Bagian 12

Denting sendok beradu dengan piring memenuhi ruangan, juga suara Daffa yang asik bercerita pada Rana dan Yudha yang menanggapi dengan sama riangnya. Suasana malam itu hangat, tapi Rena tidak merasa nyaman. Cerita-cerita Dara berkelabat dalam kepalanya, menyusul mimpi-mimpi dan kejadian-kejadian aneh yang dia alami. Semuanya bercampur menjadi satu, membentuk satu pikiran yang membuatnya gelisah. Ada sesuatu di rumah ini yang bisa saja membahayakan mereka.

Rena kembali memikirkan tawaran Dara yang ingin membantunya jika dia tetap memilih tinggal, tapi apa yang bisa gadis itu lakukan? Apa yang mendiami rumah ini sudah sangat lama berada di sini. Mustahil untuk mengusir pemilik rumah dari rumahnya sendiri. Jadi apa mereka bisa menjadikan bangunan ini menjadi tempat yang layak untuk ditinggali? Bagaimana kalau memilih tinggal adalah keputusan yang salah. Bagaimana kalau ternyata dia harus pergi seperti keluarga-keluarga yang lain.

Rena menggeleng dengan keras, berusaha menyingkirkan semua pikiran itu dari dalam kepalanya. Memusingkan sekali.

“Rena, kamu gak makan? Kenapa? Dari tadi kakak lihatin cuma diam aja, makanannya gak dimakan-makan,” tegur Rana.

Dengan cepat Rena mengangkat pandangan, melihat langsung ke arah kakaknya sambil tersenyum. Dia harus terlihat baik-baik saja.

“Gak apa-apa, Kak,” jawabnya tenang. “Aku tadi cuma kepikiran ayah aja.”

“Emangnya ayah kenapa?” Kening Rana berkerut heran, tapi ada khawatir dalam sorot matanya.

Rena menggeleng kecil, masih dengan senyuman yang menenangkan.

“Ayah gak kenapa-kenapa, kok. Cuma tadi nelepon, nanya-nanya kabar aja. Aku ceritain soal Daffa dan ayah marah sama Kak Rana karena gak ngasih tahu ayah tentang apa yang udah terjadi sama cucunya. Aku ikutan kena marah, karena gak nelepon ayah juga.” Rena tertawa kecil. Dia memang sangat ahli menyembunyikan perasaan sebenarnya, dengan mengatakan hal-hal lain yang lebih menyenangkan untuk dibahas.

“Jadi tadi ayah nelepon cuma marah-marah doang?”

“Tadinya sih gak gitu, kata ayah dia mau nanya-nanya gimana kabar aku, kuliah aku. Dia juga bilang kalau bulan depan bakal balik lagi ke rumah, tapi pas aku cerita soal Daffa, topik pembicaraan langsung berubah. Ayah marah-marah doang sampai selesai nelepon.”

Rana ikut tertawa, tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi adiknya saat kena marah ayahnya. Ayahnya bukan orang yang bersumbu pendek dan gampang emosi, tapi kalau menyangkut hal-hal seperti ini, tentang kejadian buruk yang menimpa keluarganya, dia tentu saja akan marah kalau tidak diberi kabar.

Rana lupa menelepon ayahnya ketika Daffa masuk ke rumah sakit. Saat teringat pun, keadaan Daffa juga sudah lebih baik. Jadi menurutnya tidak perlu lagi untuk menelepon. Ternyata keputusannya itu salah. Ayahnya kalau marah cukup tegas dan menakutkan. Kadang lama, tapi tidak berkepanjangan.

“Ayah gak bilang mau nelepon kakak, ‘kan?”

“Katanya sih bakalan nelepon juga, tapi gak bilang kapan. Tunggu aja.”

“Ayah harusnya pensiun aja,” kata Rana kemudian. “Biar kamu gak sendirian lagi di rumah. Kadang kakak kepikiran pas kamu lagi kuliah dan ayah dinas di luar kota. Kakak juga gak bisa nemenin kamu di rumah.”

“Ayah emang udah tua, tapi aku belum nemu bapak-bapak seumuran ayah yang masih punya badan dan stamina bagus,” ujar Rena, disusul tawa geli. “Ayah ‘kan ngerasa badannya masih kuat, terus juga udah kepalang tanggung cinta sama negaranya. Jadi kayaknya pensiunnya kalau dipaksa aja, kalau keinginan sendiri mah gak tahu kapan. Emang sih di rumah sepi banget, tapi mau gimana lagi. Aku gak apa-apa, kok.”

“Seandainya kampus kamu deket dari sini, sayangnya jauh banget.”

“Kenapa gak Kak Rana aja yang pindah?” Rena mengatakan itu dengan nada seolah bercanda, tapi sebenarnya dia ingin mencari tahu apakah ada kemungkinan kakaknya untuk pindah, meski dia tahu betul apa jawabannya.

“Ya gak bisa, lah,” jawab Rana sambil tertawa.

“Baru aja pindah, Ren,” sahut Yudha. “Masa mau pindah lagi. Lagian kayaknya rumah ini udah cocok. Dekat dari kantor aku, terus gak jauh banget juga sama kantor Rana. Sayang kalau mesti pindah lagi.”

“Iya, kakak juga udah terlanjur suka sama rumahnya.”

Rena mengangguk pelan sambil tersenyum dan tidak mengatakan apa pun lagi. Dia mulai menyuap makanannya. Sama seperti dugaannya, kakaknya pasti tidak akan pindah. Entah keputusan mereka akan tetap sama jika mendengar apa yang Rena tahu tentang rumah ini, tapi gadis itu cukup sadar untuk tidak menceritakannya pada kakaknya.

Rana mengatakan sudah menyukai rumah ini dan Rena tidak tega memberi tahu Rana tempat seperti apa sebenarnya yang mereka tinggali itu. Pilihan yang tersisa hanyalah tinggal. Berarti dia harus mendapatkan bantuan dari Dara, tapi apa yang bisa mereka lakukan? Dua gadis menantang para penghuni rumah kedengarannya konyol, terlebih lagi penghuni itu adalah makhluk tak kasat mata. Ini benar-benar gila.

Lampu di ruangan itu mendadak mati, padahal di ruangan lain masih menyala. Rena menatap ke atas sebentar, pada bohlam yang sudah tidak bercahaya, lalu menyapu ruangan. Cahaya yang masuk dari pintu menerangi sedikit bagian dapur, hingga Rena samar-samar bisa melihat ada yang sedang berdiri di sudut ruangan, mengawasi dirinya dan keluarga kecil kakaknya. Sosok itu hanya berdiri saja.

Sontak Rena mengalihkan pandangan dan menahan napas. Hanya sebentar, tapi dia ingat betul bagaimana penampakan yang baru saja dia lihat. Itu adalah seorang gadis, berambut panjang dan bermata yang seluruhnya putih. Ada lingkaran hitam di bagian mata dan pakaiannya penuh darah. Tangannya terkulai lemas ke bawah, dengan urat-urat hitam menonjol dari bawah kulit. Tiba-tiba dia merasa merinding.

“Lampunya kenapa, yah? Masa rusak, baru aja kemarin dipasang, ‘kan?” tanya Rana. Dia sepertinya tidak melihat sosok tadi karena sikapnya biasa-biasa saja, tidak terlihat seperti habis melihat setan.

“Harusnya sih gak rusak, ‘kan lampu baru,” jawab Yudha dengan sikap yang sama tenangnya. Yang membuatnya heran mungkin hanya soal lampu yang mati ini saja, bukan sosok mengerikan yang berdiri di sudut sana.

“Mungkin kabelnya,” sahut Rena, berusaha terdengar tenang, tapi sulit dilakukan karena suaranya sedikit bergetar. Sosok itu masih belum hilang dari ingatannya dan sepertinya akan bertahan lama di sana.

Rana dan Yudha tidak menyadari suara Rena yang bergetar. Yudha berjalan ke arah saklar dan menekannya dua kali. Seketika lampu menyala. Ada desahan lega yang keluar dari mulut Yudha dan Rana yang langsung kembali duduk di kursi mereka.

Sosok mengerikan itu menghilang bersamaan dengan menyalanya lampu, tapi tetap menyisakan sisa-sisa keterkejutan di wajah Rena. Saat dia memandangi keponakannya, dia tahu kalau anak itu juga melihat apa yang

dilihatnya tadi. Mata Daffa sedikit membelalak dengan mulut menganga. Wajahnya sedikit pucat, tapi dia tidak mengatakan apa pun atau berteriak. Daffa diam saja.

Rena tahu kalau keponakannya juga sama takutnya dengan dia. Tahu kalau Daffa butuh seseorang untuk menemaninya. Jadi dia memutuskan untuk segera mengendalikan diri dan berkata, “Daffa nanti tidur bareng tante Rena aja, yah. Tante rindu, nih.”

Daffa tidak langsung menjawab. Sepertinya masih terkejut dengan apa yang sudah dilihatnya tadi. Beberapa saat kemudian, anak itu seperti tersadar dan mengangguk pelan.

“Oke, Daffa tidur bareng tante Rena aja.”

Rena tersenyum lebar. Dalam hatinya dia benar-benar ingin membebaskan keluarganya dari gangguan-gangguan makhluk yang ada di rumah ini. Bagaimanapun caranya, dia harus bisa.

Terpopuler

Comments

Yuan Dhinie

Yuan Dhinie

hadeeeh bacanya sampe tahan nafas😅

2022-02-12

0

Ratifa Mazari

Ratifa Mazari

Beberapa waktu lalu, saya membaca buku-buku terbitan mediakita dengan genre dan gaya seperti ini. Coba kirim ke mediakita, sebab di sana ada khusus horornya, barangkali bisa lolos 👍

2019-12-17

10

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!