Kepada Mereka Yang Ku Sayangi
Goa tempat kami berada cukup gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa kecuali pantulan cahaya debu yang membentuk garis tubuh Pak Harian dan lingkungan kami. Tetapi, ada sesuatu yang janggal. Aku tidak hanya melihat beliau. Sesuatu bergerak di dalam debu ini.
Perlahan aku melihat titik pada debu. Titik itu membesar dengan kecepatan tinggi, mengarah kepada Pak Harian.
Aku pun bergegas menarik beliau yang sudah memanjat dinding goa, 80 centimeter lebih dari permukaan tanah. “Pak!” seruku seiring menarik beliau menghindari benda itu.
Saat kami mendarat kembali di permukaan tanah, aku mendengar jelas sebuah dentuman keras. Boom!
***
"May day! May day! May day! Kami butuh Tim Damkar ke dalam Pit Cornell, koordinat 49°U 135°E!"
Mata saya terkunci pada permukaan jalan, fokus mengantisipasi dan menghindari kemunculan pilar api gas alam. Walaupun begitu, saya masih bisa mendengar Tim Damkar menanggapi dengan, "Monitor! Mohon sebutkan No. ID dan jabatan."
"ID E3GS044, Koordinator Geological Survey! Mohon segera Pak. Permukaan koordinat terbakar karena kebocoran gas alam! Ada banyak karyawan terjebak di lapangan."
"Baik Bu mohon tenang. Sekiranya, apakah ibu dapat mendeskripsikan kondisi lapangan?!"
Rasa sabar saya patah saat mendengar pertanyaan susulan mereka. Saya tahu itu prosedur standar mereka. Hanya saja, keadaan pit ini tidak memberikan ruang untuk berbasa-basi.
Saya pun akhirnya merampas radio itu. Seiring mengemudikan kendaraan ini di antara pilar-pilar api yang ingin membunuh kami, saya berteriak, "Segera berangkat ke sini bodoh! Ada 20 orang lapangan yang terjebak ledakan gas alam di pit ini dan kalian minta deskripsi!?
"Sebaiknya kalian bawa semua unit ke sini karena neraka baru saja terbuka! Segera berangkat sebelum saya pastikan hidup kalian sengsara tujuh turunan!
"Kamil! ID, E3PM001! Monitor!"
***
JURNAL INVESTIGASI HSE, 15 JULI 2010
Suara seorang anak kecil tertawa seiring dia mengudara. Decitan rantai ayunan terdengar semu di balik suara indahnya. Dia berkata, “Ayah, ayah, dorong lagi.”
Tawa itu membuat dadaku terasa hangat. Aku merasakannya. Aku merasakan kebahagiaan.
Aku tersenyum seiring membalas, “Oke. Hoo… ya…”
“Yay!”
Saat putriku kembali mengudara bersama ayunannya, aku menyempatkan untuk melihat halaman di hadapanku. Lapangan kecil berselimut rumput. Sejumlah barisan anggrek bertumbuh dan melilit pagar rumah.
Di sudut kiri lapangan, istriku terlihat sedang mengeruk tanah, menggemburkannya bersama dengan pupuk yang baru dia beli. Dia terlihat begitu lelah, tetapi dia pun terlihat berbahagia. Wajah dia begitu merah seperti buah tomat yang dia tangani.
Aku memandang kepada duniaku dan aku tersenyum.
Tetapi, aku tidak memperhatikan yang selanjutnya terjadi.
Punggung putriku menghantamku di wajah.
Gelap.
Yang terakhir aku dengar hanyalah derapan kaki dari kejauhan. Kemudian, suara itu disusul dengan seseorang berseru, “Ayah! Ayah! Ayah bangun!” Aku tidak tahu apakah itu dari istriku atau dari putriku.
***
Aku memandang lurus dari balik kaca mobil dinasku. Tetapi, sesuatu terasa janggal. Aku tidak mendengar apa-apa. Tidak ada suara angin yang bergesekan dengan mobil. Tidak ada suara aspal memarut ban.
Aku melihat perumahan berlalu dengan warna hitam putih.
Seketika, dunia yang hitam putih tersapu oleh warna. Warna itu digiring oleh suara yang familiar. Suara itu berbeda dari yang aku ingat, tetapi familiar.
Suara putriku.
Suara putriku yang kesal kepadaku. “Ayah! Aku tanyain tadi…”
“Oh, iya nak. Ada apa?”
“Tuh kan…, ayah ga meratiin. Sedih.”
“Kok langsung sedih? Ayah kan lagi nyetir, harus konsen ke jalan. Nanti kalau kecelakaan gimana?”
“Oke…
“Tapi beneran. Aku perlu bantuan ayah…, nanti aku bisa gagal tes loh.”
“Oh? Hari ini ulangan kah? Kok kamu ga kabarin ayah tadi malam? Padahal kita bisa belajar bareng.”
“Kan kita udah belajar bareng tadi malam Yah. Tapi, aku masih lupa-lupa.”
“Oh iyakah? Coba tanyain ke ayah pertanyaanmu.”
“Ayah masih ingat siapa nama raja Majapahit yang jadi rekannya Patih Gadjah Mada?”
“Raja ya? Raja…, hm…?”
“AYAH! DI DEPAN!”
“Hah?
“WHOAA!!!”
Seketika aku menginjak rem mobil.
Aku tidak mengingat banyak. Aku ingat ada rasa sakit di keningku. Aku ingat seekor rusa. Aku ingat suara hantaman.
Aku harap putriku baik-baik saja.
***
Aku merasa ling-lung. Semua terasa berat. Perutku panas.
Aroma apa ini? Baunya asam dan panas, tapi manis. Ini…, alkohol? Iya, ini bau alkohol.
Apakah aku sadar?
Aku tidak tahu.
Aku merasakan angin di wajahku. Aku memandang pemukiman yang sama berlalu. Namun, warnanya sama, hitam putih dengan sedikit gradasi merah.
Suara familiar itu terdengar lagi dan suara itu kembali berubah. Terdengar lebih dewasa.
“Kenapa sih ayah kayak gini terus? Aku tahu ayah jenuh, aku tahu kerjaan di tambang banyak tekanan, tapi kan ada cara yang lebih sehat!” ucapnya kesal kepadaku.
“Ayah sudah coba nak…, (hik). Tapi…, wi umvur dewasa ini, ga selamvanja berpigir vositiv… (hik) akan mvembvantu.”
“Ya…, ya…, itu yang ayah terus bilang. Kenapa sih, sekali aja ga bikin alasan? Aku beneran khawatir lho! Ayah kalau minum sering keterlaluan jumlahnya. Kalo umur ayah usai sebelum aku bisa nikah, aku bisa apa?
“Hm?
“Ayah?
“AYAH NGAPAIN!”
Aku tidak ingat apa yang aku lakukan. Instingku yang mengambil alih.
Aku hanya bisa melihat cuplikan-cuplikan.
Sebuah stang motor dan tangan putriku.
Aspal.
Rusa.
Gelap.
***
Aku sedang berlari di koridor berwarna putih. Jalanku dihias oleh beragam orang berseragam berwarna biru. Beberapa ada yang berjubah putih. Di ujung lorong, aku melihat istriku menggiring sebuah tandu bersama orang-orang berseragam biru itu.
Mengapa aku berlari?
Mengapa aku luka-luka juga?
Aku ingat sekarang.
Tangan putriku di stang motor.
Aspal.
Rusa.
Kami baru saja kecelakaan. Aku, dalam keadaan mabuk, bertindak gegabah. Aku menghentikan pergerakan motor putriku saat melihat seekor rusa melompat tiba-tiba di hadapan kami. Momentum dari kecepatan motor itu melempar kami ke udara.
Sekarang, aku di sini, aku berlari mengejar putriku yang dibawa kepada unit gawat darurat.
Perutku terasa dingin. Aku merasa seperti terjatuh ke dalam sumur sempit yang tak berujung. Batu demi batu menyayat kulitku satu per satu.
“Maafkan Ayahmu Annie. Maafkan Ayah! Ayah tidak bermaksud. A – Aku tidak bermaksud!”
Keberadaanku telah diremukkan oleh rasa bersalah, oleh rasa sedih, oleh rasa amarah terhadap diriku sendiri. Namun, itu tidak cukup. Semesta pun menggerusku rata dengan amarah istriku. “Kamu kenapa sih tidak bisa mendengar! Aku sudah mengingatkanmu berkali-kali untuk langsung pulang, anakmu dan aku memerlukanmu di rumah. Tetapi, kamu mengabaikan kami.
“Anakmu pun, putri kita, dia sudah jenuh! Tetapi, dia menelan jenuhnya karena dia sayang padamu Harian!
“Sekarang anak kita koma! Apa yang akan kamu lakukan Harian! Harian! Harian! Harian!
“Harian!
“Harian!”
“... Harian!
“Pak Harian!
“Bangun Pak! Bangun! Kita harus cari jalan keluar dari sini!”
Seketika aku menarik nafas sedalam-dalam mungkin. Semua yang aku lihat buram. Semuanya gelap. Udara yang aku hirup pun begitu berat, seakan-akan udara itu padat dengan debu dan kimia lainnya.
Dia pun lanjut berkata, "Hhah…, hhah…, beruntunglah Bapak masih sadar. Mari tangan Bapak, biar saya topang. Kita harus lanjut mencari jalan keluar."
Aku mendengar kata-kata dia. Tetapi, aku tidak menyerapnya. Aku tidak bisa.
Tubuhku terasa dingin, tetapi dingin ini terasa nyata. Dingin ini bukan dingin emosional, dingin seperti saat –
“Putriku! Aku harus ke putriku!” ucapku seiring menarik tubuh lelaki muda di hadapanku.
Saat aku melangkah, “AAARRRGHHH!!!” Sebuah rasa perih menusuk dari tapak hingga ke paha. “KAKIKU!!!”
Raut wajah pemuda yang penuh harapan itu goyah untuk sementara. Senyum optimis itu mengerut, menahan tangis. Wajahnya terlihat begitu bersalah. “Maafkan aku pak! Maafkan aku dengan sungguh!”
“Apa yang terjadi pada kakiku! Apa yang telah kau lakukan padaku!” bentakku panik.
“Maafkan aku Pak! Maafkan aku Pak!
“Aku harusnya menolak permohonan Bapak!”
Rasa sakit. Rasa bersalah. Hutang budiku kepada putriku. Semuanya saling beradu di dalam benakku. Aku tidak bisa mengolah kata-kata pemuda itu.
Aku hanya bisa kesal.
Aku meraih kepada kerahnya dan menarik dia kepada tanah tempat aku berbaring. "BISAKAH KAMU BERHENTI MENANGIS DAN JELASKAN APA YANG KAMU MAKSUD!"
"Ba – Bapak Harian meminta saya untuk memotong kaki Bapak!"
Mendengar itu, semua yang baru saja kami lalui terpampang dengan jelas. Setiap gambar berlalu di depan mataku bagai presentasi kantor.
Tanah longsor.
Bebatuan basah rubuh.
Kakiku di antara batuan.
Seorang laki-laki membohongi dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
Sebuah pasak tumpul.
Kaki kiriku.
Darah.
Sebuah teriakan yang disaksikan oleh satu orang. Teriakan milikku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Amelia
salam kenal ❤️🙏
2024-05-27
0
Celine
Mampir thor, semangat teruss 👍👍
2024-02-15
1
Milktea_ID
keren nih, pembawaannya bagus, dan monolognya keren, rekomendasi banget 👍 semangat author
2024-02-09
0