LAPORAN F.E.P. II: ERDIWAN; REFLEKSI

Aku masih mengingat jelas bagaimana kami bisa berada di sini. Gambar-gambarnya telah dibakar di dalam benakku oleh pilar-pilar api dari gas alam.

Pak Harian baru saja melaporkan agar alat berat sudah bisa diturunkan untuk meremukkan sejumlah batu bara agar tidak terbakar secara spontan. Namun, sinyal diputus sebelum beliau dapat memberikan arahan lanjutan. Arahan semua alat berat untuk masuk dari satu koordinat di peta.

Beliau pun berkeras menderingkan radio manajer site, Pak Kamil, untuk memberikan pengarahan penting itu.

Saat sinyal beliau diterima, semua sudah terlambat.

Sebuah ekskavator masuk dari koordinat yang salah, tepat di atas salah satu nadi gas alam yang paling dekat dengan batu bara yang sedang menyala. Gas itu pun terbakar, menyemburkan pilar api ke arah kokpit ekskavator. Temperatur tinggi itu menaikkan panas ruangan hingga operator ekskavator itu pingsan di tempat.

Melihat itu, Pak Harian pun berlari memanjat ke atas ekskavator yang berjalan tanpa tuan. Aku pun menyusul di belakang beliau, berusaha mengekang beliau dari tindakan gegabahnya.

Hanya saja, aku tidak tahu bahwa musibah ini adalah musibah pertama sebelum musibah-musibah selanjutnya. Pilar api itu adalah pilar api pertama yang memicu rantai-rantai pilar api lainnya.

Dengan segera, permukaan koordinat ini menjadi medan api.

Persis saat trek ekskavator bertemu dengan kasur batu bara, tanah yang kami pijak kolaps. Pak Harian yang sebelumnya berdiri di sebelah kokpit, menghantam kaca dengan kepalan tangannya, terhempas kepada permukaan tanah.

Momentum tubuhnya menyentuh tanah, membuka kolaps itu semakin lebar. Dia pun jatuh ke dalam lubang itu. Aku segera merangkul tangan beliau sebelum beliau dapat ditelan oleh bumi Kalimantan.

Hanya saja, aku kalah cepat dari kerak bumi. Massa dari ekskavator meretakkan permukaan tanah tempat perutku terbaring. Berat dari Pak Harian akhirnya menarik aku ke bawah tanah. Kami terjatuh meninggalkan selimut api metana dan masuk ke dalam kegelapan perut bumi.

Sekarang, kami di sini, di lantai neraka terbaru. Kegelapan mencekik dan meremukkan tubuh kami. Udara lembab berisikan debu arang, silikat, dan gas alam yang mengeruk paru-paru kami.

Keadaan kami pun tidak semakin baik.

Kami sekarang terjebak di dalam sebuah lubang di dalam kegelapan, bersembunyi dari sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Aku ingin mengatakan itu ular, tetapi...

Apapun yang aku lihat tadi bukanlah berita baik. Tetapi, aku yakin bahwa makhluk yang aku lihat hanyalah halusinasi karena gas yang kami hirup.

Itu yang aku katakan pada diriku sendiri. Itu yang aku katakan untuk meyakinkan diri sendiri.

Aku pun mengucapkannya pada Pak Harian, “Tadi hanyalah halusinasi karena gas alam saja kan Pak?”

“Ya Nak. Iya,” balasnya dengan suara tegas.

“Sudah!” lanjutnya ketus padaku. “Lupakan apa yang baru saja terjadi. Masih ingat rencana kita kan? Kita harus mencari jalan keluar.”

“Ba-Bapak benar.

“Tetapi, bagaimana cara kita naik dari lubang ini?”

Dengan seluruh tenaga beliau, tubuh keringku terhempas ke langit lalu mendarat di permukaan.

Sesekali, aku berharap beliau bisa berbuat baik padaku. Tetapi, aku memaklumi sikap kasarnya. Sudah umum orang-orang berumur di atas 50-an mudah untuk emosi. Hanya saja, untuk kasus beliau cukup berbeda. Dan, bukan hakku untuk membahasnya.

Selama aku meraba-raba, aku menemukan sebuah headlights. Dan aku menemukan penampakan lain yang mengguncang mentalku. Sebuah tubuh terpaku pada dinding dengan tubuh yang tersobek secara diagonal.

Otak, batin, dan nadiku memompa semua isi perutku keluar. Benakku terpisah dari diriku, berlari mencari rasionalisasi akan apa yang telah ku lihat.

Aku muntah. Nafasku berhembus tidak beraturan, menolak kenyataan tatapan kosong mayat yang jelas tertempel kering pada permukaan goa yang lembab. Dirinya sunyi, tetapi aku mendengar permohonan tolong dia dari alam baka.

Seketika, kedua kerah bajuku diangkat oleh Pak Harian. Aku mendengar suara beliau, tetapi aku tidak bisa mengolahnya. Aku mendengar beliau berseru dengan tegas berbumbu amarah, "Sadarlah nak! Aku memerlukan kamu agar kita bisa keluar dari neraka ini!"

Aku hanya bisa menganggapi dengan, "I-iya, iya Pak…" tanpa menyadari apa yang baru saja aku katakan.

Aku merasa seperti mayat hidup. Tubuhku bergerak dan berlari mengikuti tuntunan Pak Harian, tetapi nyawaku telah dihisap oleh mulut mayat pada dinding itu.

Kemudian, aku kembali sadar. Sebuah teriakan yang bisa membelah kerak bumi mengikat nyawaku kembali kepada tubuh. Pak Harian berteriak penuh sumpah serapah setelah memandang kepada belahan goa tempat kami terjatuh.

Sekarang aku bisa mengolah dan meresapi apa yang kita alami. Kami berdua terjebak di dalam jalur goa yang nyatanya tidak mungkin ada di tanah Kalimantan. Sangat jelas terlihat harapan kami untuk keluar tidak ada.

Tetapi aku meyakinkan diri bahwa kita akan keluar. Rasa optimisku tidak pernah mengecewakanku hingga sekarang. Semua pasti ada sisi positif.

Aku pun bergegas merangkul Pak Harian. "Pak! Pak! Mohon tenang Pak! Ingat lagi SOP kita jika ada insiden!

"FEP 3.1 tentang Longsor dan Keamanan Bawah Tanah! Pastikan ada cukup ruang untuk udara bersirkulasi. Jika, ada hembusan, bergeraklah kepada hembusan udara."

Beliau pun tetap membalas dengan emosinya, "Ini hal yang paling tidak aku suka dari kamu tahu!? Sifat optimis mu selalu berada di tempat yang salah!

"Apakah kamu pernah dijatuhkan ibumu pas kecil? Jadi kamu berkhayal terus?"

" A –"

Sebelum aku bisa memberikan argumenku kepada beliau, kami berdua mendengar suara retakan. Sejumlah debu dan bebatuan menghujani kami, menghias lingkaran headlights ku.

Kami berdua pun menghadap ke atas. Lingkar cahaya pun menunjukan dengan jelas apa yang jatuh menyambut kami. Trek dari ekskavator mulai masuk ke dalam bumi.

Trek-nya pun tetap berputar, tidak berhenti. Batu dan tanah tergerus oleh gigi-gigi baja. Trek itu terus berputar karena operator di dalamnya tetap menekan tuas gas. Dia tidak berkutik. Tubuhnya membeku kaku tak bernyawa, menyatu dengan kursi kulit kokpit ekskavator.

Aku bergegas menghempaskan diri kepada Pak Harian. "Pak! Menghindar! Ekskavatornya akan menimpa kita!"

Tanah-tanah dan bebatuan dari langit-langit goa pun bergemuruh berjatuhan kepada tanah tempat kami bertapak.

Trek itu tidak berhenti, tetap lanjut menggali hingga tanah kami bertapak kolaps lagi.

Kami berdua mulai meleset ke pada pusat kawah tempat ekskavator itu jatuh.

Aku benar-benar takut bahwa bencana ini akan semakin buruk, bahwa harapan kami akan semakin memudar. Tetapi aku terus meyakinkan diri ini hanya ujian kosmik, aku harus tetap optimis.

Pada kondisi ini juga Pak Harian semakin menekankan, "Jadi gimana optimismu nak!? Sekarang kita sedang merosot kepada ajal kita, tergiling oleh trek ekskavator!

"Ada lagi kata-kata mutiara yang akhirnya jadi tahi bagiku bocah!?"

"Masih ada Pak!" teriakku tersenyum. "Tetapi Bapak harus yakin dengan saya! Bisa?!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!