LAPORAN F.P.E. VIII: ERDIWAN; BERTAHAN

Aku merasakan tubuh Pak Harian semakin berat. Aku menyangka tubuhku mulai kehabisan tenaga untuk menopang beliau. Nyatanya, beliau yang tidak kuat lagi menopang tubuhnya sendiri.

Cahaya headlight memantul dari kulit beliau yang biru. Matanya mulai tertutup sayu. Nadi pada pelipisnya menebal karena adrenalin yang memompa darah kepada buntungan kakinya.

“Aku tidak ingin melakukan ini lagi. Aku sudah membakar lukannya. Mengapa kau terbuka lagi?” keluhku melihat tetesan darah dari buntungan lututnya.

Aku kemudian membaringkan beliau. “Pak bertahanlah. Seperti yang engkau ajarkan padaku, ‘Tangguhlah untuk aku!’”

Aku bergegas mengikat kaki beliau menggunakan ikat pinggangku. Aku membuka kain yang menutup luka beliau.

Mataku terbelalak saat menatap kepada kaki beliau. “BETAPA BODOHNYA KAMU ERDIWAN!” seruku di dalam benak. Aku menatap kepada kulit yang penuh bentol dan ruam lepuh. Pada pangkalnya, terlihat mulut luka yang masih menumpahkan darah kental.

Aku berpikir pada diri sendiri, “Mengapa aku sebodoh ini! Aku seharusnya menggunakan besi untuk menutup lukanya! Bukan membakar kaki beliau langsung!

“Bodoh!

“Bodoh!”

“Pak Harian,” ucapku penuh penyesalan. “Maafkan saya Pak, saya harus meninggalkan Bapak di sini sementara. Aku janji akan kembali kepada Bapak.”

Aku pun berjalan kembali ke lokasi longsornya tanah. Aku merasa hampa dan aku tidak tahu mengapa.

Tanah aku kais dengan kedua tanganku. Gumpalan demi gumpalan aku hamparkan ke tanah di belakangku. Tetapi, aku tidak memperhatikan galian di hadapanku. Aku tidak bisa fokus, kepalaku tergesa-gesa mencari sesuatu yang bisa aku panaskan.

Besi atau sesuatu.

Tiba-tiba, nasib baik kepadaku. Headlight-ku memantulkan cahaya kembali kepada mata. Aku melihat sebuah benda besi terkubur sejauh satu meter dari tempat aku berlutut.

Aku bergegas, terengah-engah, menggali tanah. Besi itu mulai terlihat jelas, sebuah ember besi dengan setengah permukaannya terendam di dalam lendir hijau.

Aku berusaha menarik ember itu tetapi, ia tidak bergerak. Seakan-akan lendir hijau itu tidak ingin melepaskannya.

Aku kemudian menumpukan kedua kaki di antara ember tersebut. Seluruh tenaga yang tersisa aku kerahkan kepada kedua tapak kakiku.

Aku pun terhempas laju, tubuh bergesekan dengan permukaan kasar batuan. Semua itu siksaan yang sepadan untuk menyelamatkan seorang rekan, seorang mentor bagiku.

Aku segera berlari ke tempat beliau rebah.

Seiring aku berlari, aku merasa sedikit janggal. Sebuah amarah bergejolak di dalam batinku, tetapi amarah itu tidak datang dariku.

Kemudian, aku mendengar sebuah bisikan, “Be…, bas…, kan…”

Aku mengabaikannya. Aku menengarkan diri dengan tenaga terakhirku. Satu-satunya yang mengisi pikiranku hanya keselamatan Pak Harian. Aku tidak bisa melakukan ini sendiri.

Akhirnya, aku tiba di hadapan beliau. Tubuhnya perlahan membiru pucat. Ia bergumam, “Ma…, af…” dengan nafas sayu. Lengannya mulai berkedut, memompa sisa-sisa darah di dalam tubuhnya.

“Bertahan Pak, bertahan. Aku tidak bisa melakukan ini sendiri. Aku memerlukanmu, ok?

“Mohon tahan sakitnya sekali lagi,” ucapku seiring membalikkan ember yang ku genggam kepada permukaan tanah. Kemudian, aku bergegas mengambil mancis dari kantongku dan menyulut sisi yang berlumurkan lendir hijau tersebut.

Api menyulut menjulang tinggi hingga ke langit-langit goa. Besi ember itu pun menyala merah terang, mataku terbutakan untuk sementara.

Aku kemudian menyadari bahwa aku tidak memiliki pengaman. Aku ingin bersumpah serapah karena tindakanku yang gegabah, tetapi aku menahan diri.

Aku menepukan tapak kaki pada permukaan tanah, memindai ide demi ide di dalam kepala.

Sebuah ide pun muncul. Ia menuntunku untuk mengangkut tubuh beliau ke lokasi ember panas itu. Dengan perlahan dan pasti aku mengarahkan kaki Pak Harian kepada permukaan besi panas.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah cengkeraman erat pada sisi kiri wajah dan pinggangku. Cengkraman itu begitu keras, begitu panas terasa pada tubuh, aku pun lumpuh kesakitan.

Topanganku terhadap kaki beliau terlepas. Walau ia tidak sadar, aku bisa mendengar beliau merintih kesakitan, “HRMPHH!!!”

Sialnya bagiku, rintihan sakit itu tertimbun oleh suara-suara yang terdengar di dalam tubuhku. Suara itu penuh amarah, penuh dendam, penuh ratapan. Suara itu berteriak, “ITU DIA! ITU DIA! ITU DIA!!!

“DIA YANG MEMAKAN KAMI!!!

“DIA YANG MEMBELENGGU KAMI DI SINI, YANG MENYISAKAN KAMI DI SINI. SETITIK AMARAH DAN DENDAM YANG TIDAK AKAN BISA PULANG KE ALAM BAKA!!!”

Teriakan itu ditanam semakin dalam pada benakku oleh beragam cuplikan kenangan-kenangan yang bukan miliku.

Seorang teman yang berjanji untuk kembali di sebuah tempat, mati tergilas oleh bebatuan.

Seorang paman yang membesarkan keponakan yatim-piatunya, bertahan hidup memakan tikus tanah sampai ia keracunan.

Seorang perempuan yang berupaya menunjukan kompetensinya kepada ibunya yang keras kepala, tercekik oleh tanah.

Kenangan-kenangan amarah mereka yang tidak bisa kembali kepada yang mereka sayangi.

Aku pun harus kembali kepada dia yang ku sayangi. Melanie.

Badanku masih bisa bergerak. Kelumpuhan ini hanya sementara. Aku hanya harus dapat menangguhkan mentalku. Aku memerlukan sesuatu yang bisa memaksaku fokus.

Aku bergegas untuk menyentuh besi panas pada kaki Pak Harian.

“AAAARRHHH!!!!” seruku. “DIAM KALIAN!!!”

Seiring aku berseru, aku melihatnya. Sejumlah mata yang telah mengawasi aku dan Pak Harian semenjak hari pertama kami bekerja. Mata itu terpampang pada setiap cuplikan kenangan-kenangan pahit ini.

Kemudian, sunyi.

Aku terkapar lemah di atas permukaan tanah.

Bendungan sementara yang menahan air mata kembali terbuka. Aku menangis kesal, mempertanyakan apa atau siapa yang ingin menyiksaku di sini. Mengapa mereka ingin aku sengsara.

Kemudian, tengkuk leherku terasa dingin. Aku merasakan dia kembali, tangan dingin depresi yang ingin membuatku nyaman dalam rasa menyerah. Tangan dingin itu terasa hangat bagiku, aku merasa berada di dalam ruangan yang memelukku aman.

Tetapi, aku tidak bisa menerimanya kembali. Aku harus bangun. Aku tidak bisa membiarkan Pak Harian kecewa.

Aku tidak bisa membiarkan orang pertama yang percaya padaku kecewa.

Aku mematahkan tangan dingin nan hangat itu dan kembali berdiri. Tenagaku sudah habis, tetapi aku tetap memaksakan diri. Aku berguling perlahan. Saat perut dan lututku terhempas ke permukaan tanah, aku tidak memiliki tenaga untuk memproses rasa sakit itu.

Aku melata kepada sisi lain goa.

Satu lutut.

Satu siku.

Satu tapak kaki.

Tiga tahap hanya untuk melangkah satu tapak kaki.

Berulang lagi.

Berulang lagi.

Berulang lagi.

Berulang lima kali lagi.

Lenganku kemudian bersusah payah mensejajarkan tubuh ini pada permukaan goa. Genggamanku terlepas beberapa kali karena aku tidak kuat menggenggam. Aku tidak menyerah.

Aku akhirnya bersandar pada dinding kasar ini.

Aku menatap kepada tanganku yang melepuh matang. Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Tetapi, aku tahu risiko yang akan aku hadapi jika aku membiarkannya.

Aku kembali memaksakan tubuh lemah ini untuk bergerak. Tanganku meraba permukaan batuan yang bisa aku jangkau.

Aku berharap di dalam batin akan adanya sesuatu. Aku tidak tahu sesuatu apa yang aku cari, tetapi aku memerlukannya. Sesuatu yang bisa memberiku harapan.

Sesuatu yang akan menolongku kembali pulang.

Tubuhku bergerak centi demi centi, mengeksplorasi dinding yang terbatas ini. Aku merasakan mataku mulai sayu. Aku lelah. Tetapi, aku tetap memaksa.

Aku terus bergerak.

Aku harus terus bergerak.

Aku tidak kuat lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!