NovelToon NovelToon

Kepada Mereka Yang Ku Sayangi

JURNAL INVESTIGASI HSE, 15 JULI 2010

Goa tempat kami berada cukup gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa kecuali pantulan cahaya debu yang membentuk  garis tubuh Pak Harian dan lingkungan kami. Tetapi, ada sesuatu yang janggal. Aku tidak hanya melihat beliau. Sesuatu bergerak di dalam debu ini.

Perlahan aku melihat titik pada debu. Titik itu membesar dengan kecepatan tinggi, mengarah kepada Pak Harian.

Aku pun bergegas menarik beliau yang sudah memanjat dinding goa, 80 centimeter lebih dari permukaan tanah. “Pak!” seruku seiring menarik beliau menghindari benda itu.

Saat kami mendarat kembali di permukaan tanah, aku mendengar jelas sebuah dentuman keras. Boom!

***

"May day! May day! May day! Kami butuh Tim Damkar ke dalam Pit Cornell, koordinat 49°U 135°E!"

Mata saya terkunci pada permukaan jalan, fokus mengantisipasi dan menghindari kemunculan pilar api gas alam. Walaupun begitu, saya masih bisa mendengar Tim Damkar menanggapi dengan, "Monitor! Mohon sebutkan No. ID dan jabatan."

"ID E3GS044, Koordinator Geological Survey! Mohon segera Pak. Permukaan koordinat terbakar karena kebocoran gas alam! Ada banyak karyawan terjebak di lapangan."

"Baik Bu mohon tenang. Sekiranya, apakah ibu dapat mendeskripsikan kondisi lapangan?!"

Rasa sabar saya patah saat mendengar pertanyaan susulan mereka. Saya tahu itu prosedur standar mereka. Hanya saja, keadaan pit ini tidak memberikan ruang untuk berbasa-basi.

Saya pun akhirnya merampas radio itu. Seiring mengemudikan kendaraan ini di antara pilar-pilar api yang ingin membunuh kami, saya berteriak, "Segera berangkat ke sini bodoh! Ada 20 orang lapangan yang terjebak ledakan gas alam di pit ini dan kalian minta deskripsi!?

"Sebaiknya kalian bawa semua unit ke sini karena neraka baru saja terbuka!  Segera berangkat sebelum saya pastikan hidup kalian sengsara tujuh turunan!

"Kamil! ID, E3PM001! Monitor!"

***

JURNAL INVESTIGASI HSE, 15 JULI 2010

Suara seorang anak kecil tertawa seiring dia mengudara. Decitan rantai ayunan terdengar semu di balik suara indahnya. Dia berkata, “Ayah, ayah, dorong lagi.”

Tawa itu membuat dadaku terasa hangat. Aku merasakannya. Aku merasakan kebahagiaan.

Aku tersenyum seiring membalas, “Oke. Hoo… ya…”

“Yay!”

Saat putriku kembali mengudara bersama ayunannya, aku menyempatkan untuk melihat halaman di hadapanku. Lapangan kecil berselimut rumput. Sejumlah barisan anggrek bertumbuh dan melilit pagar rumah.

Di sudut kiri lapangan, istriku terlihat sedang mengeruk tanah, menggemburkannya bersama dengan pupuk yang baru dia beli. Dia terlihat begitu lelah, tetapi dia pun terlihat berbahagia. Wajah dia begitu merah seperti buah tomat yang dia tangani.

Aku memandang kepada duniaku dan aku tersenyum.

Tetapi, aku tidak memperhatikan yang selanjutnya terjadi.

Punggung putriku menghantamku di wajah.

Gelap.

Yang terakhir aku dengar hanyalah derapan kaki dari kejauhan. Kemudian, suara itu disusul dengan seseorang berseru, “Ayah! Ayah! Ayah bangun!” Aku tidak tahu apakah itu dari istriku atau dari putriku.

***

Aku memandang lurus dari balik kaca mobil dinasku. Tetapi, sesuatu terasa janggal. Aku tidak mendengar apa-apa. Tidak ada suara angin yang bergesekan dengan mobil. Tidak ada suara aspal memarut ban.

Aku melihat perumahan berlalu dengan warna hitam putih.

Seketika, dunia yang hitam putih tersapu oleh warna. Warna itu digiring oleh suara yang familiar. Suara itu berbeda dari yang aku ingat, tetapi familiar.

Suara putriku.

Suara putriku yang kesal kepadaku. “Ayah! Aku tanyain tadi…”

“Oh, iya nak. Ada apa?”

“Tuh kan…, ayah ga meratiin. Sedih.”

“Kok langsung sedih? Ayah kan lagi nyetir, harus konsen ke jalan. Nanti kalau kecelakaan gimana?”

“Oke…

“Tapi beneran. Aku perlu bantuan ayah…, nanti aku bisa gagal tes loh.”

“Oh? Hari ini ulangan kah? Kok kamu ga kabarin ayah tadi malam? Padahal kita bisa belajar bareng.”

“Kan kita udah belajar bareng tadi malam Yah. Tapi, aku masih lupa-lupa.”

“Oh iyakah? Coba tanyain ke ayah pertanyaanmu.”

“Ayah masih ingat siapa nama raja Majapahit yang jadi rekannya Patih Gadjah Mada?”

“Raja ya? Raja…, hm…?”

“AYAH! DI DEPAN!”

“Hah?

“WHOAA!!!”

Seketika aku menginjak rem mobil.

Aku tidak mengingat banyak. Aku ingat ada rasa sakit di keningku. Aku ingat seekor rusa. Aku ingat suara hantaman.

Aku harap putriku baik-baik saja.

***

Aku merasa ling-lung. Semua terasa berat. Perutku panas.

Aroma apa ini? Baunya asam dan panas, tapi manis. Ini…, alkohol? Iya, ini bau alkohol.

Apakah aku sadar?

Aku tidak tahu.

Aku merasakan angin di wajahku. Aku memandang pemukiman yang sama berlalu. Namun, warnanya sama, hitam putih dengan sedikit gradasi merah.

Suara familiar itu terdengar lagi dan suara itu kembali berubah. Terdengar lebih dewasa.

“Kenapa sih ayah kayak gini terus? Aku tahu ayah jenuh, aku tahu kerjaan di tambang banyak tekanan, tapi kan ada cara yang lebih sehat!” ucapnya kesal kepadaku.

“Ayah sudah coba nak…, (hik). Tapi…, wi umvur dewasa ini, ga selamvanja berpigir vositiv… (hik) akan mvembvantu.”

“Ya…, ya…, itu yang ayah terus bilang. Kenapa sih, sekali aja ga bikin alasan? Aku beneran khawatir lho! Ayah kalau minum sering keterlaluan jumlahnya. Kalo umur ayah usai sebelum aku bisa nikah, aku bisa apa?

“Hm?

“Ayah?

“AYAH NGAPAIN!”

Aku tidak ingat apa yang aku lakukan. Instingku yang mengambil alih.

Aku hanya bisa melihat cuplikan-cuplikan.

Sebuah stang motor dan tangan putriku.

Aspal.

Rusa.

Gelap.

***

Aku sedang berlari di koridor berwarna putih. Jalanku dihias oleh beragam orang berseragam berwarna biru. Beberapa ada yang berjubah putih. Di ujung lorong, aku melihat istriku menggiring sebuah tandu bersama orang-orang berseragam biru itu.

Mengapa aku berlari?

Mengapa aku luka-luka juga?

Aku ingat sekarang.

Tangan putriku di stang motor.

Aspal.

Rusa.

Kami baru saja kecelakaan. Aku, dalam keadaan mabuk, bertindak gegabah. Aku menghentikan pergerakan motor putriku saat melihat seekor rusa melompat tiba-tiba di hadapan kami. Momentum dari kecepatan motor itu melempar kami ke udara.

Sekarang, aku di sini, aku berlari mengejar putriku yang dibawa kepada unit gawat darurat.

Perutku terasa dingin. Aku merasa seperti terjatuh ke dalam sumur sempit yang tak berujung. Batu demi batu menyayat kulitku satu per satu.

“Maafkan Ayahmu Annie. Maafkan Ayah! Ayah tidak bermaksud. A – Aku tidak bermaksud!”

Keberadaanku telah diremukkan oleh rasa bersalah, oleh rasa sedih, oleh rasa amarah terhadap diriku sendiri. Namun, itu tidak cukup. Semesta pun menggerusku rata dengan amarah istriku. “Kamu kenapa sih tidak bisa mendengar! Aku sudah mengingatkanmu berkali-kali untuk langsung pulang, anakmu dan aku memerlukanmu di rumah. Tetapi, kamu mengabaikan kami.

“Anakmu pun, putri kita, dia sudah jenuh! Tetapi, dia menelan jenuhnya karena dia sayang padamu Harian!

“Sekarang anak kita koma! Apa yang akan kamu lakukan Harian! Harian! Harian! Harian!

“Harian!

“Harian!”

“... Harian!

“Pak Harian!

“Bangun Pak! Bangun! Kita harus cari jalan keluar dari sini!”

Seketika aku menarik nafas sedalam-dalam mungkin. Semua yang aku lihat buram. Semuanya gelap. Udara yang aku hirup pun begitu berat, seakan-akan udara itu padat dengan debu dan kimia lainnya.

Dia pun lanjut berkata, "Hhah…, hhah…, beruntunglah Bapak masih sadar. Mari tangan Bapak, biar saya topang. Kita harus lanjut mencari jalan keluar."

Aku mendengar kata-kata dia. Tetapi, aku tidak menyerapnya. Aku tidak bisa.

Tubuhku terasa dingin, tetapi dingin ini terasa nyata. Dingin ini bukan dingin emosional, dingin seperti saat –

“Putriku! Aku harus ke putriku!” ucapku seiring menarik tubuh lelaki muda di hadapanku.

Saat aku melangkah, “AAARRRGHHH!!!” Sebuah rasa perih menusuk dari tapak hingga ke paha. “KAKIKU!!!”

Raut wajah pemuda yang penuh harapan itu goyah untuk sementara. Senyum optimis itu mengerut, menahan tangis. Wajahnya terlihat begitu bersalah. “Maafkan aku pak! Maafkan aku dengan sungguh!”

“Apa yang terjadi pada kakiku! Apa yang telah kau lakukan padaku!” bentakku panik.

“Maafkan aku Pak! Maafkan aku Pak!

“Aku harusnya menolak permohonan Bapak!”

Rasa sakit. Rasa bersalah. Hutang budiku kepada putriku. Semuanya saling beradu di dalam benakku. Aku tidak bisa mengolah kata-kata pemuda itu.

Aku hanya bisa kesal.

Aku meraih kepada kerahnya dan menarik dia kepada tanah tempat aku berbaring. "BISAKAH KAMU BERHENTI MENANGIS DAN JELASKAN APA YANG KAMU MAKSUD!"

"Ba – Bapak Harian meminta saya untuk memotong kaki Bapak!"

Mendengar itu, semua yang baru saja kami lalui terpampang dengan jelas. Setiap gambar berlalu di depan mataku bagai presentasi kantor.

Tanah longsor.

Bebatuan basah rubuh.

Kakiku di antara batuan.

Seorang laki-laki membohongi dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.

Sebuah pasak tumpul.

Kaki kiriku.

Darah.

Sebuah teriakan yang disaksikan oleh satu orang. Teriakan milikku.

RAPAT BULANAN, 11 JULI 2010

BLAM!!! Dentum tapak tangan pada permukaan meja.

Suara debar jantung hadirin mengisi ruang rapat. Beberapa wajah berlukiskan rasa takut. Beberapa wajah berlukiskan kekhawatiran.

"Sudah empat hari lho. Sudah empat hari dan belum ada yang bisa memberikan solusi bagi koordinat 49°U 135°E!

"Pak Harian, ada berapa laporan fatalitas bulan lalu, sebelum saya ditugaskan di pit ini?"

 "Pak Erdi," bisik dia kepada asisten mudanya. "Tolong bagikan lembar laporan singkatnya.

"Baik Pak Kamil. Bulan lalu Pit Cornell mengalami sekitar sembilan fatalitas."

"Mohon maaf Pak Harian. 'Sekitar' atau 'pasti' sembilan fatalitas?!" tegas saya pada orang tua itu.

Dia merenung sementara sebelum membuka mulutnya. Kemudian dia berkata, "Sekitar Pak. Karena ada empat karyawan yang terluka. Mereka sudah mendapatkan perawatan yang memadai dan sekarang sudah aktif lapangan lagi.

"Selain keempat karyawan itu, apa yang terjadi pada mereka?!"

"Satu mengalami cacat ringan, sendi lengan atas dan bawahnya ter-dislokasi. Sekarang masih dalam perawatan.

"Dua dinyatakan cacat permanen. Dengan terpaksa, manajemen teratas menyatakan mereka tidak layak kerja.

"Dan…, terakhir…, dua karyawan dinyatakan K.I.A.[1] karena telah melampaui masa Search and Rescue site. 

"Tanah pit kita sangat dinamis. Semakin kita gali dengan paksa, semakin mungkin tubuh mereka ditelan oleh tanah."

Saya kemudian diam. Masing-masing mata insinyur di dalam ruangan ini. "Sekarang kalian sudah dengar laporan dari Pak Harian. Ada kah solusi kalian?!"

Mereka semua membuang matanya daripada saya. Ada beberapa yang seakan memperhatikan kata-kata saya. Tetapi, saya tahu mata mereka memandang hal lain, menembus tubuh saya.

Tidak ada yang menjawab.

"Hm…," aku kemudian menatap tajam kepada seorang perempuan yang duduk di kanan saya. "Bu Devi! Kira-kira pernyataan Pak Harian benar atau tidak?"

Perempuan itu terkejut mendengar pertanyaan yang saya tujukan padanya. Dia menggeliat, mencoba mengingat kembali yang dikatakan orang tua itu. "Eh…, bahaya, tanah dinamis…" gumamnya."

"Bu Devi?!"

"Be-benar Pak. Tanah pada koordinat 49°U 135°E labil Pak. Hasil analisis sebelumnya mendapati ada tiga lapisan dengan tanah rentan.

"Tepat di bawah permukaan lereng pit, ada sedimen lumpur yang cukup dalam. Hasil ukur kedalaman menunjukkan 200 m untuk sekarang. Pasca pengukuran, kami menemukan kantong gas alam di bawah sedimen itu."

Mendengar itu aku mengusap wajahku, "Kalau begitu mengapa kita menggali batu bara di situ?!"

"Karena titik itu persis di batas area hak guna usaha Pak," sahut asisten Pak Harian, Erdiwan. "Dari laporan Tim Geologi, ada estimasi 5,703 Ton lagi batu bara yang diperlukan PT untuk menutup hutang investasi periode ini."

"Jadi, inti dari yang anda jelaskan adalah kesejahteraan karyawan kita ada di ujung batas HGU PT ini dan tidak ada yang bisa mengaksesnya?!" tanya saya menahan tekanan mental.

"Benar Pak!" seru pemuda itu.

"Tidak juga Pak!" balas Bu Devi.

"Ho?!" seru saya menanggapi perempuan itu. "Mengapa anda menyangkal pernyataan itu? Hm?!"

"Se-sebenarnya tanahnya bisa diakses dengan kendaraan ringan kita. Kita dapat mengirim sejumlah orang untuk menanam dinamit di titik-titik padat tebing koordinat, meluruhkan tanah-tanah gambut yang menghalangi deposit batu baranya."

"Tapi, kalau kita melakukan itu, bukannya risikonya lebih tinggi?!" sangkal Erdiwan dengan sebuah seruan yang berbumbukan rasa panik. "Seperti data, area itu penuh kantong-kantong gas alam! Kalau kalian melaksanakan itu, kita mungkin mengulangi insiden Gerbang Neraka Soviet! Mba sudah pertimbangkan itu!"

"Saya sudah pertimbangkan Pak. Dari semua plan yang telah dirancang, hanya plan ini yang memiliki risiko terendah!"

"Benar kah itu? Apakah sudah dihitung juga peluang fatalitasnya? Berapa karyawan yang mungkin terkena celaka berat? Atau, 'Tuhan lindungilah mereka', karyawan yang berpotensi mati?

"Pak Harian," seru pemuda itu mencari dukungan dari atasannya. "Sebagai Suptend HSE, pasti Bapak menentang rencana ini juga kan?!"

Orang tua itu tidak membalas dia. Dia memilih untuk diam. Wajahnya mengkerut karena tekanan di dalam ruangan ini.

Saya tahu perasaan itu karena saya merasakan hal yang sama. Audit berada di ambang benak, memeras jiwa kami yang ada di dalam ruang rapat ini. Dewan Direksi menuntut agar 5,703 Ton batu bara itu segera diolah dalam hitungan 3 bulan, sebelum jatuh tempo hutang kami ke investor.

Sekarang, tekanan dikepala saya semakin berat mendengarkan dua anak kecil ingusan ini berdebat tanpa ada solusi. Akan lebih baik jika kepala saya tergilas trail dozer, setidaknya rasa sengsaraku usai seketika.

Saya meluapkan amarah dengan kembali menghantamkan tapak ke permukaan meja. BRAKK!

Ruangan kembali sunyi.

Saya menghela nafas, menumpahkan sebagian tekanan di dalam kepala saya pada permukaan meja rapat. "Baiklah…, cukup. Sekarang ini plan yang saya mandatkan pada kalian.

"Sekali lagi, mandat! Tidak ada sangkalan.

"Tim HSE dan Tim Geologi, kalian berdua turun ke koordinat. Hitung simulasi eksekusi dan peluang risikonya secara bersamaan. Jika hasil simulasi menunjukkan risiko tinggi, ambil persentase risiko terendah!

"Paham?!"

"Tapi Pak –" Erdiwan kembali berseru. Tetapi, ia dihentikan oleh Pak Tua Harian. Pak Tua itu menggelengkan kepalanya.

Erdiwan pun merunduk patuh.

"Baiklah, laksanakan tepat setelah rapat ini selesai!"

***

Sekarang, saya kembali duduk di ujung tengah meja rapat. 20 bola mata menatap tajam, menyayat diri saya bagai belati. Udara di dalam ruangan ini lebih berat daripada kegiatan rapat sebelum insiden itu terjadi. Saya yakin, menghirup aspal panas akan lebih ringan daripada menghirup udara di ruangan ini. Ruangan direksi.

20 bola mata predator. Satu orang mangsa. 10 Direksi siap meruntuhkan pendirian saya. Sebuah sidang.

"Jadi, Pak Kamil, boleh uraikan kembali apa yang terjadi?"

Saya menghirup udara berat ruangan ini, memompa sejumlah oksigen yang cukup agar saya dapat mengutarakan setiap detil dari insiden periode bulan ini.

Kaki saya bergetar dingin, tetapi saya tetap membuka suara. “Seperti laporan yang diterima oleh Pihak Direksi, kami menurunkan Tim Geologi, yang dipimpin oleh Bu Devi dan Tim HSE yang dipimpin oleh Pak Harian ke koordinat 49°U 135°E di Site Cornell untuk melakukan on-site planning review untuk menghitung rencana peledakan.

“Hasil survei Tim Geologi menunjukkan ada sekitar tiga rencana peledakan yang memiliki hasil pendapatan batu bara tinggi. Hanya saja, rencana dengan risiko fatalitas terendah memiliki 45.9% potensi fatalitas,” jelasku kepada mereka.

“Artinya, akan dipastikan 50% karyawan yang hadir di site akan jadi korban kolaps atau ledakan gas,” tekan salah satu perwakilan direksi.

“Benar Pak.”

“Dan anda tetap meneruskan plan ini karena?”

“Karena pendapatan Q3 kita sudah rendah pak. Hasil perhitungan dari tim akuntansi mengabarkan, jika koordinat tersebut tidak segera dikeruk, equitas perusahaan ini akan negatif.

“Dan saya ingin memastikan karyawan-karyawan saya tetap mendapatkan gaji dan bonusnya.”

Usai saya menyajikan justifikasi, para anggota direksi saling bergumam satu sama lain. Saya tahu ini hanya perbincangan, tetapi gumam mereka terasa janggal. Saya bisa merasakan getaran udara dari suara mereka seperti gigi gergaji yang menyapu halus di atas permukaan kulit.

Kemudian, mereka menghadap saya. “Baiklah, sesuaikan prosedur. Siapkan sejumlah orang untuk tetap mengeruk tanah dan sejumlah lagi untuk proses investigasi pencarian personil.

“Waktu anda seminggu dan dimulai dari sekarang.”

“Baik Pak, dimengerti.”

Satu minggu dimulai dari sekarang. Sekarang hari pertama. Tersisa, enam hari lagi.

...CATATAN...

K.I.A., Killed in Action, istilah untuk menyatakan mereka yang meninggal ketika bekerja

CATATAN SAKSI HSE, 15 JULI 2010

Aku tahu kami berada di dalam situasi yang berat. Tetapi, aku percaya pasti ada jalan keluar. Selama aku bersikap positif, optimis, pasti ada jalan keluar.

Sekarang, aku harus menggiring Pak Harian di dalam goa ini. Beliau sudah cukup tua. Aku yakin hempasan yang kita berdua alami terasa lebih berat pada beliau.

“Pak, mari saya topang!” seruku seiring aku berlari kepada tubuhnya yang terbaring di permukaan tanah.

“Engga perlu!” serunya kesal, menghempaskan aku menjauh darinya. “Aku bisa – AHH!”

“Pak! Bapak perlu bantuan!” balasku memaksa menarik lengan kirinya ke atas bahuku. “Saya tahu Bapak tidak senang dengan saya, tapi kondisi Bapak tidak terlihat baik.”

“Tenang nak,” balasnya dengan nada kesal. “Aku tidak terlalu suka dengan siapapun. Jangan khawatir, kamu ga sendirian kok.”

“Bisa aja Bapak,” tawaku kecil. Kalimat dia begitu menusuk dihatiku. Tetapi, aku berusaha memahami beliau. Mungkin ini caranya untuk memproses sebuah krisis.

Kami berdua berjalan tergopoh-gopoh. Rasa perih dan sakit dari memar semu mulai terasa di permukaan tubuh kami.

Seiring kami berjalan, Pak Harian pun mengerang, “Kamu mau bawa kita ke mana? Kita ada di mana sekarang? Kenapa semuanya gelap? Bu Devi, Tim Geologi?”

Mendengar itu, aku enggan mengatakan kenyataan kepadanya. Aku tidak tahu apa yang beliau akan lakukan. Tubuhnya kecil, tetapi masa ototnya cukup kuat untuk menghempaskan aku ke seberang ruangan. 

“A… –”

“Tunggu sebentar. Bau metana. Udara lembab,” badan dia mengeras. Wajahnya pun mulai merah padam, menyembunyikan rasa paniknya di balik amarah. Dia pun melakukan apa yang aku takutkan.

Aku dihempasnya, menghantam ke permukaan kasar bebatuan goa. Sejumlah titik tajam batu menyayat halus kulitku bagai kertas amplas. Seiring beliau berlari, beliau bergumam, “Aku harus keluar! Aku harus keluar! Aku harus keluar!”

Aku pun merintih kesakitan. Mataku kupejamkan seakan itu membantuku untuk menahan perih.

Dari balik pelupuk mata, aku bisa melihat beliau mengais tanah seakan-akan ajalnya telah mendekat. Tanah, demi tanah terhempas ke udara.

Begitu kuatnya galian beliau, aku melihat salah satu kukunya terhempas bersama tanah itu. Kuku itu berdarah dan beliau tetap menggali.

Menyadari itu, aku pun langsung bergegas untuk menghambatnya, menarik dia dari spiral yang sedang dia alami. Kedua lenganku mengikat kedua lengan beliau dari ketiak hingga ke leher. Gumaman beliau terdengar begitu panas, penuh amarah, “Aku harus keluar! Aku harus keluar!” Tetapi, ada suara lain di balik amarah itu. Suara yang terdengar lembab, suara sedih, penyesalan.

Aku kemudian sekuat tenaga menarik beliau kepada kenyataan, “PAK! SUDAH PAK! SUDAH!”

Tarik ulur yang kami lalui berakhir menjadi bencana lebih. Tenaga Pak Harian memaksaku untuk menarik tubuhnya yang kecil. Akhirnya, kami berdua pun terhempas ke permukaan tanah. 

Namun, kami tidak menyadari bahwa, kami berada lapisan tipis. Tanah tempat kami terhempas kolaps, membuka kepada sistem terowongan goa baru.

Aku tidak tahu seberapa dalam sistem ini. Tetapi, perjalanan kami tidak terlupakan. Kami terguling cukup lama. Semakin laju kami berputar, semakin sering kami terhempas karena pergesekan antara baju dinas, kulit, dan bebatuan tajam.

Aku bisa dengan jelas menghitung berapa kali aku terhempas. Lima kali. Lima hempasan yang tak terlupakan.

“Eeearrghh…,” erangku menahan sakit. Luka-luka baru mulai terasa ditubuhku diringi memar-memar lainnya yang mulai menyebar.

Seketika, aku teringat oleh Pak Harian. Dia sudah cukup tua. Aku harap beliau baik-baik saja.

“Pak Harian!” seruku bergegas ke arah yang ku sangka siluetnya.

Seketika, BLAM! Sebuah tenaga amat kuat menghantamku di rahang. “Ini salahmu bocah sialan!” serunya kesal. Tubuhku pun kembali disambut oleh tanah batuan.

“Harusnya kamu biarkan aku menggali lubang keluar. Karena tindak bodohmu, aku sekarang semakin jauh dari jalan keluar!”

Dalam kekesalannya, dia terus menganiayaku dengan pukulan dan tendangan. “Kamu tidak tahu apa yang telah kamu lakukan! Kamu telah mengambil semuanya dariku!”

Tiba-tiba, aku tidak tahu apa yang telah mengambil alih diriku. Aku mengambil kaki beliau dan memutarnya sehingga beliau tumbang ke tanah. Dentumannya menggaung dari permukaan dinding goa.

Walaupun beliau terjatuh, dia masih melawan. Dia kembali menghantamku di wajah sambil berteriak, “Gara-gara kamu, aku tidak bisa hadir untuknya!”

Kesabaranku pun patah. Setulus hati aku tidak ingin melakukan ini, tetapi instingku telah mengambil alih. Kepalan tanganku melaju, menghantam beliau tepat di tulang pipi. “BISAKAH BAPAK TENANG DAN JELASKAN BAIK-BAIK!” ucapku patah sabar.

Beliau pun terpukul mundur. Tapak tangannya meraba kepada rasa sakit di wajahnya. Darah menetes lambat dari hidung beliau dan dia pun menyentuhnya untuk melihat tetesan itu.

Usai dia melihat darah itu, dia berbalik kanan meninggalkanku. Aku menyahut kepadanya, penuh rasa bersalah, “Mohon maaf Pak! Saya, saya tidak tahu apa yang baru saja merasuki saya.”

Dia tidak menanggapi.

Sunyi mengisi udara lembab goa ini selama sepuluh detik.

Kemudian, beliau membuka suara. “Maafkan aku nak. Aku kelewatan. Aku seharusnya tidak melampiaskannya kepadamu.

“A – Aku harus mencari jalan keluar. Dia menungguku.”

“Siapa yang menunggu Bapak? Mengapa Bapak begitu berkeras untuk menggali keluar dengan kedua tangan Bapak?”

Dia kembali diam. Bahunya pun mulai renggang, melepaskan tensi di dalam hatinya. “Kamu punya anak Erdi?” tanya dia seiring mencari batuan-batuan keras untuk ia panjat. “Aku ada. Seorang putri. Dia memerlukanku.

“Kalau kamu ingin menetap di sini untuk mati. Silahkan. Aku tidak mau.

“Aku…” Kalimat beliau terhenti. Nada yang keluar dari pita suara beliau dibuka dengan suara mayor namun perlahan menjadi suara melankoli minor. Kesedihan beliau begitu terasa, berbaur dengan kegelapan dan kelembaban goa ini. “Aku punya hutang pada putriku.”

Mendengar itu, hatiku terasa diremas bagai spons basah. Air-air semangatku larut, kering dengan rasa bersalah. “Maafkan saya Pak. Saya tidak bermaksud untuk menjauhkan Bapak dari anak Bapak.”

“Tidak apa-apa.”

Goa tempat kami berada cukup gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa kecuali pantulan cahaya debu yang membentuk  garis tubuh Pak Harian dan lingkungan kami. Tetapi, ada sesuatu yang janggal. Aku tidak hanya melihat beliau. Sesuatu bergerak di dalam debu ini.

Perlahan aku melihat titik pada debu. Titik itu membesar dengan kecepatan tinggi, mengarah kepada Pak Harian.

Aku pun bergegas menarik beliau yang sudah memanjat dinding goa, 80 centimeter lebih dari permukaan tanah. “Pak!” seruku seiring menarik beliau menghindari benda itu.

Saat kami mendarat kembali di permukaan tanah, aku mendengar jelas sebuah dentuman keras. Boom!

“Apa lagi! Aku sudah meminta maaf dan kamu belum puas Erdiwan?! Kamu mau kita berkelahi lagi?! Sini aku layani!”

“Merunduk Pak!”

Batu kedua melesat di atas kepala kami. Emosi Pak Harian pun teralihkan. Aku mengambil lengan beliau dan berlari sekuat tenaga, “Kita harus mengamankan diri Pak!”

“Apa itu yang baru saja lewat?!”

“Saya tidak mengerti Pak. Tetapi, yang saya tahu sesuatu atau seseorang sedang mengawasi kita di dalam sana.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!