Bagian 2

Yudha terbangun dari tidurnya, merasa sangat panas sekali. Bahkan badannya berkeringat, piyamanya basah. Dia memang belum memasang pendingin ruangan, padahal dia sendiri sangat tidak tahan dengan hawa panas. Di sampingnya, Rana masih tertidur dengan pulas, seolah tidak terganggu sama sekali dengan suhu tinggi ini.

Dia sempat memerhatikan istrinya sebentar, menikmati wajah damai Rana. Wanita itu tetap cantik meski tertidur.

Bulu matanya cukup lentik dan panjang. Hidungnya mancung, serasi dengan bibir tebalnya yang sedikit terbuka.

Tiba-tiba Yudha merasa semakin kepanasan. Dia bangun dan keluar dari kamar. Semua lampu sudah dimatikan sebelum mereka tertidur tadi, tapi cahaya bulan terang yang masuk lewat celah tirai dan ventilasi sudah cukup untuk menjadi penerangan. Yudha menuruni tangga dengan hati-hati, kemudian menuju dapur.

Dia langsung mengambil gelas dan membuka kulkas, menuangkan air dingin untuk diminum. Begitu tenggorokannya tersegarkan, Yudha merasa tidak terlalu panas lagi. Dia baru saja ingin kembali ke kamar saat terdengar suara ketukan di pintu belakang.

Di dapurnya memang ada pintu untuk ke halaman belakang. Yudha melihat ke arah pintu itu sambil mengernyit, berpikir apakah dia tidak salah dengar. Dia diam untuk beberapa saat, memastikan kalau pintu itu memang seperti diketuk tadi.

Selama beberapa detik tidak ada apa-apa, jadi Yudha berpikir kalau suara tadi hanya ada di dalam kepalanya saja dan memutuskan untuk kembali ke kamar. Suara ketukan itu terdengar lagi sebelum Yudha benar-benar meninggalkan dapur, kini lebih keras dan lebih cepat.

Yudha berbalik dan berjalan mendekat ke pintu, memegang kenop dengan ragu-ragu. Ketukan itu tidak berhenti, setiap detik bertambah keras dan cepat. Siapa pun yang berada di luar sana, di balik pintu ini, adalah orang yang tidak tahu diri, pikir Yudha. Memangnya orang waras mana yang mengetuk pintu belakang rumah orang di tengah malam begini?

Pikiran itu menyadarkannya. Tidak mungkin ada orang waras yang akan melakukan hal seperti itu. Yudha menarik tangan dan bersikap awas, menatap pintu dengan tajam. Kemudian dia berjalan dan mencari ke sekeliling dapur, mengambil pisau daging setelah menemukannya berada bersama pisau lainnya.

Dia berdiri di belakang pintu, mengambil posisi seaman mungkin. Membuka pintu dengan cepat setelah memastikan di posisinya itu, dia tidak akan menerima serangan tiba-tiba—jika saja dilakukan—oleh orang yang mengetuk pintunya. Namun, Yudha malah tidak bisa berkutik setelah pintu terbuka.

Badannya seperti membeku sesaat, matanya sedikit melebar dan napasnya tertahan. Dia baru mendapatkan dirinya kembali saat mulutnya berseru tidak percaya. Tidak ada siapa pun yang berdiri di sana, dan sejauh mata memandang, Yudha hanya bisa melihat pohon-pohon di belakang rumahnya.

Bagaimana mungkin? batinnya. Pintunya jelas diketuk, tapi tidak ada orang yang mengetuk. Tadi dia membuka pintu dengan cepat, dan saat dia melakukan itu suara ketukan di pintu masih ada. Tidak mungkin orang yang mengetuk—jika memang orang—bisa lari secepat itu tanpa terlihat.

Yudha menutup kembali pintu dan menguncinya. Dia minum lagi segelas air sebelum kembali ke kamar. Pria itu tahu betul kalau dia baru saja mengalami hal aneh, jujur saja itu menempati cukup banyak tempat di kepalanya. Namun, dia tidak bisa terus memikirkan hal itu. Dia harus tidur, besok hari pertama setelah dia pindah ke kantor pusat dengan jabatan yang lebih tinggi setelah promosinya.

Sebelum menutup mata, Yudha berbalik ke arah istrinya lalu memeluk. Tidak lama kemudian, pria itu sudah tertidur. Terbangun saat merasa guncangan di tubuhnya, disusul suara Rana yang membangunkan.

Yudha mengerjap-ngerjap sebentar sebelum benar-benar membuka mata. Tirai kamarnya sudah terbuka lebar, cahaya matahari yang masuk masih redup dan kekuningan. Ternyata sudah pagi. Yudha bangun dan menatap istrinya yang sudah mengganti piyama dengan baju kaos longgar dan celana panjang. Dari rambut Rana yang basah, Yudha tahu kalau istrinya sudah mandi.

“Mandi, gih. Aku turun masak dulu.”

Setelah mengatakan itu, Rana segera keluar kamar. Yudha masuk ke kamar mandi, dia sempat memikirkan kejadian semalam, tapi hanya sebentar. Karena selanjutnya dia memikirkan tentang bagaimana dia menjalani hari pertama di kantor barunya.

Saat dia selesai dan turun ke dapur, Rana masih memasak. Daffa sudah duduk di salah satu kursi di meja makan. Tiba-tiba Yudha memikirkan tentang anaknya.

“Oh, iya. Sekolah Daffa gimana? Dia ‘kan harusnya udah masuk SD.”

Rana berbalik dan melihat suaminya. Dia tersenyum, kemudian berkata, “Iya, Daffa ‘kan baru selesai TK. Nanti aku yang daftarin dia di sekolah dekat sini. Kayaknya kemarin aku ngelihat ada sekolah pas kita ke sini. Daffa sekolah di sana aja, mau ‘kan?”

Daffa hanya mengangguk, tidak mengatakan apa pun. Rotinya masih ada separuh dan tidak dimakan lagi. Mereka sarapan seperti biasa, tidak ada yang spesial. Yudha berangkat kerja setelahnya, mencium kening istri dan pipi putranya sebelum pergi.

Rana masih berdiri di teras melihat mobil suaminya, baru masuk saat mobil itu berbelok di tikungan dan tidak

terlihat lagi. Dia beralih ke putranya yang terlihat tidak bersemangat sama sekali.

“Daffa kalau mau main, main aja, tapi jangan ke belakang rumah, yah,” kata Rana.

Daffa hanya mengangguk, tidak bertanya kenapa dia dilarang ke belakang rumah. Rana masuk dan melihat sekeliling sambil menghela napas panjang. Masih banyak yang harus dikerjakannya.

Wanita itu menguncir rambutnya, segera bergerak dengan gesit membersihkan dan memindahkan barang-barang yang menurutnya harus dipindahkan. Dia merasa beruntung karena benda-benda itu berukuran tidak terlalu besar, sedang dan tidak berat. Beberapa memang butuh tenaga saat mengangkatnya, tapi sisanya ringan. Dia tidak perlu memanggil tukang untuk membantu, dia bisa mengerjakan semuanya sendiri.

Rana baru selesai saat matahari sudah berada di titik kulminasi. Badannya bermandi peluh, tapi wajahnya semringah. Di tangannya ada segelas air dingin yang belum diminum, padahal dia sudah merasa

haus.

Dia menatap sebentar hasil kerjanya. Semuanya sudah selesai, bersih dan rapi. Dia juga ingat sudah mengeluarkan semua barang dari kardus dan menyimpan kardus-kardus itu di loteng. Semuanya selesai, tapi entah kenapa dia merasa ada yang kurang. Tidak tahu apa, tapi ada yang kurang.

Rana kemudian meminum airnya dan sadar akan sesuatu yang kurang itu. Dia merasa rumah terlalu sepi, padahal dia tidak sendiri. Harusnya ada suara Daffa yang dia dengar, atau melihat anaknya mondar-mandir, tapi dia tidak mendapati anak itu berada di sekitarnya. Rana mengintip dari jendela, Daffa tidak ada di halaman samping. Lalu dia keluar ke teras, hasilnya sama saja.

Rana baru saja ingin ke halaman belakang saat dia mendengar suara teriakan dari dalam rumah, suara Daffa. Dengan cepat Rana masuk ke dalam rumah, mendapati Daffa sudah terbaring dengan tidak sadar di anak tangga paling bawah. Posisi anak itu tidak wajar, jelas sekali kalau Daffa baru saja terjatuh dari tangga.

Rana khawatir, tapi dia tidak panik. Dengan cepat dia menelepon ambulans, kemudian membersihkan darah di kepala anaknya. Selama menunggu ambulans datang, Rana memikirkan untuk memberitahu Yudha atau tidak. Kalau dia menelepon, suaminya itu pasti akan khawatir, tidak akan fokus dengan kerjaannya, tapi suaminya harus tetap tahu keadaan Daffa. Rana bingung harus melakukan apa. Bahkan saat ambulans datang, dia masih belum mendapatkan jawaban yang mana harus dilakukannya.

Rana keluar dan memanggil petugas untuk segera masuk. Dia akan memikirkan itu lagi nanti, sekarang yang terpenting adalah pertolongan untuk anaknya. Rana berharap Daffa akan baik-baik saja, meski kelihatannya itu tidak terlalu mungkin. Bagaimanapun Daffa, bocah tujuh tahun itu, baru saja terjatuh dari tangga.

Dari posisi jatuhnya, Rana tahu kalau Daffa berada di tempat yang cukup tinggi sebelum terjatuh. Kepala Daffa menyentuh lantai, sementara badannya masih berada di anak tangga paling bawah. Posisi kaki kiri anak itu tidak wajar, pergelangan kakinya bisa saja patah dengan posisi seperti itu.

Mendadak Rana merasa ketakutan.

Terpopuler

Comments

NAURA AMANDA

NAURA AMANDA

horor bener dah

2022-05-15

0

Ananda Trizna

Ananda Trizna

.

2021-10-03

0

Udin Saparudin

Udin Saparudin

emang ceritanya horor

2020-04-15

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!