LAPORAN F.P.E. IX: ERDIWAN; TERANG DI DALAM GELAP

Paru-paruku menarik udara dengan cepat dan kuat. Udara itu terasa perih, penuh debu dan silikat yang merobek bulir-bulir alveoli.

Cahaya remang melaju menyempitkan pupil.

Aku akhirnya menyadari, aku sempat pingsan untuk sementara.

Aku mendorong tubuhku tegak hanya untuk terpeleset lagi.

Tulang pipi dan gigiku menghantam tanah. Sakit. Basah.

Basah?

Basah!

Aku merasakan basah pada wajahku. Basah ini tidak terasa kental. Aku tidak mencium aroma amis karat.

Ini air.

Aku meronta, melontarkan lengan dan kaki tubuhku hanya untuk melangkah lima centi lebih dekat kepada dinding basah itu.

Satu dua luka aku abaikan. Luka yang aku alami adalah hal yang sepele dibandingkan kehidupan.

Bibirku menempel pada dinding batu berdebu. Aku menyeruput aliran air yang setipis tisu itu.

Dahaga dan sengsara lepas seketika.

Tenaga kembali mengalir pada tubuhku. Tenaga ini bukanlah tenaga fisik, tetapi semangat harapan. Semangat itu tidak banyak, terasa seperti gulungan tisu. Namun, itu cukup.

Aku menggeliat, meronta, menggeser tubuh ini hingga terduduk tegak bersandar pada batuan kasar.

Aku kemudian meraba-raba tanah menggunakan satu tanganku yang masih sehat. Tanganku menarik dan meremas batuan di atas tanah untuk menguji batu mana yang bisa aku angkat.

Satu batu berhasil aku angkat. Dengan tenagaku sekarang, batu itu terasa berat, sudut-sudutnya menyayat perlahan pada kulitku. Batu itu terselip lepas dari jari-jemariku.

Ketika batu itu menghentak tanah, aku merasakan dingin pada pangkal panggulku.

Dia kembali. Tangan Putus Asa kembali menyentuhku. Dia kembali membawa peleton yang ingin memutuskan harapanku.

Sekarang, aku bersaing dengan waktu. Aku harus membuka saluran air ini sebelum harapanku putus.

Tanganku melesat mengambil batu itu kembali. Aku memastikan semua jariku mengerahkan tenaga mereka untuk mengamankan batu pada tanganku.

Aku harus bertindak pintar. Terlalu bersemangat dapat membunuhku. Aku menghempaskan tanganku dengan arah menyilang. Ia mendarat di atas paha kananku.

Aku mengambil nafas. Tempo paru-paru aku kendalikan agar darahku menyerap oksigen dengan maksimal.

Lenganku terasa padat, otot-ototku mulai berisikan tenaga. Aku menggerakkannya dan melontarkan batu ke titik bocornya air.

Suara hantaman batu menggaung keras di dalam ruang goa.

Aku menatap kepada celah itu. Hantamanku tidak melakukan apa-apa. Air belum mengalir, hanya rembesan dari batuan.

Pikiran buruk mulai mengalir kembali di dalam kepala. Pikiran itu disuntikan ole jari-jemari peleton Tangan Putus Asa yang sekarang berada di sepertiga tulang punggungku. Pikiran itu terasa sakit bagai bisa pada taring lipan.

Aku tidak boleh kalah cepat.

Aku kembali mengokang lenganku. Tangan terhempas ke paha kanan. Atur nafas. Atur tempo.

Tangan terlontar ke titik air.

Suara hantaman kembali menggelegar di ruang goa.

Tidak terjadi apa-apa.

Sekali lagi.

Tangan kembali aku kokang ke atas paha kanan. Atur nafas. Rasakan tenaga pada lengan kiri.

Lontarkan!

Suara gaung keras.

Tidak terjadi apa-apa.

Sekali lagi!

Kokang tangan! Atur nafas! Jangan biarkan panik mengambil alih!

Lontarkan lengan!

Gaung!

Tidak terjadi apa-apa!

Sekali lagi!

Aku ulangi kembali seiring peleton Tangan Putus Asa merambat hingga ruas tulang punggung penopang paru. Kendali terhadap diriku mulai goyah, tempo ayunanku perlahan semakin laju.

Racun putus asa yang menyakitkan pertama terasa sakit. Dosis kedua terasa begitu tersiksa. Saat dosis ketiga, candunya terasa begitu luar biasa.

Tetapi, aku tidak akan membiarkan diriku tertelan candu itu. Tangan Putus Asa dan tentaranya dapat mengambilku saat ia layak merengut harapanku.

Aku tidak akan membiarkan hari itu tiba.

Aku tidak akan mengecewakan beliau. Pak Harian yang telah mendidikku.

Dia mungkin bajingan tua dengan sumbu pendek. Tetapi, dia orang pertama yang benar-benar percaya padaku. Yang tidak membuat aku merasa tidak ada gunanya untuk hidup.

Beliau adalah figur ayah yang aku perlukan saat kamu melarikan diri.

Jadi, aku akan mencoba lagi. Prajurit Tangan Putus Asa sudah mencapai tengkuk pangkal tengkorak, aku tetap mencoba lagi.

Tangan-tangan itu memasang jangkar, menggenggam erat pada pangkal leherku. Mereka menggenggam tali harapan pada pangkal tengkorakku dan menariknya dengan sekuat tenaga.

Aku merasakan sakitnya bagai ribuan semut mengunyah saraf-sarafku. Tetapi, aku tidak membiarkan diri lengah. Aku tetap mengayunkan batu kepada titik air.

Berulang kali.

Berulang kali.

Tidak terjadi apa-apa.

Tidak menjadi masalah.

Akan aku coba lagi.

Tidak peduli tulangku retak.

Tidak peduli tapak tanganku mengalir darah.

Aku akan mencoba lagi.

Aku harus mencoba lagi.

Aku terus mencoba melebihi seratus kali. Namun, kali ini terasa janggal. Saat hentakan batu menggaung kembali di dalam gua, aku bisa merasakan gaungan itu dalam bentuk rasa sakit yang amat sangat. Rasanya seperti sebuah bagian tubuhku dirobek dengan paksa.

Rasa sakit itu menyajikanku dengan sebuah cuplikan. Sebuah wajah mengkerut kering karena air matanya terkuras. Jeritan ratapan menggetarkan sebuah gedung.

Hanya, aku bingung. Sudut pandangku melihat mereka bersedih seakan aku sedang berbaring. Mengapa aku melihat mereka dari sudut yang janggal ini?

Mengapa aku melihat Melanie menangis?

Mengapa aku tidak bisa bergerak?

Aku mengerti. Ini ulah Tangan Putus Asa dan peletonnya. Mereka berhasil memutuskan satu dari tiga jangkar harapanku. Mereka membuatku menyaksikan hasil upayaku yang akan sia-sia, mati di dalam peti.

Aku tidak akan membiarkan mereka menang.

Aku mengulangi menghempaskan batu pada lengan dengan semangat baru. Semangat yang datang dari rasa tidak ingin kalah.

Sekali lagi.

Sekali lagi.

Sekali lagi!

Kali ini, ada sesuatu yang berubah. Gaung yang memantul di dalam goa terkutuk ini tidak sama seperti gaung-gaung sebelumnya.

Saat aku melihat kepada dinding batu, rembesan air itu mengalami keretakan. Retak itu tidak lebih dari satu centi, tetapi itu cukup. Itu cukup.

Tangan Putus Asa dan peletonnya juga mengetahui hal itu cukup bagiku. Mereka tidak senang akan kenyataan itu. Mereka kembali menarik tali harapan agar terlepas dari benakku. Dua jangkar lagi dan mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Aku mati mengetahui aku tidak berguna.

Aku mencoba sekali lagi. Batu kembali aku genggam, aku kokang ke atas paha kanan dan aku lontarkan.

Sekarang, gaung di dalam goa tidak hanya gaung. Gaung itu adalah sebuah simbol bagiku, simbol bahwa masih ada harapan bagi kami untuk keluar.

Hantaman satu, aku bisa melihat aku dan Pak Harian melangkah bersama di dalam goa.

Hantaman dua, aku melihat cahaya indah matahari.

Hantaman tiga, aku berada di dalam pelukan hangat Melanie. Walau, aku tahu selanjutnya aku akan dibakar olehnya dengan beribu komentar pedas.

Aku menerimanya.

Lalu, hantaman keempat. Hantaman keempat aku melihat seorang anak menangis. Aku tidak melihat wajahnya, tetapi anak itu seorang perempuan remaja. Perempuan itu menggali tanah di bawah sebuah bingkai foto.

Perempuan itu adalah putri Pak Harian yang terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ayahnya telah berpulang.

Pada hantaman keempat, batu yang aku genggam pecah menjadi butiran kerikil.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!