Episode 15

Rena baru saja membuka lembar berikutnya ketika dia dikejutkan oleh sesuatu yang menarik kakinya dengan keras. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ketika melihat sebuah tangan pucat memegang kakinya, gadis itu terkejut setengah mati. Rena ingin teriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.

Tangan itu membawa Rena menuju bawah ranjang, tempat di mana sosok wanita dengan wajah hancur menunggunya. Badannya sakit ketika dipaksa jatuh membentur lantai keramik, lebih sakit lagi ketika diseret masuk ke bawah ranjang. Hal itu terjadi begitu cepat, tidak memberi kesempatan pada Rena untuk membebaskan diri atau melakukan perlawanan.

Rena ketakutan setengah mati melihat siapa yang sudah bersamanya di sana, terlebih lagi badannya tidak bisa digerakkan. Sosok itu adalah hal mengerikan yang pernah Rena lihat seumur hidup. Wajahnya hancur, penuh luka-luka dalam yang membusuk dan mengeluarkan darah. Rongga mata sebelah kirinya kosong, sedangkan yang di sebelah kanan bola matanya mencuat keluar, seperti sudah ditarik paksa oleh seseorang.

Ada luka robekan besar di sepanjang bibir sampai telinga kirinya, memperlihatkan gusi dan gigi yang penuh ulat dan hewan menjijikkan lain. Rena hanya bisa menggerakkan kepala, menghindari jatuhnya hewan-hewan itu.

Sosok wanita itu sudah berada tepat di atasnya. Rena tidak tahu bagaimana ekspresi sebenarnya  dari hantu itu. Menyeringai, marah, atau apa dia tidak tahu. Pasalnya wajahnya benar-benar hancur.

“Mati ….”

Satu kata lolos dari mulut lebar sosok mengerikan itu. Rena menahan napas karena tidak kuat mencium bau yang keluar dari sana. Dia pernah mencium bau bangkai sebelumnya dan bau yang keluar dari hantu ini jauhlebih busuk daripada bangkai. Kepalanya terus menghindari belatung-belatung kecil yang berjatuhan ke arahnya.

Setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya Rena bisa mendapatkan kembali suaranya. Dengan tegas dia berkata, “Le-lepaskan aku!”

Mata kanan sosok itu semakin melebar, melotot tidak suka pada Rena. Rena takut kalau mata itu akan lepas dari tempatnya dan jatuh menimpa wajahnya. Dia bergidik membayangkan hal mengerikan itu. Apa yang terjadi saat ini benar-benar membuat jantungnya berdetak sangat cepat, seolah ingin melompat keluar dari dadanya.

Tangan yang memegangi kakinya tadi kini berpindah ke leher, bersiap mencekik. Baru kali itu Rena sadar kalau kedua tangan itu tidak tersambung dengan badan si hantu wanita. Dia semakin ngeri melihat kedua tangan itu bergerak sendiri, sedangkan si hantunya diam saja di atasnya.

“Mati …,” ucap sosok mengerikan itu lagi, dengan suara serak yang seperti geraman.

Pegangan tangan di leher Rena menjadi mengeras, mencekik gadis itu sampai tidak bisa bernapas. Ketakutan membayang di wajah Rena, pikiran-pikiran buruk berkelebatan dalam kepalanya. Apakah hidupnya hanya sampai di sini? Apakah nyawanya berakhir di tangan sosok mengerikan seperti ini? Apakah dengan cara begini dia akan mati? Lalu jika dia sungguhan akan mati, apakah keluarganya juga akan mengalami hal menakutkan ini?

Tepat ketika Rena tidak tahan lagi, napasnya sudah megap-megap, dia mendadak mendapat kembali kendali atas tubuhnya. Dengan kuat dia menendang hantu itu ke samping, dan menarik tangan yang terus mencengkeram lehernya.

Tergesa-gesa, Rena berguling keluar dari kolong tempat tidur. Bernapas dengan rakus, cepat-cepat mengisi paru-parunya yang hampir saja kosong tadi. Dia berlari menuju saklar yang ada di dekat pintu masuk dan menyalakan lampu. Mengedar pandang, menelusuri setiap sudut ruangan dengan muka pucat. Sosok mengerikan itu tidak terlihat lagi, pun kedua lengannya.

Dengan gemetar, Rena berjalan menuju ranjang. Memutuskan tetap menyalakan lampu. Rasa kantuknya sudah hilang, bisa dipastikan kalau gadis itu tidak akan bisa tidur sampai pagi.

Dia masuk ke dalam selimut, memeluk dirinya sendiri. Kejadian tadi cukup membuatnya terguncang. Tanpa sadar Rena menangis. Banyak sekali yang ingin dia katakan saat itu, tapi tidak ada satu pun yang terucap. Dia benar-benar gila kalau terus mengalami kejadian seperti ini.

Setelah merasa cukup untuk menangis, Rena mengusap air mata dengan punggung tangan.

“Gak,” katanya kemudian. Suaranya memang pelan, tapi bernada tegas. “Aku gak bisa nangis gini. Mereka semua pasti bakalan senang kalau aku ketakutan kayak gini. Buat bisa tetap tinggal di sini aku harus berani. Aku satu-satunya orang yang tahu tentang rumah ini. Aku pokoknya harus bisa lebih kuat dari mereka. Ya, aku lebih kuat dari mereka.”

Setelah merasa ketakutan setengah mati tadi, anehnya Rena mendapat keberanian. Keputusannya sudah bulat, dia tetap akan memilih tinggal.

Paginya, Rena langsung menuju dapur ketika merasa Rana sudah bangun pagi dan menyiapkan sarapan. Sebelum turun, Rena sempat mencuci muka dan merapikan rambutnya. Dia tidak boleh terlihat menyedihkan seperti itu di depan kakaknya.

“Eh, kamu udah bangun?” tanya Rana langsung ketika melihat Rena masuk ke dapur dan bergabung bersamanya. Sebuah senyuman lebar terpahat di wajahnya.

Rena menggeleng pelan sambil memberikan senyuman yang sama lebarnya. Hanya saja senyumnya saat itu tidak secerah kakaknya, terkesan lesu. “Aku gak tidur semalam.”

Rana yang saat itu sibuk memotong bawang menoleh pada adiknya dengan kening berkerut. “Loh, kenapa?”

“Gak bisa tidur aja,” jawabnya sambil lalu. Tidak ingin membahas hal itu lebih lanjut. Ingatannya akan kejadian itu masih sangat jelas dan Rena tidak ingin ingatan itu menguasai kepalanya. Setidaknya untuk saat itu, dia ingin merasa lebih tenang jika di dekat kakaknya.

Rana masih memandang Rena sebentar sebelum kembali fokus pada bawangnya. Dia tahu ada sesuatu yang Rena sembunyikan, tapi dia memutuskan untuk tidak mengorek lebih jauh. Apa pun itu pasti hal yang bersifat pribadi jika adiknya tidak ingin memberitahunya. Itu yang dipikirkan Rana.

Mereka berdua terdiam. Rana tidak tahu harus mengatakan apa lagi, sedangkan Rena berkali-kali menguap. Dia baru merasa mengantuk, padahal sudah pagi. Bukan waktu yang tepat untuk tidur.

“Jangan sering-sering begadang, itu kamu ngantuk gitu jadinya,” sahut Rana mendapati adiknya menguap lebar.

Rena dengan cepat menutup mulut lalu tertawa. “Iya-iya, besok aku gak begadang lagi.”

Rena mulai merasa kepalanya pusing karena tidak tidur semalam. Jika begini, dia harus mengompresnya dengan es. Rena menyeret kakinya menuju kulkas, mengeluarkan kotak es batu lalu mengambil handuk kecil yang ada di dekat pintu kamar mandi.

“Mau ngapain?” tanya Rana.

Rena baru saja mengeluarkan beberapa es batu kecil dan menyimpan di handuk.

“Ngompres kepala. Pusing.”

“Pasti karena gak tidur. Jangan dikompres, duduk aja. Kakak buatin teh melati dulu.”

“Emangnya manjur?”

“Kakak sih biasanya gitu. Yang penting pas minumnya kamu buat senyaman mungkin.”

“Gimana? Gimana?”

“Pas minum, kamu harus senyaman mungkin. Posisinya, suasananya, pokoknya semuanya. Nanti bakalan berasa damai gitu, deh.”

“Ada-ada aja.”

Namun Rena tetap mengikuti saran kakaknya. Setelah Rana selesai membuatkannya teh melati, Rena mengambil tempat duduk di salah satu kursi di meja makan, mengambil posisi senyaman mungkin. Setelah itu baru meminum tehnya dengan perlahan.

Rana tersenyum geli melihat tingkah adiknya dan Rena tiba-tiba merasa bahagia. Pusing di kepalanya masih belum hilang, tapi dia merasa bahagia. Obat terbaik dari segala hal memang keluarga. Dia semakin bertekad untuk menyelamatkan keluarga kecil kakaknya dari apa pun yang berada di bangunan ini.

Terpopuler

Comments

Rani

Rani

gw ga rela kalo rena dan keluargany mati gara2 ni setan.......

2020-08-12

6

Fofi Linda Agrosa

Fofi Linda Agrosa

lanjut

2020-04-01

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!