Mereka berdua terdiam. Hening, bahkan Rena sempat merasa mendengar suara angin di sekitar mereka saking sunyinya. Dara sudah menceritakan tentang apa yang baru saja Daffa katakan tadi dan itu cukup mengambil banyak tempat di kepalanya.
Dia ingat betul kakaknya mengatakan kalau saat Daffa jatuh waktu itu, dia sendirian di rumah. Namun Daffa malah mengatakan kalau di rumah itu ada teman mamanya. Bergaun bagus dan berwajah cantik. Siapa? Bagaimana bisa? Ini benar-benar membingungkan … sekaligus menakutkan.
“Gue sih juga ngerasa kalau jatuhnya Daffa dari tangga karena sesuatu yang ada di rumah ini, makanya gue nanya Daffa tadi.”
Tiba-tiba Rena langsung teringat dengan mimpinya. Saat dia bertemu dengan wanita cantik bergaun panjang yang bernyanyi dengan nada sedih di ruang tamu, yang menatapnya dengan wajah tanpa mata.
Memang Rena hanya melihatnya dalam mimpi, tapi dia yakin betul kalau mimpi itu bukan hanya sekadar bunga tidur. Siapa pun yang berada di rumah ini ingin menunjukkan eksistensi. Entah apa tujuan mereka melakukan itu, tapi mereka ingin Rena tahu kalau mereka ada di rumah ini.
“Dara, aku mau kamu cerita sekarang apa yang udah terjadi di rumah ini,” kata Rena serius. Dia tidak tahan lagi. Jika benar Daffa jatuh dari tangga karena sesuatu yang mendiami rumah ini, maka dia harus tahu apa yang berada di rumahnya dan kenapa mereka melakukan hal-hal seperti itu.
Dara menatap Rena sebentar. Dia tahu ada kekhawatiran di wajah Rena. Hal itu membuatnya merasa ragu untuk bercerita. Bagaimana jika selesai mendengarkan ceritanya, Rena akan ketakutan atau hal semacam itu. Namun di sisi lain, dia juga ingin Rena tahu apa yang sudah terjadi di bangunan yang sekarang dia tinggali. Setidaknya dia tahu apa yang mengganggunya dan kenapa.
Dara diam, mempertimbangkan mana keputusan yang harus diambilnya.
“Kenapa diam?” tanya Rena, ada ketidaksabaran dalam nada suaranya. “Bukannya tadi kamu mau cerita, yah? Sekarang cuma ada kita berdua. Cerita aja sekarang.”
“Oke, gue bakalan cerita.”
Pada akhirnya, Dara kembali pada keputusan pertama tadi karena Rena terus mendesak. Setelah menarik napas panjang dan dalam, dia mulai membuka suara, berharap tindakannya saat ini memang sudah benar.
“Gue lupa tepatnya itu tahun berapa, tapi kata kakek gue dia masih umur sepuluh tahun waktu rumah ini dibangun. Pemiliknya orang Belanda, salah satu pengusaha yang cukup berjaya pada masa itu. Kakek masih ingat betul kalau kepala keluarga yang tinggal di sini bernama William de Rieu, orang-orang sering manggil di Tuan William. Dia salah satu dari sedikit orang Belanda yang gak sombong dan gak nganggap bangsa kita sebagai bangsa rendahan, meski waktu itu masih zaman penjajahan.
“Karena itu dia cukup terkenal di kalangan sini, karena selain kaya ternyata dia juga baik. Tapi kata kakek, Tuan William ini gak akur sama istrinya, karena istrinya justru punya pandangan yang berbanding terbalik dengan suaminya. Istrinya yang namanya Sophie ini cuma mau bergaul dengan sebangsanya aja, atau seenggaknya dengan pribumi yang juga pengusaha kaya. Pokoknya yang dia anggap selevelnya dia, deh. Jadi setiap harinya selalu ada aja yang jadi bahan perdebatan atau pertengkaran di antara mereka.
“Kebetulan ayahnya kakek cukup dekat sama Tuan William, jadi kakek tahu kalau sebenarnya pertengkaran antara suami istri itu bukan cuma karena masalah kasta dan pergaulan, tapi lebih dari itu. Ada masalah
yang lebih besar, masalah keluarga yang kakek waktu itu udah tahu tapi belum ngerti. Maklum, kakek masih umur sepuluh tahun, mana ngerti dia soal selingkuh-selingkuh gituan.
“Jadi kakek pernah denger ayahnya sama Tuan William ini lagi cerita serius. Sebenarnya kakek gak bermaksud nguping, tapi waktu itu dia lagi lewat aja waktu gak sengaja ngedengar ayahnya bicara. Dari sana kakek tahu kalau Tuan William lagi kecewa karena beberapa kali ngelihat istrinya sama salah satu anggota militer yang bertugas di daerah sini juga, tapi istrinya malah nuduh kalau Tuan William sendiri yang udah sering nyuri-nyuri kesempatan buat dekat sama Anna, adik istrinya yang kebetulan waktu itu lagi datang ke sini buat nengok kakaknya. Lama-lama, hubungan Tuan William dan istrinya makin renggang.”
Dara membuat jeda. Mengambil napas dalam setelah bercerita. Tenggorokannya terasa kering, tapi Dara kembali bicara.
“Tadi itu cuma awalnya aja. Masalah sebenarnya datang pas Tuan William ‘mergokin’ istrinya sama temannya itu di dalam rumah. Lo tahu ‘kan orang sabar kalau marah kayak gimana? Karena selama ini amarahnya
cuma dipendam, jadi waktu itu Tuan William beneran meledak. Dia ngambil pistol si tentara itu dan ngebunuhnya langsung di sana, di dalam kamar mereka. Istrinya dikurung di dalam salah satu kamar. Gue gak tahu kamar yang mana tepatnya, tapi kakek bilang itu di lantai dua.
“Gak ada yang tahu kejadian itu selain Tuan William dan beberapa orang yang kerja di rumah itu. Yang tahu pun gak berani bicara dan cerita ke orang lain. Mereka semua nyimpan rahasia itu rapat-rapat. Kebaikan
Tuan William ngebuat mereka pengen ngelindungin pria baik itu dari pembunuhan yang udah dia lakuin. Mereka juga merasa maklum, karena tahu Tuan William ngebunuh tentara itu karena udah berani berbuat tak senonoh di rumahnya, dengan istrinya pula.
“Begitulah, waktu para tentara itu kebingungan dan nyari salah satu anggota mereka yang hilang, gak pernah ada yang bilang kalau Tuan William yang udah ngebunuh tentara yang hilang ini. Mereka semua bertindak seolah gak pernah terjadi apa-apa di rumah mereka. Gak ada yang ngungkit-ngungkit kejadian itu lagi dan Tuan William juga gak berubah sikapnya ke mereka, tetap baik seperti biasa. Cuma kata kakek, semenjak saat itu selalu ada kesediahan di mata Tuan William.”
“Bentar, bentar,” potong Rena. “Tadi kamu bilang kalau gak ada yang tahu kejadian itu selain Tuan William sama orang-orang yang kerja di rumah ini, tapi kenapa kakek kamu bisa tahu?”
“Sabar, kita bakalan sampai di sana, tapi gue bakalan cerita semua dari awalnya dulu, biar lo gak nanya-nanya nanti. Nah, sekarang lo jangan ngepotong-potong cerita-cerita lagi. Kita sampai di mana tadi—ah, kesedihan di mata Tuan William. Kedengarannya aneh banget kalau gue yang ngomong kayak gitu, yah? Gak cocok banget, tapi kakek emang nyeritain ke gue dengan kalimat seperti itu.
“Oke, lanjut ke ceritanya. Jadi setelah itu, Tuan William gak pernah lagi cinta sama istrinya. Mungkin sih masih cinta, hati orang ‘kan gak ada yang tahu, tapi tentu aja kebenciannya lebih besar. Dia terlanjur marah dan kecewa, jadi sikapnya ke Sophie benar-benar beda banget. Dia gak ngebunuh istrinya emang, tapi jelas perlakuannya itu cukup ngesiksa.”
“Awalnya dia ngasih makan tiga kali sehari ‘kan, tapi lama-lama jadi dua kali sehari, terus cuma sekali. Tuan William ini emang mau ngebunuh istrinya kayaknya, tapi dengan cara yang pelan-pelan. Pelayan di rumah itu gak ada yang protes, mungkin mereka juga sebal sama istri majikannya itu yang terlalu menganut paham feodalisme, jadi ngelakuin perintah yang disuruh dengan senang-senang aja.
“Tiga bulan kemudian setelah kejadian itu, istrinya ini meninggal karena gak mau makan. Mungkin dia pikir dengan ngeberontak kayak gitu, Tuan William bakal kasihan, tapi gak. Gak ada kasihan sama sekali. Tuan William ngubur istrinya dengan cara yang layak cuma sebagai penghormatan karena mengingat-ingat masa indah yang mereka lalui bersama, tapi habis itu dia gak pernah lagi ngunjungin makam istrinya. Gak pernah ngerawat. Seolah lupa kalau dia pernah punya istri dan meninggal.
“Semenjak saat itu, rumah ini mulai berhantu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Fofi Linda Agrosa
lanjuuuut
2020-04-01
2