LAPORAN F.E.P. IV: HARIAN; WAJAH ASLI

Mata anak itu terbuka dan dia berubah putih seketika. Kuda-kuda kakinya goyah sehingga ia mundur satu langkah.

“B-b-bagaimana bisa Pak?”

“Kau lihat sendiri kan?

“Tubuh dia sudah menyatu dengan kulit sintetik kursi itu.”

“Ya, tapi –” wajah anak muda yang berwarna putih pucat berubah menjadi hijau. Asam mulai menghembus dari mulutnya.

“Nak! Kamu sudah meng-iya-kan perintahku, jangan sampai kamu muntah di kakiku. Kamu sedang menopang aku. Ingat!

“Aku akan memukulmu Nak jika kamu benar-benar muntah.”

Aku mengayun memukul dia.

“Eerdiwan!” seruku seiring rangkulanku terlepas dari padanya. Dia mengayunkan tubuhnya dan mendarat di atas railing alat raksasa ini. Nafasnya begitu berat seakan nyawa dia keluar dari tubuhnya.

Aku ingin berseru kesal. Tetapi, aku merasa lelah. Aku berkata, “Nak, tangguhkan dirimu karena semuanya hanya akan semakin buruk. Aku tidak bisa mengandalkanmu jika ke depannya kamu akan muntah lagi di kakiku.”

Anak muda itu hanya bisa mengangguk lemah seiring menarik nafas terbata-bata. Dia memaksakan tubuhnya yang lemah untuk berdiri.

Tangannya bergetar walau berpegang pada railing, kakinya tertatih melangkah padaku.

Dia kemudian menjulurkan tangannya padaku. “Pegang railing itu dengan kuat. Jangan sampai kamu menyusul aku yang berendam satu kaki di muntahmu.

“Satu, dua, tiga! Hrmph!” seruku menahan rasa ngilu seiring tubuhku ditarik kepada bahu anak muda itu.

“Sekarang kita harus apa Pak?” tanya dia dengan setengah suara.

“Sudah bisa bicara kau Nak?” balasku sarkas.

“Baguslah,” lanjutku. “Tuntun aku ke dekat kokpit!”

“Pak?”

“Tuntun aku ke depan kokpit. Kamu sudah janji padaku tidak ada lagi ‘tindakan-tindakan banci’. Sekarang, tangguhkan dirimu dan topang aku ke samping kokpit.

“Aku perlu dua tuas besi alat ini.”

“Untuk apa Pak? Kita tidak perlu hal-hal aneh. Kita harus mencari bantuan.”

“Tuas itu alat bantuanku bocah. Adakah gipsum di sini? Atau apakah kau Tabib Dayak yang bisa menyembuhkanku dengan ayunan jari?

“Aku memerlukan besi itu untuk menahan tulangku lurus.”

“Tapi kita tidak ada alat untuk memotong besinya Pak.”

Kesabaranku mulai menipis selama perbincangan ini. Aku mengabaikan keluhan dia dan langsung menunjukan saja cara yang dia cari.

Aku menarik tuas besi ekskavator PC4000 itu dengan paksa.

“Ada pertanyaan lagi?” sindirku kesal padanya.

Dia hanya bisa menggelengkan kepala.

Aku kemudian melanjutkan merobek baju dari almarhum operator alat berat ini. “Maafkan aku kawan, tetapi kamu tidak memerlukan baju ini lagi.”

Usai aku mengumpulkan segala yang aku perlukan. Aku meminta anak muda itu untuk membaringkanku.

“Aku sudah memudahkanmu dengan mematahkan besi itu menjadi dua dan menyediakan kain-kain yang diperlukan. Sekarang, giliranmu untuk membantuku.

“Kamu harus memasang penopang agar tulangku dapat tersambung lurus.”

“Tapi Pak…”

“Kenapa? Ga bisa? Karena kakiku berbalur muntahmu? Hm?”

Dia terdiam sejenak.

“Baiklah,” balasnya dengan suara pasrah. “Bagaimana caranya, Pak Harian?”

“Pertama, balut keempat ujung patahan besi itu. Aku gamau kakiku luka. Apalagi karena muntahmu, kakiku bisa infeksi.

“Bisa?”

“Bisa Pak!” tanggap anak muda itu sambil melaksanakan perintahku.

“Selanjutnya?”

“Langkah ini harus kau lakukan dengan cepat. Balut kakiku bersama kedua tiang besi itu, tapi jangan dikencangkan dulu.

“Kamu baru bisa mengencangkannya setelah tulang kakiku kamu sejajarkan.

“Paham?”

“Menyajarkan tulang?”

“Ya, disejajarkan. Kamu bisakan?”

“Saya kurang tahu Pak.”

“Kamu sudah training First Aid kan?”

“Belum.”

Mendengar itu, aku menjadi kesal. Mereka sebaiknya mendoakan aku mati di sini, karena aku akan membunuh mereka kalau aku selamat.

“Ya sudah! Aku yang mengarahkan. Perhatikan baik-baik!

“Pegang kakiku, cepat!”

“Baik Pak!”

“Sejajarkan tapak sepatumu dengan tapak sepatuku. Lalu, pakai kaki kananmu untuk memijak untaian tali.

“Satu utas tali sama aku.

“Saat aku bilang ‘Tarik!’, kaki kita akan saling dorong. Aku yang mengencangkan kainnya kemudian.

“TARIK!”

Aku merintih perih seiring merasakan tulang keringku kembali sejajar. Erdiwan bergegas mengamankan penyangga kakiku dengan simpul kain.

“Bagaimana perasaan Bapak? Sudah lebih baik?”

“Luar biasa,” balasku sembari menahan rasa sakit. “Sekarang angkat aku. Aku ingin melihat seberapa jauh kita tenggelam ke dalam kerak bumi.”

“Baik Pak!” balas anak muda itu.

Dia menopangku untuk melangkah ke tengah-tengah platform kokpit ekskavator. Kami berdua kesusahan melangkah karena cidera yang ada pada tubuh kami masing-masing. Kakiku patah satu dan Erdwian berbalur memar dan darah.

Aku kemudian berkata, “Arahkan headlight-mu ke atas Nak.”

Cahaya mengarsir setiap sudut dan lipatan tanah yang telah diterobos oleh alat berat bermassa ribuan ton ini.

“Sebelas arsiran cahaya.”

“Ya Pak?”

“Kita baru saja menerobos 11 lantai kerak bumi. Dua lagi sebelum kita masuk ke dalam neraka.”

“Maksudnya Pak?”

“Kamu tidak tahu kah perkataan itu? Di bumi ini ada Gerbang Neraka. Jika seorang masuk ke gerbang itu, mereka tidak akan bisa keluar. Mereka akan dipaksa oleh kuasa ilahi atau kuasa apalah untuk melalui 13 lantai penyiksaan.

“Dan sepertinya kita baru saja skip 11 lantai,” ucapku dengan nada datar.

“Saya belum pernah dengar cerita itu pak,” balasnya dengan lugu. “Mitos dari mana itu Pak?”

“Itu puisi yang ditulis orang Katolik. Aku ga tahu siapa yang nulis, tapi ceritanya lumayan populer.

“Bahkan, ada yang percaya bahwa mitos itu bagian dari kitab nasrani,” jelasku seiring terkekeh.

Tiba-tiba aku melihat bocah itu tersenyum.

Aku menjadi kesal kembali.

“Kenapa kamu ketawa?!” tanyaku ketus.

“Tidak apa-apa Pak. Saya hanya merasa bahagia saja. Ternyata Bapak punya selera humor juga.”

Aku kemudian menarik kerahnya sekuat tenaga. “Tidak ada yang boleh tahu! Paham?!” tegasku padanya.

“Paham Pak,” kata dia.

‘Kata’ dia. Tetapi, wajahnya berisyarat lain. Wajahnya seakan mengejek aku yang gagal mempertahankan integritas diriku.

“Tuntun aku ke tangga turun alat terkutuk ini! Sekarang!”

“Siap Pak!” balasnya tersenyum lugu.

Aku membalas senyumnya dengan peringatan, ‘Kalau dia tetap senyum, aku akan memukul dia lagi.’

Dia mengiyakan.

Dia tetap tersenyum.

Aku memukul belakang kepalanya dengan tapak terbuka.

Walaupun ia mengerang sakit, senyumnya tidak menghilang. Aku hanya bisa merasa semakin kesal.

Dia kemudian berkata, “Sepertinya perjalanan turun kita akan sedikit susah Pak.” Tangannya menunjuk kepada tangga besi yang telah terlipat dan tersobek oleh tanah dan batuan.

“Ada saran kah Pak?”

“Ada. Tapi, kuatkah perutmu?” balasku seiring menatap kepada almarhum rekan kerja kita.

Wajah Erdiwan mulai bergradasi lagi. Aku menegur dia, “Aku tidak bisa mengandalkanmu kalau isi perutmu keluar semua. Kita berada beberapa meter di bawah tanah tanpa ada sumber makanan.”

Dia pun mengangguk.

“Tetapi…,” lanjut anak muda itu dengan suara ragu. “Apakah tidak apa-apa kita mengambil dari almarhum?”

Aku mengambil waktu sejenak, menatap dia dengan bingung. “Kamu tidak ingat penyanggah kakiku?”

Dia terdiam risih. Kemudian, ia merunduk menyerah. “Baiklah Pak. Saya harus apa?”

“Kita harus membuat semacam jangkar untuk turun dari rangka alat raksasa ini.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!