LAPORAN F.E.P. VII: ERDIWAN; TINDAKAN PENUH KASIH

“HHHHAAGH!!! HHAH! HHAH!”

Aku membuka mata dan disambut oleh debu tambang. Serat-serat kelopak mata disayat oleh silikat. Wajahku terasa perih dan badanku terasa berat.

Aku berusaha untuk meraih kepalaku, mencari headlight pada hard-hat-ku. Tetapi, tanganku terkekang. Aku menggoyangkannya dengan kasar hingga bebas. Aku merasakan pasir debu mengalir pada lenganku.

Aku mengusap layar pelindungnya hingga cahaya kembali bersinar. Aku mendapati tubuhku terkubur oleh pasir.

Aku menggeliat, meronta, mengais, mencakar tanah dan batuan. Aku tidak merasakan kukuku terluka. Aku tidak merasakan kulitku terkikis. Aku hanya ingin bebas.

Aku meronta hingga tubuhku terhempas kepada dinding batu. “Argh!” rintihku.

Aku melihat kepada seluruh ruangan. Semua terasa pengap. Udara terasa lembab, penuh spora jamur dan lumut.

Aku kemudian bergegas mencari Pak Harian. Aku memanjat lereng yang terbentuk dari longsoran tanah dan batu. “Pak Harian! Pak Harian!” seruku.

Tiba-tiba, aku menemukan sebuah gerakan. Sebuah tubuh mengais tanah yang mengekang tubuhnya secara perlahan.

Aku mendekat secara perlahan.

“Pak Harian? Bapak tidak apa-ap…”

“Hoooahh…,”

Aku pun terhempas mundur.

Emosi bergejolak bagai badai maut di atas samudra. Ketakutan, kebencian, rasa jijik, kesal, bercampur saat aku melihatnya. Tubuh yang aku sangka adalah Pak Harian, adalah salah satu tubuh yang membentuk monster itu.

Tubuh mayat itu tidak memiliki rahang. Ia berusaha untuk menarik tubuhku.

Gejolak emosi di dalam kepala menggerakkan kakiku, memijak kepala mayat hidup itu. Pijakan pertama mulai pelan.

Pijakan kedua semakin kuat.

Pada pijakan ketiga, rasa kesal dan amarahku mengambil alih. Tiga pijakan bertambah menjadi sembilan. Sembilan pijakan menjadi 81 pijakan.

“Se, mu, a, ka, re, na ka, li, an!!! Karena kalian!!! Karena kalyan!!!

“Aku hanya ingin pulang. Aku hanya ingin kembali ke pelukan kekasihku. Aku hanya ingin bekerja untuk menyediakan kebutuhan dia hingga kami berkeluarga.

“HINGGA KAMI BERANAK-CUCU!

“AKU HANYA INGIN PULANG. TAPI, KARENA KALIAN! KARENA DENDAM SIA-SIA KALIAN, AKU HARUS TERJEBAK DI SINI!!!

“RRRAAARRRGGGHH!!!!

“RRAHH!!!

“HAAHHH!

“Hhah…”

Saat aku berhenti, aku mendapati kakiku terbungkus oleh cairan hijau kehitaman. Kepala mayat hidup itu sudah melukis batuan di bawah tapak kakiku.

Saat tubuhku mulai tenang, aku mulai mendengar suara beliau. Dia terdengar seperti sedang bertarung dengan sesuatu. Rintihan perih, nafas tergesa-gesa, beliau terdengar seperti di ambang batas.

Aku merangkak laju pada celah runtuhan tanah dengan tangan kanan melambai lemas karena kekurangan darah. Celah itu begitu sempit, aku merasakan paru-paruku dikuras dengan paksa. Semua kewarasan yang tersisa di dalam kepalaku terhisap bersama nafas yang terbuang.

Aku tahu cahaya headlight-ku sangatlah terang, tetapi cahaya itu perlahan terasa sia-sia. Luas pandanganku perlahan menyempit. Aku mulai merasakan otak menanam klaustrophobia [14] di dalam mentalku.

Kemudian, aku keluar dari celah itu. Aku menyaksikan Pak Harian menggunakan tongkat kayu untuk melawan tiga mayat hidup yang mengais tanahnya terbuka.

Aku bertindak cepat. Aku mengambil sebuah balok dan melaju ke pada tiga mayat hidup itu.

Aku terpeleset. Tubuhku melaju di atas permukaan tanah.

Keberuntungan bersamaku.

Balok yang aku genggam menghantam tepat di kepala mereka bertiga secara bersamaan.

Aku menghela nafas lega. “Hhaahh…, hhah…, hhahh…” helaku seiring menatap kepada Pak Harian.

Dia pun menyambutku, “Baik-baik saja kamu Nak?”

Saat aku mendengar suara beliau, aku tidak mengendalikan tubuhku lagi. Instingku menggerakkan tubuhku untuk memeluk beliau. Aku merasakan kelegaan walau hanya untuk beberapa detik. Nafas dan tangis menyusul, melupakan horor yang mengubur kami untuk sementara.

“Nak…, lepaskan aku. Aku tidak bisa bernafas.”

“Oh! Ya, baiklah Pak,” balasku menarik tubuhku mundur. Aku kemudian mengusap mata. “Kira-kira, bagaimana selanjutnya Pak? Aku…,

“Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.

“Jalan keluar kita sudah tertutup total. Aku tidak bisa melihat jalan keluar lain.”

Beliau kemudian tersenyum, “Kamu lupa kah Nak? Kita pekerja tambang. Jika tidak ada jalan keluar, kita gali yang baru.”

“Tapi kita gali dari mana?”

“Ya dari yang paling mudah. Kita buat akan membuat jalan keluar dari lubang terkutuk ini. Ambil balok yang kamu bawa tadi.”

“Baik Pak!” seruku seiring mengangkat tubuh ini berdiri. Aku kemudian melangkah dan mengambil balok yang berada di samping kaki kiriku.

“Kita mulai dari mana Pak?”

“Kamu akan memulai dari sini,” ucap beliau seiring berguling menghadapkan tubuhnya padaku.

Saat aku melihatnya, hatiku menjadi dingin, bagai terhisap ke dalam lubang hitam.

“A…, aku tidak bisa Pak.”

“Nak, ingat kata-kataku padamu. ‘Aku perlu kamu tangguh.’ Sekarang, aku sangat-sangat memerlukanmu untuk tangguh.

“Aku sudah banyak bersalah pada banyak orang, termasuk kamu Nak. Aku berencana untuk memperbaikinya dan aku tidak akan gagal.

“Aku akan memulai memperbaikinya dengan mendampingi putriku hingga terbangun dari koma. Aku tidak bisa melakukan itu jika aku berdiam di sini. Aku tidak bisa berada di samping dia, aku tidak bisa membawamu keluar, jika aku tidak mencoba.”

“Tetapi Pak, Bapak bisa –”

“YA AKU TAHU NAK! AKU TAHU! Tetapi, aku harus mencoba.”

“T–”

“BERHENTI BERTINGKAH SEPERTI BANCI DAN POTONG KAKIKU ERDIWAN! ITU HANYA SATU KAKI! AKU MASIH BISA BEKERJA DENGAN BAGIAN TUBUHKU YANG LAIN!

"AKU HARUS BERTEMU PUTRIKU! DAN JIKA MENGORBANKAN KAKI INI AKAN MEMBAWAKU PADANYA, MAKA AKAN AKU POTONG!”

Aku tidak bisa membalas seruan beliau. Aku memutar otak untuk mencari jalan bagi beliau. Menggali tanah, menggoyangkan batu, sesuatu yang bisa meloloskan beliau dengan risiko terkecil.

Tetapi, Maut dan Jentaka dengan tegas menjawab “TIDAK!” kepadaku. Jawaban itu mereka sajikan dalam bentuk tiga batu raksasa yang menjepit kaki beliau.

“LAKUKAN NAK!” balas beliau seiring mengambil batang kayu untuk ia gigit.

Aku tidak punya pilihan lain. Aku mengayunkan sisi tajam balok pada kaki beliau. Upaya beliau meredam teriakan sakitnya sia-sia, aku bisa mendengarnya dengan keras.

Pertama, aku mendengar suara retakan. Kaki beliau yang sebelumnya patah, sekarang benar-benar remuk.

“HHRRmph, hmph…, hmph!” rintihnya.

Kedua, aku mendengar kain, otot, dan kulit beliau robek. Aku melihatnya dengan jelas hingga terbakar panas di dalam kepala. Bau amis darah, bau karat dari zat besi, dan aroma lembab jamur pada balok kayu memastikan aku tidak akan pernah lupa.

“HHRRRRMMMMMPPPPHH!!!”

Aku merasakan kuda-kudaku bergetar. Tetapi, aku meyakinkan diri, “Aku tangguh.

“Aku tangguh.

“Aku melakukan ini untuk putri Pak Harian.

“Aku melakukan ini untuk Melanie.

“Aku melakukan ini untuk kasih.”

Ketiga –

***

“Pak, aku berjanji aku akan membawa Bapak keluar. Jadi, jangan kau mati. Kita berdua masih ada yang menunggu di atas.

“Putrimu masih menunggu. Aku yakin dia masih sayang padamu Pak. Dia akan bangun dengan menggenggam tanganmu yang lebih kasar dari pada lembar amplas.

“Melanie pun menunggu aku pulang.”

Aku mengambil waktu untuk beristirahat. Tubuh beliau aku sandarkan pada dinding goa.

Aku pun menyusul, bersandar menghadap beliau. Mataku menatap kepada salah satu kaki beliau yang telah tiada. Aku berkata di dalam benak, “Baik api yang aku lemparkan kepada monster tadi maupun yang aku gunakan untuk menutup luka beliau, semuanya hanya tebakan beruntung saja.

“Aku menyangka aroma ini merupakan metana. Tetapi, aku salah. Metana tidak terbakar hijau. Aroma ini…, aroma ini datang dari cairan yang berada di dalam tubuh mereka.

“Cairan hijau kehitaman itu menggerakan mereka. Monster. Mayat hidup.

“Dari mana dan apa yang membuat cairan itu?”

CATATAN

14. Klaustrophobia\, ketakutan irasional terhadap tempat-tempat sempit.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!