“Nah, sama!” seru Dara.
Yudha dan Rana sudah berangkat ke kantor. Mereka baru saja selesai sarapan dan memilih untuk duduk di ruang tamu. Daffa duduk di samping mereka sambil menggambar. Karena masih tidak bisa percaya kalau semalam dirinya tidur dan hanya bermimpi, Dara menceritakan apa yang sudah dia alami tadi malam dan meminta ponsel Rena. Ingin memastikan apa yang dia baca semalam apakah benar sama dengan hasil terjemahan Rena, atau hanya kata-kata yang dibuat oleh mimpinya.
Dara terkejut ketika melihat bahwa tulisan itu sama dengan tulisan yang dia baca tadi malam.
“Gue beneran baca tulisan ini semalam loh, Na. Dan lo bilang kalau main api yang dimaksud di tulisan itu tuh tentang selingkuh. Pokoknya gitu, deh. Habis itu jendela kebuka ‘kan, terus ada …,” Dara berhenti sebentar, melihat Daffa yang masih asyik menggambar, lalu melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih pelan, “gue lihat sosok yang sama seperti di gambaran Daffa, yang laki-laki pakai topi itu, berdiri di samping rumah. Cuma
berdiri aja, gak ngelakuin apa-apa. Kita juga gak ngelihat mukanya karena dia ngebelakangi kita, tapi lo bilang kalau pernah mimpiin sosok itu. Kata lo kepalanya lepas. Pokoknya kayak gitu, deh.”
“Aku beneran bilang begitu?” Rena terkejut. Karena apa yang dikatakan Dara memang benar adanya. Dia pernah bermimpi seperti itu, tapi seingatnya belum pernah menceritakannya pada Dara.
Dara mengangguk yakin. Tentu saja, tadi malam dia benar-benar merasa sadar dan tidak merasa kalau itu memang mimpi.
“Emang benar sih kalau aku pernah mimpi kayak gitu,” ucap Rena kemudian, “tapi kok rasanya aneh. Pas selesai makan malam itu kamu langsung tidur. Awalnya kamu bilang cuma pengen tiduran aja, tapi pas kulihat kamu udah tidur beneran. Aku coba bangunin, tapi kamu gak ngerespon. Habis itu aku keluar kamar, sempat bicara lama sama Kak Rana. Daffa juga ada di sana, kok. Kami nonton TV bareng. Iya ‘kan, Daf?”
Daffa yang belum selesai menggambar, mengangguk kecil tanpa menoleh. Dia memang mendengar ucapan Rena karena suaranya tidak dipelankan seperti Dara.
“Tante Rena emang bicara sama mama waktu Kak Dara tidur di kamar,” kata Daffa.
“Nah, ‘kan? Kamu tadi malam emang tidur, Ra.”
Dara diam untuk waktu yang lama. Jadi semalam dia memang mimpi, semua yang dialaminya itu ternyata tidak nyata. Yang membuatnya bingung adalah informasi-informasi yang Rena berikan dalam mimpinya semua benar. Dia tidak habis pikir bagaimana kepalanya bisa mendapat informasi itu dan menghadirkannya dalam mimpi.
“Ah, gue jadi bingung banget ini. Ya udah, lah. Gue pulang bentar, yah. Mau mandi sekalian ganti baju.”
“Oke.”
“Kalau boleh, gue pengen lihat buku yang lo maksud dulu sebelum pulang. Gue juga gak ngelihat bentuk tuh buku kayak gimana semalam. Di mimpi gue juga gak ditampilin.”
“Oke, bentar, yah.”
Rena bangun dan langsung menaiki tangga, menuju kamar. Kembali lagi tidak lama kemudian, dengan membawa buku usang di tangan kanannya.
“Ini bukunya.” Rena memberikan buku itu pada Dara.
Daffa yang baru saja menyelesaikan gambarannya, ikut menoleh. Matanya membesar melihat buku yang berada di tangan Dara.
“Tante dapat buku itu dari mana?” tanya Daffa.
Rena baru ingat kalau dia mendapat buku itu dari Daffa dan belum pernah membahasnya. “Tante dapat bukunya dari kamu, sih. Waktu itu kamu tidur di loteng sambil meluk buku ini. Tante sempat pengen nanya, tapi lupa. Kamu dapat bukunya dari mana? Terus kenapa malam-malam malah pergi dan tidur di loteng?”
Bukannya langsung menjawab, Daffa malah menunjukkan gambarannya pada Rena dan Dara. Itu gambaran seorang gadis dengan rambut berkepang dua, dengan baju putih dan rok yang diberi warna cokelat. Bulu tengkuk Rena merinding, dia tahu siapa sosok yang Daffa gambar.
“Dia yang kasih buku itu ke Daffa waktu tidur di kamar tante, tapi Daffa gak pernah ke loteng. Kaki Daffa ‘kan sakit, Tante.”
Jadi siapa yang membawa Daffa naik ke loteng? Apa mungkin gadis itu? Kepalanya lagi-lagi penuh dengan pertanyaan.
“Rena, bukunya gue bawa dulu, bisa? Mau nunjukin ke kakek. Gue rasa kalau harus cerita semuanya ke kakek. Siapa tahu kakek bisa ngebantu kita.”
Rena hanya mengangguk. Kepalanya masih pusing.
***
Dara menatap buku itu dengan saksama, mengelus pelan sampul merah tua dan tulisan emas dengan beberapa huruf yang hilang itu, seolah merasakan sesuatu di sana. Dia sudah berada di rumahnya, tapi belum
memberi tahu kakeknya soal buku ini. Rena memang tidak berbohong soal alasan Dara menginap di rumahnya kemarin. Kakeknya memang sedang pergi ke rumah tante Dara dan baru pulang siang nanti.
“Anna van De Beele,” gumam Dara pelan. Saat mengucapkan nama itu, dia seperti merasa ada sesuatu yang bergerak di sekitarnya. Namun saat pandangannya diedar, tidak ada apa pun yang terlihat.
Dara meletakkan buku itu di atas meja belajarnya, kemudian mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Dia gerah, otaknya panas karena sibuk memikirkan apa yang sudah dia alami tadi malam di rumah Rena. Sambil bersenandung kecil, Dara menyalakan shower dan menikmati siraman air.
Perlahan dia tersegarkan. Kepalanya menjadi ringan. Dara sengaja tidak memikirkan apa pun lagi soal rumah Rena, ingin tenang untuk sesaat. Namun sepertinya dia tidak bisa lagi merasakan hal itu, karena mendadak showernya berhenti mengeluarkan air, padahal masih dalam keadaan menyala.
Dara memutar-mutar keran shower, tapi tetap saja tidak ada air yang keluar dari sana. Kemudian samar-samar dia mendengar suara nyanyian, terdengar dalam bahasa asing dengan suara yang sangat pelan dan halus. Dara menajamkan telinga, mencoba memastikan apa benar sudah mendengar nyanyian.
Semakin lama nyanyian itu semakin keras. Dara menegang saat menyadari sumber nyanyian itu berasal dari kamarnya. Dia sangat yakin, ada seseorang yang bernyanyi di sana. Dengan cepat dia mengambil handuk dan melilitkannya di badan.
Nyanyian itu berhenti bersamaan dengan terbukanya pintu kamar mandi. Tidak ada siapa pun, kamarnya masih kosong. Dara berjalan ke arah pintu dan memutar kenopnya. Terkunci. Dia memang tadi tanpa sadar sudah mengunci kamarnya. Kebiasaan. Dari kecil Dara memang selalu mengunci kamar setiap masuk ke sana.
Jendela kamarnya terbuka, dengan gorden putih transparan yang sudah disibak. Namun siapa pun tidak akan bisa masuk lewat sana, karena kamar Dara berada di lantai dua. Jadi siapa? Dara tidak merasa kalau ada yang sudah masuk ke kamarnya.
Mengedikkan bahu, dia kembali berjalan ke kamar mandi. Namun langkahnya terhenti ketika matanya menatap ke meja belajar. Di atasnya, buku usang tadi sudah terbuka, padahal tadinya Dara menyimpan buku itu dengan keadaan tertutup.
“Ditiup angin?” tanyanya pada diri sendiri.
Dara menutup buku itu dan sadar kalau sampulnya terlalu berat untuk ditiup angin, kecuali angin kencang. Jadi bagaimana bisa terbuka? Dara tidak tahu. Tiba-tiba senandung itu kembali terdengar. Dara mematung, karena suara itu berasal tepat di belakangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Yuan Dhinie
Dara di ikutin?
apakah kakeknya bisa membantu nanti? atau malah kakeknya juga ikut terlibat dulunya?
hadeeeehhh serem sih ini
2022-02-12
0
Rani
cool thor...... dara jd dihantuin jg deh.... mungkin krna bawa pulang tuh diary
2020-08-12
6
Song Hyun In
Serammmmmm
2020-07-27
1