalau suasana di sekitar mereka akan selalu terasa aneh setiap kali membahas tentang rumah ini, jadi dia mencoba untuk membuat suasana menjadi lebih tenang dan menyenangkan dengan bercanda seperti itu.
“Dasar. Ya udah, lo yang cantik, gue yang burik. Gak papa, deh.”
Rena tertawa lagi. “Gak sampai burik juga kali, Ra.”
Dia kemudian mengamati baik-baik wajah Dara. Matanya indah, dengan bulu yang lentik. Hidungnya cukup mancung, cocok dengan bibirnya yang tidak terlalu tebal dan tidak tipis juga. Sebenarnya kalau diperhatikan lagi, Dara ini cantik. Jika dia merias wajahnya dengan riasan yang wajar, tidak senyentrik itu, pasti laki-laki akan mudah tertarik padanya. Rena mendadak penasaran dengan wajah Dara tanpa riasan. Pasti akan terlihat beda, dan bisa saja jadi lebih cantik.
“Lo kenapa? Ngelihat gue sampai segitunya,” tegur Dara.
Rena menggeleng pelan sebagai balasan. “Gak, kamu kalau dilihat-lihat ternyata cantik juga.”
“Geli banget ngedenger lo ngomong gitu.”
“Jangan salah paham!” Rena menepuk pelan lengan Dara, sambil tertawa.
Sepertinya perlakuan Rena itu sedikit membuat Dara terkejut. Tidak pernah sekali pun dia menyangka akan diperlakukan seramah itu oleh seorang gadis. Biasanya perempuan yang tinggal di dekat rumahnya atau yang pernah dia temui, tidak pernah mau menjadikannya teman. Bahkan untuk sekadar bicara saja mereka semua tidak mau. Baginya Dara adalah model perempuan yang aneh, yang tidak pantas untuk bergabung dengan mereka, gadis-gadis cantik yang berdandan sewajarnya. Hal itulah yang membuat Dara lebih dekat dengan Marvin dan Arsya yang notabene adalah laki-laki. Karena kedua anak itu tidak pernah mempermasalahkan tampilan Dara. Kebetulan yang lainnya adalah mereka tetangga.
Rena bisa melihat ekspresi terkejut di wajah Dara, lalu menyadari tingkahnya tadi mungkin sudah kelewat batas. Bagaimanapun dia belum terlalu akrab dengan Dara. Mungkin Dara merasa risih saat dia perlakukan seperti tadi. Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Rena segera meminta maaf.
“Kamu kelihatan kaget gitu, maaf, yah, Aku gak sadar tadi.”
Dara menaikkan alis, mencoba mencerna kalimat Rena.
“Gak apa-apa, sih. Gak usah minta maaf juga. Gue emang kaget, lo cewek pertama yang berani mukul gue tahu. Belum ada yang pernah mukul gue kayak tadi. Marvin sama Arsya aja gak pernah, tapi gak apa-apa. Gue jadi ngerasa kalau gue punya temen cewek. Konyol banget, yah.”
“Kamu gak punya teman cewek?” tanya Rena sedikit kaget.
“Ya gak lah. Teman cowok aja cuma dua. Tuh para curut.” Dara tertawa.
Rena merasa kalau itu tawa yang dipaksakan. Dia tersenyum, lalu menggenggam tangan Dara.
“Mulai sekarang teman kamu ada tiga dan kamu juga punya teman cewek. Jadi tenang aja.”
Dara menatap Rena dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan. Dia baru saja mengenal gadis itu kemarin dan sekarang Rena sudah menjadi temannya. Dara tidak pernah menyangka hal seperti itu akan terjadi. Baginya mendapat teman secepat itu adalah hal langka. Hidup memang penuh dengan kejutan, tidak pernah bisa ditebak, pikirnya.
“Oke, karena sekarang kita temenan, gue bakalan bantu lo lebih lagi.”
“Jadi sekarang kita harus ngapain? Jujur aja aku belum kepikiran mau ngapain.”
“Buku hariannya gimana? Udah kamu baca lagi?”
Rena memang sudah menceritakan semuanya pada Dara, temasuk buku harian Anna yang dia temukan di loteng rumah. Dara cukup terkejut sekaligus senang mengetahui ada benda seperti itu di sana.
“Udah beberapa lembar, tapi isinya gak begitu jelas. Kayak sengaja dibuat gitu. Ini aku masih ada hasil terjemahannya.”
“Dih, pakai translate.”
“Maklum aja, aku mana tahu bahasa Belanda. Emang kamu tahu?”
“Gak juga sih, tapi kakekku tahu.”
“Kita mau minta kakek kamu nerjemahin semua ini?”
“Kasihan.” Dara tertawa, Rena juga.
“Makanya pakai ini aja.”
Rena memberikan ponselnya pada Dara yang langsung membaca tulisan yang ada di sana dengan suara pelan.
“Aku baru saja mendapat gaun baru. Kukira ini hal baik, ternyata tidak. Melelahkan sekali. Apa aku harus bertahan? Setiap hari menjadi buruk, aku ingin kembali seperti dulu.”
“Gak begitu jelas, ‘kan?” tanya Rena.
Dara mengangguk. “Emang gak terlalu jelas sih maksudnya.”
“Coba baca yang lain, masih ada, kok.”
Tepat ketika Dara ingin membaca yang lain, Marvin mendekati mereka berdua.
“Lagi ngapain sih nih cewek berdua? Asik sendiri.”
“Ganggu banget, sih. Udah sana pergi!”
Dara mengembalikan ponsel Rena, tatapannya seolah berkata, ‘Nanti kita lanjutin.’
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
《》mochi🌚<aisyah>🍉
semangat ya thor,,cerita nya bagus dan alur cerita nya jg bisa bikin merinding
2020-07-13
3
Abil Abil
lanjuuut
2020-07-06
1