LAPORAN F.P.E. X: ERDIWAN; WAJAH YANG HINA

Batu besar pecah bertaburan menjadi kerikil.

Aku hanya bisa menatap kepada tangan kiriku yang bergetar. Sayatan demi sayatan demi sayatan menghiasi permukaan kulit yang hina ini.

Dukungan harapan terhadap mentalku mulai menipis. Hanya satu jangkar yang tersisa dan aku tidak tahu apakah jangkar harapan itu akan bertahan.

Aku kemudian menatap kepada Pak Harian yang terbaring lemah. Ia bergumam, “Annie, kamu di sini? Ayah janji akan pulang.”

Aku tidak merasa sedih, tetapi air mata mengalir di wajahku. Aku kenal perasaan ini. Aku benci perasaan ini. Perasaan ini adalah rasa keraguan diri.

“Maafkan aku Pak Harian. Aku sudah mencoba untuk tangguh. Aku hampir berhasil.

“Tubuh lemah ini sudah cukup kuat untuk menopang engkau Pak. Aku sudah cukup kuat untuk menopang Bapak kembali ke permukaan. Aku juga sudah cukup kuat untuk membawa Bapak ke dekat sumber air.

“Aku mencoba sekuat tenaga untuk mendapatkan air itu untuk aku bagi kepadamu.

“Tetapi, aku tidak berhasil.”

Kemudian, benakku menunjukkan sebuah bayangan. Aku merasakan ketakutan amat sangat melihat bayangan itu. Tubuhku bertindak untuk mengusir bayangan itu dengan memompa asam lambung.

Walau aku tidak melihat wajahnya, aku mendengar suara bayangan itu. Suaranya tidak keras berteriak, namun halus, tenang. Suaranya terdengar bagai belati yang menyayat dari perut hingga paru, “Kau lagi? Apa maumu? Makan? Minum?

“Kau pun tidak bisa mengatakan apa yang kamu mau.

“Tidak ada gunanya. Kau hanya bisa minta, minta, dan minta.

“Bahkan kau meminta nyawa mamamu hanya untuk bernafas.

“Tidak ada gunanya.”

Kata-kata itu begitu berpengaruh bagai sabu atau kokain. Pikiranku dipenuhi oleh kegelapan yang dikendalikan oleh kenangan pahit itu.

Aku mendapati diriku berkata, “Aku tidak berhasil. Karena itu yang penting kan Pak?

“Apa gunanya mencoba dan mencoba tanpa ada hasil. Benar kan Pak?

“Bapak kecewa bukan? Katakan! Katakan aku tidak ada gunanya?!

“Tidak ada gunanya engkau berkeras mengajariku, karena aku memang orang tak berguna bukan?!

“Jawab Pak Harian!” seruku kepada orang tua yang tersandar lemas pada dinding goa, kepada orang tua yang hanya bisa bergumam igau.

Luapan emosi itu berlangsung bersama Tangan Putus Asa merobek jangkar harapan pada benakku secara perlahan. Benang demi benang. Serat demi serat.

Aku mulai menangis. Aku tidak merasa sedih, aku menangis karena rasa sakit. Kenangan-kenangan pahit mulai mengalir dari celah antara jangkar harapan dan batang otakku.

Aku mengingat terbaring dalam sebuah ruangan dingin. Tidak ada kasur, hanya lantai semen yang dipenuhi luka batuan.

Aku merasa takut. Aku takut permintaan tolongku hanya akan menjadi angin lalu. Padahal, aku tahu permintaan tolongku pasti menjadi angin lalu pada telinga dia.

Tetapi, dari kacamata anak enam tahun itu, rasanya tetap sakit dibengkalai oleh ‘figur orang tua’.

Kemudian, aku merasakan panas di dalam benak. Panas ini adalah amarah yang berteriak, “Dendam! Dendam! Bebaskan kami untuk dendam!”

Amarah ini milik mereka yang sebelumnya merasuki tubuhku. Mereka membantuku mempertahankan jangkar harapan terakhirku, bersaing dengan tangan putus asa dan peletonnya.

Dari persaingan mereka, dari panas amarah korban-korban kolapsnya tambang yang bergejolak di dalam batin dan benak, aku melihat sebuah kenangan hangat.

Aku terbaring menggigil di dalam sebuah ruangan. Perutku meraung lapar. Sebuah piring berisi makanan diletakan secara perlahan di hadapanku.

“Makan dek. Tapi pelan-pelan ya, jangan sampai terdengar bapak.”

Kakakku.

Kakakku yang cantik. Rambutnya sepanjang bahu. Lengannya tebal dan pipinya yang tembem.

Dia orang pertama yang memperlakukanku seperti manusia. Ia memeluk tubuh kecilku agar tetap hangat seusai makan.

Dia mengajariku kasih. Dia yang membentuk diriku sekarang. Walau, bertahun-tahun aku tidak mempercayai dia.

Saat aku mulai membuka diri, aku terlambat. Tidak ada yang bisa menebak kapan orang akan berpulang, tidak ada yang bisa menebak cara orang berpulang.

Kenangan hangat menjadi panas. Panas menjadi amarah. Amarah menjadi semangat baru.

Aku marah kepada dunia yang merengut kakakku tersayang. Aku marah kepada perusahaan yang membiarkan Pak Harian membusuk sebelum beliau dapat bertemu putrinya

Aku marah pada diriku yang memilih menyerah.

Dengan semangat baru, aku menyeret tubuh lemah ini menghadap kepada lubang air. Tubuhku aku hempaskan, langkah demi langkah hingga sejajar pada retakan pada dinding batu.

Aku menggunakan satu-satunya kakiku yang masih bisa bergerak normal. Satu kakiku masih dalam tahap penyembuhan dari luka yang dibuat oleh Pak Harian.

Aku menarik nafas dan menutup mata. Aku melihat wajah kakakku, ia tersenyum menyemangatiku. Ia menghadang kenangan pahit orang tua tak berguna yang menelantarkanku.

Aku juga melihat wajah-wajah orang yang tak ku kenal mengingat orang tersayang mereka. Sekarang, aku mengerti apakah lendir hijau ini. Inilah bentuk fisik mereka yang tersisa. Amarah dalam bentuk lumpur hidup.

Aku siap.

Aku siap menjadi martir kalian.

Aku menjejakkan tapak sepatu safety kepada dindin batu. “Aku akan keluar dari sini!” seruku pada hantaman pertama.

Jejakan kedua, “Aku akan kembali ke permukaan bertemu Melanie!”

Jejakan ketiga, “Aku janji aku akan tangguh untuk Pak Harian!”

Jejakan keempat, “Aku akan membawa beliau ke putrinya!”

Jejakan kelima.

Air mengalir deras dari celah batuan. Amarahku mengencang menjadi senyuman lega. “Aku…, aku berhasil hhah! Aku berhasil!

“Pak Harian! Aku berhasil Pak!” seruku bangga.

Saat aku menatap beliau, aku baru mengingat, keadaan beliau kritis. Aku bergegas berdiri. Satu kakiku tertatih untuk menopang tubuh yang mulai kehabisan tenaga.

Lengan beliau aku tumpukan pada bahu. Aku membaringkan beliau di sebelah lubang air.

Aku mencari wadah untuk menggerakkan air itu ke mulut beliau. Tangan tidak mungkin. Kain tidak mungkin.

Aku akhirnya melepaskan hard-hat dari kepala. Plastik yang menjadi kasur bagi kepala aku lepas. Air aku tuangkan ke dalam.

Hard-hat berisi air itu aku dekatkan kepada bibir beliau. “Minumlah Pak. Bapak sudah kehabisan banyak darah. Setidaknya, cairan ini bisa mendukung bapak untuk sementara,” jamuku dengan suara penuh harapan.

Aku hanya dibalas oleh gumaman, “Ma…, af…, Nak…”

“Tidak apa-apa Pak. Aku tahu Bapak hanya berusaha mendidik. Walau cara Bapak kurang sesuai, namun aku paham Pak.

“Sekarang, minumlah.”

Beliau kembali membalas dengan gumaman. “Ma… f…”

“Ti –

“Ma…f…, Ra…, fli…”

Nama siapa itu? Siapa Rafli ini? Apakah dia yang menyebabkan beliau seperti ini? Mudah tersulut dan pemabuk?

Apakah karena stress?

Apakah karena rasa bersalah?

Begitu banyak pertanyaan semakin terungkap dalam situasi ini.

Tiba-tiba, suara gaungan susulan terdengar. Suara itu mulai dari satu suara. Kemudian, suara bertambah menjadi tiga suara. Tiga suara berubah menjadi 81 satu suara.

Gaungan itu kemudian disusul oleh suara air yang mengalir deras. Air itu datang dari titik air yang aku buka.

Harapanku diuji oleh goa ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!