Bagian 1

“Ini udah semua?” tanya Rana yang baru saja keluar dari bangunan yang sudah menjadi rumah barunya.

“Udah semua, kayaknya. Tadi ada tiga truk, ‘kan?”

Rana melihat ke arah jalan sambil menguncir rambut panjang yang dari tadi mengganggu. Di sana ada dua truk, dengan orang-orang yang sibuk mengeluarkan kardus-kardus dan benda-benda lain dari dalamnya. Sepertinya truk satu lagi sudah pergi.

“Daffa mana?”

Rana melihat pada Yudha, suaminya yang dari tadi sibuk mengarahkan orang-orang untuk meletakkan semua barang di tempatnya.

“Eh, iya, yah. Tadi ada di dalam, tapi keluar lagi. Sebentar aku cari, mungkin ada di samping.”

Rana menuruni tangga teras, berjalan menuju samping kanan rumah. Bagian itu memang cukup luas untuk dipakai bermain. Rumputnya baru dipangkas dan ada bekas beberapa pohon kecil yang baru saja ditebang. Seketika Rana memikirkan banyak hal tentang apa saja yang akan dia lakukan di halaman itu. Menanam beberapa tanaman, meletakkan beberapa hal. Sepertinya halaman itu akan lebih bagus jika dibuat taman dibanding hanya lapangan

tempat bermain anaknya.

Kemudian dia kembali teringat tentang anaknya. Daffa tidak ada di sana, jadi Rana kembali berjalan ke belakang rumah. Mungkin perasaannya saja, tapi atmosfer di bagian belakang berbeda, seperti berada di tempat yang lain.

Hari ini cerah, matahari bersinar dengan terang sampai-sampai Rana merasa terlalu panas. Namun ketika berada di belakang rumah semua terasa beda. Angin berembus dengan pelan, tapi dingin. Cahaya matahari terhalang oleh pohon-pohon besar yang ada di sana, hanya sedikit yang bisa lolos menyentuh tanah.

Daun-daun kering berserakan. Beberapa hancur saat Rana injak dan yang lain tidak. Saat dia sibuk mengamati mana daun yang baru jatuh dan mana yang sudah lama, Rana menyadari ada sesuatu yang aneh. Ada jejak kaki di sana. Bukan jejak kaki orang lain, jejak kakinya sendiri, tapi tetap saja dia merasa aneh.

Dia ingat jelas jika sebelumnya tidak pernah hujan, tanah di depan dan di samping rumah juga tidak selembek ini.

“Apa karena tanahnya gak kena matahari?” gumam Rana tanpa sadar. “Tapi gak sampai lembek kayak gini juga, deh.”

Rana cukup lama memikirkan tentang tanah itu, beberapa kali membuat jejak kaki sambil berjalan sampai dia melihat jejak kaki lain, lebih kecil. Dia kembali teringat tentang Daffa. Rana memang selalu seperti itu, perhatiannya selalu teralih saat dia melakukan sesuatu.

Dia terus mengikuti jejak kaki kecil itu, kemudian berhenti di bawah pohon beringin besar, sangat besar. Rana tidak tahu sejak kapan pohon itu ada di sana, tapi dilihat dari besarnya pasti sudah lama sekali. Dari cabang-cabangnya keluar akar gantung yang sudah seperti rambut saking banyaknya.

Di bawahnya, tepat di depan Rana, Daffa duduk bersandar pada batang pohon. Mata anak itu tertutup. Dengan cepat Rana menghampiri anaknya, memastikan kalau Daffa baik-baik saja. Ketika dia merasakan napas Daffa yang teratur dan betapa damainya ekspresi anak itu, Rana tahu kalau tidak ada hal buruk yang terjadi. Daffa hanya tertidur.

Mungkin dia kelelahan,pikir Rana. Bagaimanapun mereka sudah melakukan perjalanan yang cukup jauh, tidak heran jika anak itu merasa lelah.

Rana tadinya tidak ingin membangunkan Daffa, tapi guncangan saat dia ingin menggendong membuat anaknya terbangun.

“Mama,” kata Daffa sambil mengucek-ngucek mata.

“Eh, kamu bangun. Kenapa tidur di sini?”

“Daffa tidur, yah?” Daffa mengedar pandangan ke sekitar. Dari matanya, jelas terlihat kalau anak itu masih mengantuk.

“Iya, tadi kamu tidur di sini. Sekarang kita masuk rumah, yah. Tidur di kamar pasti lebih nyaman.”

Daffa hanya mengangguk, lalu ikut berdiri dan berjalan bersama Rana menuju rumah. Dia tidak begitu ingat kenapa

bisa tertidur di sana, yang dia ingat hanya ingin menjelajah rumah baru, mencari sesuatu yang mungkin bisa dimainkan. Dia juga ingat melihat seseorang di belakang rumah. Namun, Daffa terlalu mengantuk untuk memikirkan siapa orang itu dan kenapa berada di belakang rumahnya.

Rana terus berjalan sambil menarik lembut anaknya yang terus saja menguap. Dia tidak menoleh ke belakang. Entah kenapa, Rana merasa jika menoleh, dia akan mendapati seseorang atau melihat sesuatu, hal semacam itu. Manusia kadang mendapat firasat seperti itu, seolah ada yang memperhatikan dan saat dilihat memang ada yang mengamati.

Perasaannya lega saat sampai di depan rumah. Rana masih bisa melihat truk-truk yang berjalan menjauh, meninggalkan rumahnya. Suaminya berdiri di teras, melihat kepergian truk-truk itu. Dia baru sadar sudah menghabiskan waktu cukup lama untuk mencari Daffa. Tidak sampai membuat suaminya menyusul mencari, tapi tetap saja, sebenarnya dia bisa lebih cepat menemukan anaknya jika saja dia fokus.

“Udah selesai?” tanya Rana, menaiki tangga teras. Dia menuntun Daffa naik, anak itu benar-benar hampir tertidur.

“Udah,” jawab Yudha. Melihat mata Daffa yang setengah terpejam, dia memutuskan untuk menggendong anaknya masuk ke dalam rumah. Rana menyusul di belakang. “Semuanya udah selesai, kalau misalnya ada yang mau kamu ubah, nanti kita susun ulang barang-barangnya,” lanjut Yudha.

Rana melihat ke sekeliling ruangan, mengamati setiap benda, memikirkan apakah benda-benda itu sudah cocok berada di tempatnya sekarang atau masih perlu dipindahkan. Namun, dia merasakan apa yang anaknya rasakan, lelah.

“Kayaknya kita biarin gini dulu, deh. Aku capek, cuti kerjaku masih ada satu hari lagi. Nanti malam aku lihat-lihat, besok baru pindahin barang kalau misalnya ada yang butuh dipindahin.”

“Tapi besok aku udah harus masuk kerja. Aku cuma dikasih waktu satu hari buat ngurus semuanya.”

Yudha naik ke tangga menuju lantai dua, ke ruangan yang akan menjadi kamar anaknya.

“Gak ap-apa, aku bisa manggil tukang buat bantu-bantu kalau barangnya berat,” ujar Rana. “Kalau gitu, habis ini kamu istirahat aja. Aku mau masak dulu.”

“Katanya capek.”

“Ya, emang capek, tapi kalau aku gak masak kita mau makan apa?”

Mereka sudah sampai di kamar Daffa, ruangan itu terletak di ujung. Sudah ada tempat tidur dengan seprai yang baru, bergambar Iron Man. Meja belajar, lemari, dan beberapa kardus dan koper yang belum dibuka.

Rana memang sengaja mengutamakan tempat tidur dulu, dia tahu betul kalau mereka butuh istirahat. Tanpa sadar dia menghela napas, masih banyak yang perlu dikerjakan. Yudha membaringkan Daffa dengan pelan, ternyata anak itu sudah tertidur, entah sejak kapan.

“Kayaknya aku mikir lagi,” kata Yudha, ekspresinya berubah serius.

“Apa?” Rana mengernyit, bingung.

“Kalau kamu gak usah kerja, biar aku aja.”

Yudha dengan cepat melanjutkan kalimat setelah melihat perubahan di wajah istrinya. “Maksudku, kita emang udah

bicaraan ini sebelum nikah. Soal kamu yang tetap pengen kerja, tapi aku ngerasa kalau Daffa masih butuh kita. Aku gak mungkin berhenti kerja buat ngurus dia, lagian kamu juga pasti capek kalau ngurus rumah sama kerjaan di kantor. Jadi ... kamu kayaknya sebaiknya fokus ngurus Daffa sama aku aja.”

Rana menatap suaminya dalam. Dia paling tidak suka pembicaraan tentang ini, tentang pekerjaannya. Lagi pula, Yudha sudah setuju dengan semuanya sebelum mereka menikah, kenapa sekarang tiba-tiba berubah lagi? Rana tidak habis pikir.

“Jujur aja, aku lagi gak mau bahas ini. Aku lagi capek, dan pasti aku bakalan marah kalau kamu masih bahas ini. Kita baru pindah di rumah baru, aku gak mau hari pertama di rumah ini kita bertengkar, tapi aku juga mau buat semuanya jelas. Kita udah setuju dengan semuanya, dulu sebelum nikah kamu sendiri yang bilang gak masalah kalau aku kerja. Itu udah jelas banget, jadi kita lakuin seperti biasa aja. Aku bisa ngurus Daffa, kamu, rumah, sama kerjaan sekaligus.”

Rana berbalik dan keluar kamar, meninggalkan suaminya yang hanya bisa menghela napas. Yudha bukan tipe lelaki yang takut dengan istri, dia tidak seperti itu. Hanya saja dia terlalu mencintai istrinya, sedikit sulit baginya untuk menentang Rana karena rasa cintanya itu. Hal yang paling ingin dia hindari adalah bertengkar dengan istrinya.

Bukannya tidak tegas, tapi Yudha tahu betul bagaimana istrinya. Jika ditanya siapa orang paling keras kepala yang pernah dia temui, Yudha akan menyebut nama Rana tanpa perlu berpikir. Yudha sadar, betapa pun kerasnya dia memaksa Rana, wanita itu tidak akan tergerak sedikit pun, tetap pada pendiriannya. Hal itu juga yang membuatnya mencintai Rana, meski kadang hal itulah yang paling membuatnya kewalahan.

Menggunakan amarah pada Rana tidak akan membantu, hanya akan memperburuk keadaan. Jadi, yang dilakukan Yudha hanya setuju, setuju, dan setuju. Dia sudah melakukan itu selama kurang lebih delapan

tahun, sejak mereka menikah saat usianya dua puluh lima. Sekarang, di usia tiga puluh tiga, Yudha merasa kalau istrinya harus lebih memperhatikan anak mereka, hanya itu.

Dia keluar kamar, menuruni tangga menuju dapur. Yudha mencium aroma masakan di sana. Rana sedang sibuk memasak. Dengan pelan didekatinya istrinya itu, kemudian memeluk dari belakang dengan

lembut.

Rana terkejut sebentar karena diperlakukan seperti itu. Namun, saat sadar Yudha sudah berdiri di belakangnya sambil menampilkan senyum paling manis yang dia punya, Rana ikut tersenyum. Dia sudah lupa dengan pembicaraan mereka tadi. Begitulah Rana, cepat sekali melupakan hal yang menurutnya memang pantas untuk dilupakan, kemudian bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.

“Bahannya cukup?” tanya Yudha, jelas sekali kalau itu cuma basa-basi.

“Cukup, kok. Masih lumayan segar juga. Cuma besok kalau udah ngurus rumah, kayaknya aku bakal belanja bentar.”

“Maaf yah aku gak temenin.”

“Kamu ngomong apa, sih? Besok ‘kan kamu kerja. Udah, kamu istirahat dulu sana.”

“Bentar, mau nunggu kamu.”

Rana tidak menjawab lagi, membiarkan suaminya tetap berada di sampingnya saat dia memasak. Tidak menyadari kalau di belakang, tepat di ambang pintu, ada bayangan yang seketika berkelebat menghilang.

Terpopuler

Comments

Phyrra Victorya

Phyrra Victorya

Si Rana persis aku banget,,
Keras kepalanya gak tanggung2..
Meski ujung2nya sadar kalau salah tapi gengsi n tetep ngeyel,,
Apalagi kalau udah kerja, sering lupa segala-galanya..
Fokus pas lagi kerja aja,,
Coba aja berani dibantah, keluar 3 tanduk di kepala n 2 taring di gigi..
Kalau ngomel suara naik 7 oktaf, tp begitu dibentak dikit langsung guling2 kyk kena KDRT level 10,,
Jadi keinget suami yg sabarnya tingkat Dewa (malangnya)..

#Authornya keren, ceritanya bagus..❤️❤️❤️

2020-10-28

0

Nova Shi

Nova Shi

Ceritanya seru banget 😁 Gak bikin bosan

Mampir juga ya keceritaku Girl love story'

2020-06-15

8

Muhammad Alfan

Muhammad Alfan

boleh saya minta bantuan

2020-04-13

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!