LAPORAN F.E.P. VI: ERDIWAN; PENGORBANAN

Jeritan statik radio merobek gendang telinga kami secara perlahan. Upayaku untuk meredamnya dengan kedua tangan pun sia-sia. Aku bisa merasakan sakitnya pada seluruh serat tubuh ini.

Tiba-tiba aku merasakan lenganku ditarik.

Aku pun panik. Walaupun aku mengenakan headlight, aku tidak bisa berpikir jernih. Mayat-mayat tanpa rahang yang menyatu, lengan-lengan yang bermunculan dari balik daging membusuk. Aku spiral, mencari ke segala arah siapa yang menarik diriku.

Wajahku kemudian ditarik oleh beliau. Cahaya menyinari wajah beliau.

“ERDIWAN!” bacaku terhadap mulut Pak Harian yang berseru. “JANGAN DIAM SAJA!!! GERAK! GERAK! GERAK!”

Melihat wajahnya, panikku berubah menjadi adrenalin. Aku tetap tidak bisa memproses apa yang terjadi, namun aku hanya tahu aku wajib melakukan satu hal. Aku harus berlari.

Seketika, goa ini mulai bergetar. Statik radio itu mulai mengucapkan kata-kata rancu.

“MAY…, DAAY!!! MAYY DAY!!!!

“COPPY…

“SATU…

“SATU..!!

“SATU!!!!”

Suara itu menggetarkan hingga ke dalam inti sari jiwa ragaku. Kehangatan sebuah jiwa meredup. Aku bisa merasakan dingin merambat dari perut hingga ke tulang punggung, dari tulang punggung ke tengkuk leher.

Aku hanya bertindak berdasarkan insting.

Aku mengangkat Pak Harian yang tertatih menahan sakit seiring melaju menggunakan satu kakinya.

Aku mendengar Pak Harian berseru kesal. “APA YANG KAMU LAKUKAN ERDIWAN?”

Aku mendengar.

Aku tidak bisa menjawab.

Aku hanya bisa berlari.

Aku lupa isi perutku kosong.

Aku lupa sejumlah tulangku retak.

Aku hanya bisa…, berlari.

Tiba-tiba, udara di dalam goa ini terasa janggal. Aroma busuk yang dipompa oleh udara di dalam goa ini memudar perlahan. Aku tidak merasakan angin berhembus dari belakang punggungku.

Aku merasakan debu dan batu semakin keras bergesekan dengan wajahku.

Kecepatanku berhenti dalam sekejap. Aku pun menghantam dinding goa.

Saat aku menoleh, aku mendapati Pak Harian menahan sebuah pilar kayu di dalam goa ini. “Kenapa P –”

Kalimatku pun terhenti.

Aku hanya bisa menatap heran dan takut saat menyaksikan sebuah pilar daging melaju secepat lokomotif kereta. Anginnya begitu kuat, tubuh kami pun tertarik. Aku dan Pak Harian bertahan sekuat tenaga pada pilar kayu itu.

Pilar daging itu pun kembali ditarik oleh makhluk itu. Sejumlah batuan dan sampah-sampah lainnya melaju ditarik oleh angin pergerakannya.

Kemudian, semua kembali sunyi.

Aku menatap kepada Pak Harian. “Apakah semuanya sudah usai?” tanyaku. Aku berupaya untuk menutupnya dengan suara berani, namun rasa takut meretakkan suaraku.

“Aku harap seperti itu Nak!” balas beliau lelah.

“Sekarang, turunkan aku.”

“Oh ya, baik Pak,” balasku seiring menurunkan beliau dari bahuku.

Aku kemudian terduduk lemas. Semua tensi yang menekan punggungku terlepas dalam satu hembusan nafas.

Aku tidak tahu harus berpikir apa. Aku berusaha keras untuk mencari sisi positif dari situasi ini. Aku tidak bisa. Inilah pertama kalinya, aku hanya bisa melihat kehampaan.

Aku mencoba memaksa senyum, tetapi aku tidak bisa. Isak tangis membobol bendungan wajahku.

Aku selalu percaya bahwa semua akan baik-baik saja selama aku hadapi dengan senyuman. Bahkan, jika aku bisa merasakan beban dunia memeras jiwa ragaku.

Sekarang, aku putus asa.

Aku menangis rancu. Aku tidak bisa menentukan apakah aku harus tetap senyum atau menerima pasrah. Aku tidak tahu.

Tiba-tiba aku mendengar, “Baguslah.”

Aku menatap Bapak Tua itu dengan bingung. “Apa yang bagus?” tanyaku di dalam kepala.

“Kamu menangis. Artinya, kamu sudah satu langkah lebih dekat dengan realita.

“Aku tahu tipemu Nak. Selalu senyum. Kamu percaya dengan senyuman, semua tantangan akan kamu lalui dengan santai.

“Masalahnya, saat semua beban dunia terasa terlalu berat, kamu hanya punya dua pilihan. Kamu lari atau kamu patah.

“Yang aku maksud. Terimalah fakta kita berada di tempat tanpa ada harapan. Lepaskan kenaifanmu. Menangislah sepuasnya. Setelah itu, berdiri lagi.”

Kemudian, beliau menyusulku dengan mendudukan tubuhnya pada tanah gua ini. “Begitulah cara kamu menghadapi dunia. Seperti kerjaan anak-anak maintenance [12], mereka tidak hanya mencari kecacatan alat lalu memperbaiki cacat tersebut. Mereka mengakui adanya cacat pada alat.

“Akui keadaan kita buruk. Lalu, kita bertindak.

“Apakah kamu melakukan itu Erdiwan?”

Aku akhirnya melepaskan tangis sepuasnya. Idealisme ku runtuh. Aku menerima realita bahwa aku tidak bisa melihat jalan keluar dari goa terkutuk ini. Aku tidak bisa melihat sisi positif dari kondisi kami.

Aku tiba-tiba merasakan sebuah tapak tangan hangat meraba punggungku. Rasa bentuk tapak itu di punggungku berbeda dari tapak tangan ayahku. Tetapi, aura, kehangatannya sama.

Untuk pertama kalinya, aku merasakan sisi baru dari Pak Harian. Sisi seorang ayah.

Untuk pertama kalinya, aku memahami mengapa ia begitu penuh…, semangat untuk keluar dari goa terkutuk ini.

Aku mengusap tangisku. “Mari kita berjalan lagi Pak?” balasku sambil terisak.

“Baiklah,” balas Bapak Tua itu. “Aku juga harus bergerak untuk memompa darah ke kakiku yang payah ini. Kakiku mulai terasa dingin.”

“Dingin dari mana Pak,” balasku terkekeh. “Kan ga ada –”

Aku menatap kepada kaki beliau dengan headlights. Aku merasakan takut yang amat sangat.

Aku berusaha untuk mengeluarkan satu kata. Tetapi, kami melaju seketika.

“ERDIWAAN!!!”

“PAK!!! BERTAHAN!!!”

Sebuah lendir melilit kaki beliau. Lendir itu kemudian memadat dan menarik kami dengan laju. Aku bisa merasakan wajahku berkibar oleh karena angin.

Pak Harian kembali menahan tubuhnya pada sebuah pilar. “RRAAAGGGH!!!” serunya kesakitan. Jari-jemarinya berlumur darah seiring sejumlah kukunya tersobek.

Tindakan beliau tidak disukai oleh inang dari lengan lendir itu. Sebuah raungan berbumbu statik dan suara-suara dari alam baka menggetarkan goa ini.

“SATU… SATU… M-M-MAY DDDAY…

“SATTU!!!”

Metafora getaran suara itu pun menjadi kenyataan. Goa ini bergetar dengan sebuah tempo yang mengerikan. Aku bisa merasakan monster itu melaju bagai lokomotif.

Batuan yang terkikis perlahan berubah menjadi hujan batu sebesar kepalan tangan. Sejumlah kayu mulai retak dan berjatuhan, termasuk kayu yang digenggam oleh Pak Harian.

Retakan itu disaksikan oleh Maut dan Jentaka [13].

Pilar kayu yang kami gunakan patah. Kami melaju ke dalam mulut monster bersama puing-puing batu dan kayu. Sejumlah batuan kecil dan serpihan kayu tajam menyayat kulit kami.

Tidak sampai lima detik, kami berada di dalam mulut monster yang melaju di dalam goa ini. Kami kembali dirobek oleh suara statik radio.

Tangan-tangan yang berpegang radio tenggelam ke dalam tumpukan daging busuk. Tangan-tangan baru keluar menarik tubuhku untuk menyatu dengan mereka.

Satu lengan melaju ke wa –

Aku melihat wajah Melanie. Dia tersenyum dengan gaun putihnya. “Erdiwan? Apakah aku terlihat cantik?”

“Tentunya sayangku. Kamu terlihat bersinar dengan gaun itu.”

“Aku merasa begitu bahagia di bab baru cerita kita. Berkeluarga, berumah tangga denganmu.”

Kemudian aku merasakan sebuah rasa sakit yang tajam. Aku menyaksikan kekasihku memegang sebuah revolver yang berasap. Bahuku berlumur darah.

Wajahnya tersenyum saat ia berkata, “Bangun.”

“BANGUN ERDIWAN!” terdengar.

Aku menyaksikan Pak Harian secara harfiah mencakar permukaan daging menggunakan dua batang kayu untuk keluar.

Saat aku melihat lokasi kayu itu, aku berteriak, “HHHAAARRHGGHH!!!” Ia menancapkannya hingga menembus bahuku. Rasanya panas dan perih bagai hantaman peluru.

“BAGUSLAH! LEBIH BAIK KAMU SAKIT DARIPADA MATI!”

Aku berada di ambang batas pecah. Aku tidak berpikir seiring berseru, “AKAN KU BALAS NANTI KAMU BAPAK TUA!”

Dia kemudian tersenyum. Namun, senyumnya janggal. Dia terlihat sedikit bangga saat kembali berseru, “AKAN KU TUNGGU NAK!”

Dengan susah payah ia membawaku hingga keluar dari mulut monster ini.

Tiba-tiba kami terhempas.

Monster ini telah menabrak PC 4000 yang sebelumnya kami tinggalkan. Kami bergegas bertahan dengan mencengkeram trek besi alat raksasa di hadapan kami. Kami melawan lengan-lengan yang menarik kaki kami dengan setengah mati.

Pak Harian melawan, menusuk, membelah, hingga merobek serbuan tangan, otot dan lendir busuk yang ingin menelan kami.

Aku kemudian mendapati sebuah kain di atas permukaan tanah. Kain yang terputus saat kami jatuh.

Aku mengerahkan sisa tenagaku untuk mengambil kain itu. Tubuhku serasa akan terbelah, berebut antara diriku dan monster terkutuk.

Aku berada satu senti dari kain itu.

Dapat.

Saat aku menggenggam kain itu, aku meraba keberadaan korek api. “Kamu masih menyayangiku ya Allah,” gumamku.

Aku menyulut kain itu menyala, lalu aku lemparkan ke dalam perut monster itu.

“APA YANG KAMU LAKUKAN ERDIWAN?!”

“BERJUDI DENGAN MAUT PAK!”

Sebuah ledakan dengan api menjulang tinggi mengisi semua celah dalam goa.

BOOM!!!

CATATAN:

Maintenance, divisi tambang yang bertanggung jawab dalam menangangi kerusakan alat berat atau kendaraan;

13. Jentaka\, Bahasa Sansekerta untuk kesengsaraan\, penyiksaan\, kesialan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!