JURNAL II : KAMIL; INSIDEN LAPANGAN

"Pak Harian! Ada apa di lapangan sana?! Api dari mana itu?!

"Pak Harian?! Pak Harian! Monitor!

"Monitor!"

Saya kemudian menghempaskan mic radio kepada permukaan meja karena merasa kesal. Mengapa orang tua itu tidak menjawab.

Saya melihat semua yang berada di menara kendali pun terkejut. Tetapi, saya mengabaikannya. Ada hal yang lebih penting yang harus segera ditangani.

Saya pun berseru, "Bu Devi! Kita harus turun!" seiring berjalan mengambil kunci mobil dinas lapangan yang tergantung di sebelah pintu menara pengawas. Boot koordinator geologi itu pun terdengar keras menyusulku dari belakang.

Kami berdua bergegas menuruni tangga dan menuju kepada truk pick-up.

Sejujurnya, saya tidak ingin melakukan ini. Sejujurnya, saya dapat menuliskan ini sebagai Fatality Event yang tidak terduga. Tetapi, saya tetap berkendara ke dalam neraka di permukaan bumi.

Terlalu banyak hal yang bergantung pada kesuksesan penggalian pit ini.

Saya tidak bisa berkendara dengan stabil pada permukaan tanah ini. Tanah retak secara beruntun dari segala arah. Pilar api menyusul, berupaya melahap kami.

"Pak! Kita sudah melanggar banyak standar SMKP!" seru Bu Devi dengan panik. Kita seharusnya memanggil Tim Damkar!"

Saya tahu yang dikatakannya benar. Tetapi, saya mengabaikannya. Saya pun menghempaskan radio kepada dia. "Kalau ibu khawatir, panggil mereka sekarang!"

"B-b-baik Pak!" balasnya seiring bergegas serabutan mengambil mic radio mobil. Kenop siaran-nya diputar kepada R-1, Tim Damkar.

"May day! May day! May day! Kami butuh Tim Damkar ke dalam Pit Cornell, koordinat 49°U 135°E!"

Mata saya terkunci pada permukaan jalan, fokus mengantisipasi dan menghindari kemunculan pilar api gas alam. Walaupun begitu, saya masih bisa mendengar Tim Damkar menanggapi dengan, "Monitor! Mohon sebutkan No. ID dan jabatan."

"ID E3GS044, Koordinator Geological Survey! Mohon segera Pak. Permukaan koordinat terbakar karena kebocoran gas alam! Ada banyak karyawan terjebak di lapangan."

"Baik Bu mohon tenang. Sekiranya, apakah ibu dapat mendeskripsikan kondisi lapangan?!"

Rasa sabar saya patah saat mendengar pertanyaan susulan mereka. Saya tahu itu prosedur standar mereka. Hanya saja, keadaan pit ini tidak memberikan ruang untuk berbasa-basi.

Saya pun akhirnya merampas radio itu. Seiring mengemudikan kendaraan ini di antara pilar-pilar api yang ingin membunuh kami, saya berteriak, "Segera berangkat ke sini bodoh! Ada 20 orang lapangan yang terjebak ledakan gas alam di pit ini dan kalian minta deskripsi!?

"Sebaiknya kalian bawa semua unit ke sini karena neraka baru saja terbuka!  Segera berangkat sebelum saya pastikan hidup kalian sengsara tujuh turunan!

"Kamil! ID, E3PM001! Monitor!"

Mic radio itu kemudian aku hempaskan kepada Bu Devi.

Sekarang saya menatap mereka dari 200 meter, Kru 2 – sejumlah 20 orang – yang sedang berusaha menahan ekskavator dengan tali tambang. Seperempat wajah alat berat itu telah tenggelam ditelan kerak bumi.

Kesengsaraan, rasa sakit, dan derita yang terlukis di wajah mereka merambat pada saya bagai virus. Hati saya terasa seperti ditusuk oleh lembing berlumur api.

50 meter lagi.

20 meter lagi.

Fwoosh!!!

Pandangan saya menjadi merah. Sebuah pilar api berhembus dari posisi ban kiri.

Mesin mobil terkutuk ini akhirnya stall karena overheating. Panasnya begitu terasa hingga Bu Devi mulai goyah karena heatstroke.

Saya pun bergegas melepas seat-belt perempuan itu, lalu saya menyeretnya keluar dari mobil. Pilihan kami hanya terpanggang hidup-hidup atau merisikokan peluang 50/50 dipeluk oleh pilar api hingga menjadi abu.

Seiring saya menopang dia, beban baru pun tumpah ke atas bahu saya. Ke-20 orang itu mulai tertarik oleh ekskavator ke dalam tanah  sembari pilar api semakin mengepul, mengepung mereka.

"Sedang apa kalian!?" seru saya tegas. "Lepaskan saja sebelum korban bertambah!!!"

Seruan saya tidak terdengar. Hembusan pilar api menebalkan telinga mereka dari seruan saya.

Saya pun berlari ke arah mereka untuk menarik mereka dan melepaskan tali yang mereka genggam. Semua itu saya lakukan seiring menggendong Sang Koordinator Tim Geologi di punggung. Yang saya pikirkan hanya, "Jangan sampai tindakan bodoh orang-orang ini menutup pit-ku!"

Saya berhasil berdiri di samping mereka. Tetapi, saya gagal meraih perhatian mereka untuk melepas genggaman mereka pada tali yang menopang ekskavator. 10 orang berada di tali terdekatku, 10 orang di tali seberang.

Semuanya berkeras mempertahankan tali itu. Saya pun berseru, "Jangan bodoh! Lepaskan saja talinya! Jangan sampai kalian mati sia-sia!"

Salah satu dari mereka membalas, "Tapi Pak, Operatornya masih di dalam!"

"Jadi!?" balas saya kesal. "Dia bisa kita gali, apakah saya harus menggali kalian ju –"

FWOOSH!!! 

Kata-kata yang akan saya ucapkan dibungkam oleh pilar api yang menghembus di depan mata. Hembusan itu kemudian disusul oleh teriakan sengsara dan pedih. Saya melihat pilar api melahap delapan orang pekerja di depan mata.

Tanah pun kemudian retak, beban ekskavator yang ditelan bumi menggemburkan kerak tanah yang rapuh. Genggaman saya terhadap Bu Devi terlepas seketika.

Usai itu, saya tidak ingat apa-apa lagi. Sebelum pandangan saya menjadi gelap, saya hanya melihat warna merah yang dihias oleh siluet karyawan yang meratap. Mereka menari-nari di balik asap, dikoreografi oleh teror dan kesakitan.

Saya pun sepertinya akan berakhir di sini. Terang api yang memijar di depan mata saya perlahan menjadi redup. Saya merasakan tubuh ini mulai lemah. Pilar-pilar api ini merenggut nafas dari paru-paru saya.

***

Saya mendengar sejumlah suara. Saya tidak bisa memetakan apakah suara itu. Suara itu terdengar seperti suara mesin, tetapi terkadang suara itu terdengar seperti seseorang atau suatu makhluk.

Saya merasakan badan saya bergerak. Tetapi, saya tidak bergerak.

Semua berwarna merah.

Sekarang warna menjadi putih kebiruan.

Ada di mana saya sekarang?

Saya kembali mendengar suara itu. Suara itu semakin jelas. “...Pak?”

“Ya nak?” balas saya.

“... Kamu tahu ini salah mu!”

“N-nak?” balas saya kembali. Tetapi, saya bertanya-tanya. Mengapa suara saya terbatah? Saya mendengar suara anakku tersayang.

“...Aku…, mati…

“Ini…, salahmu!”

Bukan. Itu bukan salah saya. Saya ingat dia bertugas sebagai Tim Inspeksi. Saya ingat dia yang diutus oleh atasannya untuk memeriksa goa itu sebelum kolaps.

Saya ingat itu salah Pak Harian.

“INI SALAHMU!!!” saya hembuskan dengan kuat. Seketika, saya membuka mata. Saya menarik nafas sekuat tenaga dan mencium aroma antiseptik yang menyelimuti ruangan ini.

“Pak Kamil! Mohon tetap rebah Pak! Kondisi bapak belum stabil. Kami tidak ingin anda koma karena syok!” ucap seorang petugas dengan badan berwarna merah.

Mata saya masih belum bisa melihat dengan jelas. Sepertinya darah tubuh ini belum menyebar ke seluruh indera. Tetapi, saya tahu jelas saya dikelilingi oleh Petugas Rescue, saya tahu jelas saya berada di koridor rumah sakit.

Kemudian, sebuah rasa sakit yang menyengat menusuk kepala saya bagai bilah pisau. Bilah pisau itu berupa kenangan mengerikan bagi saya.

Kenangan akan hari anak saya ditelan oleh bumi Site Cornell.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!