BANGUNLAH AYAH

Ayah, ini bukan salahmu. Ayah sudah melakukan yang terbaik untuk muridmu. Ayah yang mengajarinya, ayah yang mendidiknya.

Aku pun tidak tahu bagaimana caranya, tetapi ayah pun masih bisa hadir untukku. Aku melihat ayah membuka pintu rumah dengan wajah lelah, tetapi ayah memaksakan semangat saat melihat aku belajar.

Saat aku mulai lelah, ayah mengangkatku ke kamar. Tanganmu kasar, tetapi tangan itu tangan terhangat dan terlembut yang selalu aku rasakan.

Aku yakin, kehangatan dan kelembutan itu juga yang dirasakan oleh anak-anak buahmu di tambang sana ayah.

Mereka beruntung. Mereka menyaksikan dan mengalami kehadiranmu langsung selama delapan jam, dari Senin hingga Jumat. Mereka engkau ayomi, melalui kebaikan, melalui kesedihan, bahkan melalui amarahmu.

Aku…, aku cemburu pada mereka ayah.

Aku sudah mencoba berbagai cara untuk mendapatkan perhatianmu. Aku berlaga konyol, menari-nari di atas meja dan di depan tv hanya untuk mendapatkan tawa darimu. Aku meraih nilai-nilai tertinggi di sekolah demi mendapatkan usapan rambut yang dulu sering engkau beri saat aku masih enam tahun, saat engkau masih tertatih menghidupi kami.

Aku hanya ingin ditatap empat mata olehmu sekali lagi. Hanya ayah dan putrinya.

Aku cemburu.

Aku ingin marah.

Aku ingin… Tetapi, aku tidak tahu mengapa, aku juga merasa tidak adil jika aku memaksamu untuk memperhatikanku saja ayah.

Awalnya, aku tidak mengerti.

Tetapi, setelah aku bertemu dia, semua menjadi jelas.

Dia sering bercerita tentangmu ayah. Dia sering bercerita bahwa ayah adalah satu-satunya orang yang dihormati oleh PT. E2S. Banyak mereka yang menyukaimu. Banyak mereka yang membencimu. Tetapi, mereka semua menghormatimu.

Dia juga bercerita, telinganya sudah panas mendengarkan cerita ayah tentang aku. Tentang tarian lucuku saat kecil. Tentang nilai dan ranking kelasku.

Setelah aku mendengar cerita dia, kejanggalan di hatiku mulai terangkat. Aku mulai melihat kembali kehidupan kita di rumah. Aku melihat engkau berdiri jauh dariku, tetapi engkau tetap hadir.

Aku kembali mengingat suatu hari. Hari itu Rabu malam, persiapan sebelum ujianku. Aku menahan tangis karena khawatir materi yang aku pelajari tidak akan aku serap. Ayah tahu aku payah dengan materi sejarah.

Saat aku mulai menggaruk kepala kesal, aku mendengar sebuah gelas terletak di atas meja. Gelas itu berisikan susu cokelat. Ayah duduk di belakang gelas itu.

Aku tidak melihat sepercik emosi dari wajahmu. Tidak ada senyuman. Tidak ada amarah. Aku hanya bisa menanggapi dengan rasa takut dan frustasi saat itu.

Tetapi, ingatan itu terasa hangat sekarang. Sekarang, aku paham cara-caramu ayah. Ayah tidak perlu tersenyum. Ayah tidak perlu marah atau sedih. Ayah hanya beraksi dan aksimu adalah kasih.

Sekarang, aku mengerti mengapa dia membanggakanmu seakan dia anakmu, seakan dia adalah aku, putrimu. Tetapi, aku menyaksikan juga rasa bangga itu hangus terbakar perlahan oleh rasa benci.

Dia membutuhkanmu seperti aku membutuhkanmu. Dia menanggung amarah ribuan nyawa yang terkubur di tanah ini. Amarah itu menghanguskan jiwanya menjadi arwah dendam.

Bantulah dia ayah selama apa yang tersisa darinya masih bertahan. 

Karena dia, sekarang aku paham. Aku mengerti mengapa akhir-akhir ini ayah seperti itu. Ayah hanya ingin meredam rasa bersalah ayah.

Aku tidak tahu rasa alkohol bagaimana, tetapi aku mengerti mengapa ayah mencarinya. Ayah hanya ingin suatu waktu untuk melupakan semuanya.

Aku sungguh kesal. Tetapi, aku mengerti.

Aku memaafkanmu ayah. Dia pun juga. Kami berdua memaafkanmu. Kami berdua tahu, ayah selalu memberikan yang terbaik. Ayah selalu mengusahakan kesejahteraan kami dengan keringat dan darah.

Aku dan dia sudah menyaksikan kesengsaraan yang ayah laluli demi memenuhi kesejahteraan kami. Ayah tidak perlu memaksa diri ayah sejauh itu. Aku mohon ambilah waktu untuk memperhatikan dirimu!

Janganlah marah ayah, aku telah mengikutimu semenjak dari rumah sakit. Aku menyaksikan batu rasa bersalahmu ayah pikul hingga hari ini. Batu itu yang membuat ayah penuh emosi.

Batu itu yang menggerakkan ayah menggali tanah hingga jari terluka. Batu itu yang memecahkan lempeng goa. Batu itu yang menjatuhkan mesin raksasa itu kepada ayah dan om baik itu.

Aku ingin menghentikanmu saat ayah memaksa om itu memotong kakimu. Aku tidak bisa melakukan apa-apa karena kalian tidak bisa mendengarku.

Aku pun merasa tersiksa menyaksikan ayah memaksakan diri seperti ini. Mengapa ayah begitu memaksa? Ayah hanya menggali lobang lebih dalam dan ayah menarik om baik itu dengan ayah.

Aku akan bangun ayah. Jadi, janganlah ayah menyiksa diri sendiri. Ambil waktu, tarik nafas, biarkan dirimu untuk menerima situasi, seperti yang ayah katakan kepada om yang baik itu.

Aku…, aku tidak kuat menyaksikan ayah seperti ini. Pipimu dingin, wajahmu sedih. Aku tahu tangisku melukai hatimu, tetapi jangan. Tetaplah tangguh.

Aku akan menunggu ayah di sebelah kasurku bersama ibu. Ini belum waktuku. Seorang kakek baik dengan jas hitam yang mengatakan itu padaku.

Aku ingin jujur juga ayah, kakek itu juga melarang aku untuk mengikutimu. Dia menceritakan bahwa tempat ayah bekerja adalah tempat yang jahat. Tetapi, aku tidak bisa berdiam saat melihat wajah ayah. Aku berkeras untuk bisa hadir di dekatmu.

Ayah…, aku merasa janggal.

Aku merasakan angin dingin mendekat. Angin ini tidak sama dengan angin kakek di rumah sakit. Angin ini lebih dingin, angin yang terasa lebih keji.

Aku tahu angin itu datang dari jauh, tetapi ia melaju cepat. Ia digerakkan oleh kekejian yang tidak dibentuk oleh dendam atau amarah. Kekejian ini tidak memiliki panas itu.

Kekejian ini dingin. Seakan, kekejian itu adalah inti-sari dari keberadaannya.

Ayah, aku harus pergi. Aku janji aku akan menunggu. Maafkan keras kepalaku ayah. Tetapi, ingat kata-kataku ayah. Bertahanlah.

***

Aku tahu tubuhku terbaring lemah di atas kasur Rumah Sakit, aku hanya sebuah proyeksi dari sebagian jiwaku. Proyeksi ini bisa melalui dinding, sejumlah orang pun dapat melangkahiku.

Tetapi, mengapa aku tidak bisa mendaki keluar. Setiap batuan ini tidak dapat ku sentuh. Aku pun tidak bisa menembus dindingnya.

Ada sesuatu yang tidak mengizinkan aku pergi.

Aku ingin meminta bantuanmu ayah. Namun, jika aku menetap, makhluk keji itu akan menangkapku.

Aku tahu karena aku bisa merasakan kekejiannya, rasa lapar, dan nafsunya menusuk punggungku dari jauh, bagai bilah es.

Ayah, aku takut.

Aku sekarang berlari. Mataku memantul ke setiap arah, mencari celah agar aku dapat bersembunyi.

Tetapi, aku tahu bersembunyi pun sia-sia. Makhluk itu tidak melihatku langsung. Ia tahu aku berada di mana.

Aku tersandung. Kakiku, kakiku digenggam oleh sesuatu. Aku tidak bisa melihatnya, tetapi aku merasakannya panas. Yang menggenggamku penuh amarah.

Tolong aku ayah. Bangunkan aku. Ayah.

AAAAHHHH!!!!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!