Sore itu terasa menyenangkan. Tingkah-tingkah konyol Marvin membuat Rena sedikit lupa dengan mimpi buruk dan kejadian yang dia alami tadi di kamarnya. Kehadiran Arsya juga membuat Daffa senang. Apalagi setelah dia bilang akan mengajar Daffa bermain basket, anak itu semakin cerah saja senyumnya.
“Dia emang selalu gitu?” tanya Rena. Kali ini pada Arsya.
Arsya yang dari tadi diam-diam mengamati Rena sontak mengalihkan muka ketika ditanya. Berpura-pura sibuk dengan sesuatu. Apa saja, asal tidak dengan Rena. Dia sedikit malu, dan berharap Rena tidak sadar kalau dirinya diperhatikan.
“Arsya!”
Arsya menoleh dan memasang wajah bertanya. “Apa?”
“Aku tadi nanya, apa Marvin emang selalu gitu?”
“Sorry, aku tadi gak tahu kalau kamu nanyanya ke aku. Soalnya dari tadi bicara sama Marvin, sih. Jadi kukira kamu masih bicara sama dia, bukan ke aku.” Arsya tersenyum kecil, berbanding terbalik dengan sorot matanya yang tajam.
Kalimat terakhir Arsya entah kenapa menohok Rena. Dia menjadi tidak enak karena dari tadi asyik berbicara dengan Marvin dan mendiami Arsya. Perubahan di muka Rena jelas sekali, sampai Arsya sadar kalau perkataannya tadi terlalu kentara mengandung sindirian.
“Marvin emang gitu, kok,” jawabnya cepat. Sebelum suasana menjadi semakin canggung antara mereka. “Kadang saking nyebelinnya sampai pengen nabok.”
“Ngomongin gue, yah?” Marvin tiba-tiba sudah berdiri di samping Arsya, dengan wajah sebal yang dibuat-buat.
Udara semakin dingin. Rena yang awalnya merasa sejuk kini menjadi sedikit kedinginan. Marvin dan Arsya merasakan hal yang sama.
“Kok jadi dingin banget, yah?” tanya Rena. Lebih kepada dirinya sendiri daripada ke dua pemuda di sampingnya.
Marvin dan Arsya saling pandang. Air muka mereka sudah memucat. Bahkan Marvin terlihat menelan ludah dengan susah payah. Sekitar mulai menggelap, bersamaan dengan matahari yang hampir terbenam. Di langit lembayung senja meraja, indah. Namun hawa yang ada di sekitar Rena malah terasa suram dan mencekam.
Arsya memandang Rena dengan raut yang sulit dijelaskan, kemudian berkata, “Udah mau malam, nih. Kita berdua pulang dulu, yah. Kamu … baik-baik di sini.”
“Besok kita bakal balik lagi, jadi hati-hat—maksud gue lo baik-baik di sini. Bye!”
Rena mengangguk kecil kemudian berdiri, mengantar Arsya dan Marvin melewati pekarangan depan, sampai di pinggir jalan depan rumah. Dua pemuda itu masih melambai sebelum berlari menjauh.
Belum satu jam lamanya mereka bertemu, tapi Rena sudah bisa akrab dengan dua pemuda itu. Hanya saja rasanya ada yang aneh dengan sikap Rena dan Marvin. Terlebih lagi kalimat mereka sebelum pergi … terasa menjanggal.
“Kamu baik-baik di sini.”
Rasanya aneh saja mendengar kalimat itu, apalagi keluar dari orang yang baru saja dikenalnya. Rena tahu kalau Arsya dan Marvin tidak bermaksud basa-basi, kalimat itu pasti ada maksud tersendiri. Dia hanya tidak tahu, setidaknya belum saat itu.
Sebuah mobil datang dari arah perginya Arsya dan Marvin, langsung masuk ke pekarangan rumah dan berhenti. Rana keluar dari dalamnya, sambil membawa belanjaan di tangan kanan dan kiri. Kakaknya tadi
memang mengatakan kalau akan pergi belanja sebentar, karena persediaan makanan di kulkas sudah habis.
“Yang tadi itu siapa?” tanya Rana langsung. “Kakak lihat tadi mereka bareng kamu.”
Rena yang berdiri di pinggir jalan segera mendekat, mengambil satu kantong belanjaan yang dipegang Rana.
“Oh, itu Arsya sama Marvin.”
Jawaban itu tidak langsung membuat Rana memahami apa yang sudah terjadi di rumahnya tadi.
“Teman kamu?” tanyanya lagi.
Rena tidak langsung menjawab, terlihat berpikir sebentar. “Dibilang teman sih juga bukan, orang kenalnya baru tadi. Tapi sikap mereka ke aku udah kayak temen, sih.”
“Bentar,” Rana berhenti melangkah, membuat Rena juga melakukan hal sama. “Jadi kamu baru kenal sama mereka itu tadi? Mereka ngapain di sini?”
Rena kemudian menceritakan apa yang sudah terjadi, semuanya tanpa terkecuali. Tidak sulit, karena memang tidak ada hal buruk yang harus disembunyikan. Arsya dan Marvin adalah anak baik, Rena yakin dengan hal ini.
“Besok mereka juga mau datang, pengen main sama Daffa,” kata Rena mengakhiri ceritanya.
Rana awalnya tidak begitu yakin, dia memandang adiknya dengan tatapan skeptis. Namun setelah mendengar Daffa berceloteh tentang Arsya yang ingin mengajarkannya main basket, Rana akhirnya tidak mengatakan apa pun lagi.
Bukannya dia tidak percaya dengan Rena, dia percaya. Hanya saja dia merasa ada yang aneh dari dua pemuda yang dilihatnya tadi. Dari dalam mobil, Rana melihat kedua pemuda itu berlari seperti orang kesetanan. Belum lagi wajahnya pucat. Seperti orang yang habis melakukan kesalahan dan kabur sebelum ditangkap orang. Tadinya dia kira ada sesuatu yang terjadi di rumahnya, ternyata bukan hal yang perlu dikhawatirkan.
Yudha datang tidak lama kemudian, ketika matahari sudah terbenam dan makan malam selesai dihidangkan. Buru buru dia menghampiri Daffa yang duduk bersama Rena di ruang keluarga. Ada raut khawatir yang
seketika hilang saat mendapati Daffa tertawa bersama Rena. Meski sejujurnya dia tetap merasa sedih dengan kejadian yang menimpa anaknya.
“Kamu kapan datang, Ren?” tanya Yudha.
“Tadi siang, Kak. Kak Rana nelepon katanya Daffa jatuh dari tangga, habis itu aku langsung ke sini buat jaga Daffa. Besok ‘kan Kak Rana udah mulai kerja lagi, Kak Yudha juga sibuk di kantor baru. Oh iya, selamat atas promosinya. Kakak ipar Rena hebat, nih.”
Yudha tertawa, kemudian kembali bertanya, “Kalau kamu jaga Daffa, kuliah kamu gimana?”
“Yah gak apa-apa. ‘Kan lagi libur semester.”
Rana keluar dari dapur, masih dengan celemek yang menempel di badannya. Dia memandang suaminya dengan senyum kecil, tapi tatapannya jelas mengatakan kalau semua akan berjalan baik-baik saja. Yudha
hanya menghela napas panjang, lalu ikut tersenyum. Dia menghampiri Rana, mencium kening istrinya dengan pelan.
“Maafin aku, tadi aku emang teledor,” kata Rana. Meski dia rasa kalau semua sudah berjalan baik, tetap saja yang terjadi sebelumnya karena kesalahannya.
“Udah, kita bersyukur aja Daffa gak apa-apa. Semoga aja gak ada kejadian kayak gini besok-besok.”
Rana mengangguk. “Kamu mandi sama ganti baju dulu gih, habis itu kita makan malam.”
***
Setiap kali memandang ke luar jendela, Rena selalu teringat akan mimpinya. Tentang pria bertopi fedora dan wanita tanpa mata. Dan ketika mengingat mimpi-mimpinya itu, Rena merasa kekuatan dalam dirinya runtuh seketika. Tidak tahu kenapa, dia merasa tiba-tiba lelah. Karena itu dia menunda-nunda bertanya pada Daffa tentang gambarnya, walaupun dia sangat penasaran.
Saat itu dia sudah berada di dalam kamar Daffa, menemani anak itu bermain. Setelah makan malam dia memang langsung mengajak keponakannya masuk ke kamar, memberikan kesempatan pada Yudha dan Rana untuk berbicara.
Dia tahu, meski Rana mengatakan semua akan berjalan baik-baik saja, dan Yudha yang bersikap menerima, tapi sepasang suami-istri itu jelas ingin bicara berdua, khususnya Yudha. Yang membuat mereka tidak langsung bicara adalah keberadaan Rena. Yudha dan Rana memang tipe orang yang tidak suka mengumbar masalah rumah tangganya, termasuk pada keluarga sendiri.
“Tante, tante, coba deh lihat gambar Daffa.”
Rena tersadar dari lamunannya, memandangi Daffa sambil tersenyum. Dia terkejut sedikit ketika Daffa menyodorkan kertas berisi gambaran yang dari tadi mengganggunya.
“Gambarannya bagus,” kata Rena. Bukan suatu kebohongan, gambaran itu memang bagus untuk seukuran gambar yang dibuat oleh anak tujuh tahun. “Daffa gambarnya kapan?”
“Daffa gambarnya tadi pagi, Tante. Tapi ini belum jadi, belum Daffa warnai.”
“Kenapa belum?” Rena masih berusaha tidak bertanya siapa sosok yang menjadi objek gambaran Daffa.
“Daffa lupa. Kemarin Daffa ketemu paman ini di belakang rumah.”
Rena terkejut. Dari tadi dia bertanya-tanya, tapi setelah mendapat jawaban, entah kenapa dia malah merasa kalau tetap tidak tahu akan lebih baik.
“Di belakang rumah?”
“Iya, pamannya ada di belakang rumah. Cuma berdiri aja, ngelihatin Daffa.”
“Berdiri aja?”
Daffa mengangguk, tapi beberapa kemudian kembali bicara.
“Dia juga bilang kalau ini rumahnya. Padahal ini udah jadi rumah Daffa ‘kan, Tante? ‘Kan udah dibeli sama Papa.”
Rena terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa. Yang dia tahu, dia mulai merasa merinding. Gambaran saat kepala pria itu lepas dari badannya kembali terngiang di kepala. Memang hanya mimpi, tapi rasa takut yang dia rasakan nyata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
suka 😍😍😍😍😍 menegangkan
2022-05-19
0
Yuan Dhinie
dr awal sampe sini di buat merinding terus😖
lebih suka baca langsung dr pada dengerin audionya😆, jadi berasa feelnya gitu klo di baca sendiri
2022-02-12
0
Momo R
yg dilihat marvin sama arsya psti paman fedora itu
2021-11-15
0