JURNAL I: KAMIL; EKSEKUSI RENCANA PENAMBANGAN

“Berapa unit yang sudah anda siapkan Bu Devi?”

“Siap, ada delapan unit light-vehicle tipe truk pick-up siap memuat empat seperempat kuintal bahan peledak.”

“Untuk Pak Harian bagaimana? Apakah tim anda sudah merumuskan Fatality Event Prevention untuk proyek ini.”

“Rumusan awalnya sudah ada. Tapi, ini belum sesuai dengan kondisi nyata lapangan. Saya minta waktu untuk berkeliling ke titik-titik rawan yang sebelumnya diungkit oleh Erdiwan bersama Bu Devi terlebih dahulu.”

“Baiklah. Lakukan. Dan lakukan segera. Koordinat ini harus segera dikeruk agar bisa mengejar deadline kuartil di akhir September.”

“Baik Pak.”

Dengan itu, Tim Geologi dan Tim HSE turun ke lapangan. Saya pun ikut, mendampingi Tim Geologi. Walau saya tahu Pak Harian merupakan karyawan paling efektif dari pit ini, saya tidak terlalu suka dengannya. Dia orang yang jujur, tidak bertele-tele dalam menyampaikan informasi. Hanya saja, kejujurannya terasa seperti senjata untuk menyakiti orang-orang di sekitarnya. Dan dia pun terlihat menyukai ketika orang merasakan sakit itu.

Saya pun sedikit kasihan dengan Erdiwan. Dia seorang pemuda pintar, optimis dan ambisius. Siap menyerap informasi dari manapun datangnya, termasuk jika informasi itu datang dari Pak Harian. Tetapi, menerima didikan Pak Harian sudah pasti harus menerima penganiayaan verbal yang keluar dari mulut pedasnya.

Berkali-kali saya membawa isu ini kepada HR, namun tidak ada yang mengambil tindakan. Perkumpulan Direksi memandatkan agar dia hanya menerima surat peringatan karena performa dia adalah yang terbaik dibanding kandidat karyawan lain, terutama karena ‘insting’ dia terhadap permukaan tanah Kalimantan ini.

Seketika, sebuah sinyal dari radio berbunyi. “Selamat siang! Selamat siang! Lapor Pak Kamil, Pak Harian meminta kita untuk berbelok ke arah Barat Laut, sekitar 3 menit dari lokasi kita saat ini.

“Beliau menemukan sesuatu. Monitor!”

Saya mengambil radio itu, “Baik! Dimengerti Erdiwan. Monitor!”

Tiga menit berlalu. Kedua mobil kami berhenti di titik yang ditunjukan oleh Tim HSE. Saya langsung menetapkan otoritas saya pada keseluruhan tim. “Baiklah, apa yang kita lakukan di sini Pak Harian?”

“Bu Devi, keluarkan peta perencanaannya.”

“Buat apa? Bukannya Bapak sudah punya juga?”

“Ya, saya sudah punya. Tetapi rencana peledakan tim kamu akan menggunakan peta yang kamu punya bukan? Sini!” serunya seiring merampas kasar dari sang pemimpin Tim Geologi. Dia kemudian membentangkan peta itu dan membaringkannya di atas tanah. “Rencana peledakan kamu kurang efisien ataupun aman Devi. Kamu menetapkan perimeternya terlalu jauh dari nadi batu bara!

"Lihat ini, jarak nadi dan perimetermu ada tiga kilometer. Jauh loh itu. Juga titik ini deposit metana, kamu ingin tanah ini kolaps?!"

"Dari mana Bapak tahu itu deposit metana? Mana hitungan Bapak!" balas perempuan itu ketus.

Bapak tua itu kemudian menapakkan kakinya sekuat tenaga. Sebuah kawah terbuka kemudian, mengelilingi bootnya.

Saat tapaknya diangkat, air berdebit dari permukaan tanah. Air itu berbuih melepaskan gas.

Bapak tua itu dengan kasar menarik tubuh pemimpin Tim Geologi. Wajahnya dia dekatkan satu sentimeter dari letupan-letupan buih. "Kamu lihat buihnya? Buih itu keluar secara diagonal, datang dari titik yang timmu buatkan. Kalo deposit metana itu meledak, akan ada rantai ledakan gas alam yang akan merubuhkan site ini! Paham!"

Saya akhirnya mengintervensi bapak tua itu. "Pak Harian! Saya tahu anda khawatir dengan keamanan para karyawan, tetapi saya tidak ingin ada kekerasan di bawah manajemen saya!"

Bapak tua itu menatap saya dengan penuh emosi. Dia bahkan melangkah hingga menempel pada wajah saya, berusaha mengintimidasi. Namun, saya tidak goyah. Saya tahu saya berada di posisi yang benar.

Dia kemudian membelakangiku. "Biar aku yang koreksi langsung! Kalian Tim Geologi ikuti saja koreksiku!" serunya dengan kasar, meludah pada otoritas Bu Devi.

Saya memperhatikan pena merah Bapak Tua itu mengalir di atas permukaan peta. Perimeter yang ditetapkan oleh Bu Devi perlahan mengecil, membentuk sebuah pulau yang berbentuk segitiga berbelok.

"Erdiwan, buka peta kita!"

"Siap Pak!" ucap pemuda itu bergegas mengeluarkan peta Tim HSE. Peta itu ia letakkan di sebelah peta Sang Bapak Tua. Peta dihias oleh sejumlah titik biru yang diuraikan oleh pena. Saat kedua peta itu sejajar, saya mulai mengerti.

Bapak tua itu telah memetakan semua titik rawan di permukaan site ini. Tanah lumpur, nadi gas alam, dan lempeng rapuh, semua diwakili oleh uraian pena serta legendanya. Dan yang membuat saya terkejut adalah kenyataan orang tua ini dapat memetakan garis ledak tanpa menggunakan petanya sendiri sebagai referensi.

Peta yang dia lukis begitu efektif dan efisien. Bahkan, saya melihat jelas rencana yang dia lukis telah memangkas penggunaan peledak sebesar 20%.

Saya perlahan melihat apa yang menyebabkan direksi mempertahankan bapak tua ini. Hanya saja, kepribadian dia tidak bisa saya biarkan.  Saya akan menemukan cara untuk meluruskan bapak tua itu.

Dia kemudian berdiri dan melangkah ke pada Bu Devi. Tapak tangannya terbuka, mendorong 'koreksi' peta peledakan kepadanya. Walau tubuhnya kecil, massa otot dia cukup kuat untuk mendorong mundur perempuan berumur 38 tahun.

"Tanam peledaknya sesuai peta ini. Lalu, alat berat hanya bisa masuk dari akses ini," ucap Bapak tua itu dengan suara menantang.

Saya pun kesal akan tindakannya. "Pak, tindakan Bapak dapat saya laporkan jika terus seperti ini."

"'Dapat kamu laporkan.' Kenapa tidak laporkan saja secara langsung? Hm?! Dengan begitu kamu bisa menjelaskan kepada direksi mengapa pit ini angka kecelakaannya tinggi.

"Aku bersedia mengambil taruhan itu.

"Kamu?"

Saya ingin sekali membungkam Bapak tua ini. Tetapi, saya tidak bisa menyangkal pernyataan dia. Laporan direksi menyatakan dia tidak pernah menerima tawaran kenaikan pangkat maupun pemindahan kepada divisi lain karena hanya dia satu-satunya orang yang memahami Site Cornell.

Karir saya pun terancam jika saya bertindak gegabah.

"Baiklah. Jalankan."

***

Terlukis warna oranye di permukaan langit Kalimantan. Matahari telah bersembunyi di balik selimut cakrawala.

Udara di sekitar kami semakin dingin dan semakin berat. Tensi di lapangan ini begitu tebal, saya dan semua karyawan di bawah naungan saya bisa merasakan berat udara di atas pundak.

Saya duduk di menara pantau bersama Supervisor Operasi Penambangan. Saya menggunakan radio di a untuk memantau kabar mereka yang di lapangan. "Semua sudah berada di menara pantau? Monitor!" seru saya dari radio.

"Siap, sudah Pak!" tegas Bu Devi sebagai Tim Geologi.

"Siap, sudah Pak!" balas Pak Harian dengan intonasi lancang.

"Blast!!!"

Dentuman ledakan mengguncang seluruh Site Cornell. Tekanan udara membentuk menara debu yang menjulang tinggi hingga ke surga.

Tetapi, tensi di udara masih tebal. Kita baru saja meledakkan area di antara nadi-nadi gas alam, metana. Jika saya memberikan perintah gegabah, permukaan site ini akan berselimutkan api neraka.

"Pak Harian, mohon masuk ke perimeter area peledakkan. Pastikan nadi gas alam tidak ada yang menyala."

"Baik Pak!"

Saya tidak menyukai keadaan ini. Rasa tidak berdaya karena tidak menangani lapangan secara langsung. Rasa tidak berdaya dan harus bergantung pada orang tua yang tidak tahu dia masih beruntung.

Radio kemudian bernyanyi. Di antara tapak semuttut-semut, terdengar suara Sang Bapak Tua, “Aman Pak!”

Bruff!

Sebuah suara terdengar di latar Pak Harian. Suara itu muncul tiba-tiba, namun frekuensinya tenang. Suara yang saya tahu merupakan sebuah ancaman.

“Ada apa di bawah sana Pak?! Suara apa itu?! Monitor?!”

“Batu bara Pak! Batu bara! Mereka pun memiliki kandungan metana murni. Akan langsung terbakar saat ketemu oksigen! Monitor!”

“Bagaimana dengan nadi gas alamnya?! Monitor?!”

“Aman saja jika segera digilas!”

“Baiklah!” seru saya memotong pernyataan Pak Harian. Channel radio kemudian saya pindahkan kepada Bu Devi. “Bu! Segera turunkan alat berat. Monitor!”

“Baik Pak! Monitor!”

Persis saat saya menutup sinyal kepada Bu Devi, Pak Harian mengirimkan sinyal kepada saya. Tempo dari deringan sinyal itu terdengar tidak beraturan, seakan ada sesuatu yang penting yang perlu dia sampaikan.

Sinyal itu pun saya buka. “Bapak sudah menurunkan alat berat?!” serunya dari balik radio. Suara Bapak Tua itu terdengar begitu khawatir amat sangat. Saya pun merasakan hati dan isi perut membeku.

Tetapi, saya harus tangguh. Saya manajer baru site ini dan jangan sampai wewenang saya diremehkan. Dengan tegas saya menanggapi, “Benar! Ada apa Pak?! Monitor!”

“Dari mana alat berat itu akan datang? Monitor?!”

“Ulangi Pak?! Monitor!”

“Dar –”

Sinyal radio Bapak Tua itu terhenti.

Saya tidak suka ini. Ada sesuatu yang menggalangi sinyal dari sana.

Saya pun bergegas mengirimkan sinyal untuk tanggapan beliau, tetapi semua sudah terlambat.

Pilar api menjulang horizontal, dari permukaan tanah hingga ke langit. Pilar itu kemudian disusul oleh menara-menara gas alam yang terbakar. Bumi pun bergoncang seakan menandakan gerbang neraka terbuka.

Semua yang kita takutkan terjadi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!